mimbaruntan.com, Untan – Informasi tentang kasus kekerasan seksual menyebar secara sporadis dan hanya muncul ketika kasus tersebut menjadi sorotan media. Hal inilah yang menyebabkan kasus pelecehan seksual menjadi fenomena gunung es.
Menurut komisioner Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan), Siti Aminah mengatakan bahwa pasal yang mengatur kasus kekerasan seksual di Indonesia sejauh ini adalah Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang tercantum dalam pasal 281.
Namun, dalam pasal ini tidak mengenal kata ‘pelecehan’ melainkan ‘pencabulan’, dimana Ami menjelaskan bahwa ‘pencabulan’ adalah kekerasan seksual yang bersifat fisik atau perbuatan merusak kesusilaan di hadapan orang lain seperti eksibisionis, misalnya mempertontonkan atau mempertunjukkan bagian tubuh atau perbuatan yang bersifat seksual.
“KUHP kita tidak mengenal pelecehan seksual, yang mereka kenal adalah pencabulan, Nah itu mengapa misalnya ada RUU PKS, salah satunya karena pelecehan seksual itu belum menjadi term (istilah) hukum, melalui RUU PKS, karena pelecehan seksual ini sudah menjadi term yang diterima oleh banyak pihak, kita bermaksud menjadikan ini sebagai tindak pidana pelecehan seksual, nah pelecehan seksual ini sendiri terbagi jadi fisik dan non fisik, non fisik ini melalui verbal dan nonverbal.”
Baca juga: Kapan Suatu Tindakan Dapat Dikatakan Sebagai Kekerasan Seksual?
Sedangkan berdasarkan hasil survey gabungan dari Tirto, VICE, dan The Jakarta Post pada 2019 menemukan 174 korban pelecehan seksual di kampus. Di mana jumlah ini hanya muncul dipermukaan saja, mengingat survey yang dilakukan oleh Thomson Reuters Foundation bahwa lebih dari 90% kekerasan seksual di Indonesia tidak dilaporkan.
Sedangkan berdasarkan studi dari Value Champion, perusahaan riset di Singapura, menemukan bahwa Indonesia adalah negara paling berbahaya kedua bagi perempuan. Hal ini dikarenakan Indonesia memiliki akses di bawah standar untuk keperawatan dan kesehatan, Undang-undang yang lemah tentang keselamatan perempuan dan ketidaksetaraan gender secara keseluruhan.
Terlepas dari intervensi pemerintah dan upaya untuk memberlakukan undang-undang yang melindungi keselamatan perempuan, Anastassia Evlanova yang menuliskan hasil studi ini juga menemukan bahwa sikap patriarki yang mengakar kuat baik karena keyakinan budaya maupun agama membuat perempuan (di Indonesia, India, Filipina) lebih cemas atas kehidupannya ketimbang perempuan di negara lain.
Indonesia Judical Research Society (IJRS) juga mengeluarkan hasil survei pada 2021 yang lalu, dari 2.210 responden, seluruhnya menganggap bahwa kekerasan seksual itu terjadi karena salah korban.
pada 31 Agustus lalu, Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Mendikbud Ristek) Nadiem Makarim resmi menandatangani Peraturan Mendikbud Ristek Nomor 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (PPKS) di Perguruan Tinggi.
Mengutip dari pernyataan Mendikbud Ristek, Nadiem Makarim pada siaran langsung “Kampus Merdeka dari Kekerasan Seksual” di kanal Youtube Kemendikbud RI, dimana kampus harus menangani kasus kekerasan seksual secara transparan dan menjadi tempat yang aman dari kekerasan seksual.
“Kita merubah paradigma bahwa kampus yang baik adalah kampus yang tidak ada kasus kekerasan ini menjadi kampus yang baik adalah kampus yang menuntaskan investigasinya dan transparansi terhadap penyelesaian kasus ini, bukan malah menutup nutupi,” jelasnya.
Sebelum dicanangkannya Permendikbud Nomor 30 Tahun 2021, kasus kekerasan seksual di kerap kali terjadi di lingkungan kampus, seperti kasus pemerkosaan ‘Agni’ dari Universitas Gadjah Mada (UGM) pada akhir 2018 lalu
Karena kasus tersebut, sebelum dikeluarkannya Permendikbud 30, beberapa Universitas di Indonesia telah mengeluarkan Standar Operasional Prosedur (SOP) terkait pencegahan kekerasan seksual di lingkungan kampus, untuk menciptakan ruang aman bagi lingkungan universitas.
Universitas Indonesia (UI) telah menerbitkan Buku Pedoman Pencegahan tentang penanganan kasus kekerasan seksual.
Baca juga: Ribut-Ribut Soal Permendikbud
SOP yang terbit pada tahun 2019 ini tidak hanya mengartikulasikan secara jelas apa itu kekerasan seksual dan bentuk-bentuknya termasuk pelecehan, panduan pelaporan yang menekankan pada pendampingan korban juga tertuang didalamnya.
Pentingnya Untan Memiliki Regulasi yang Jelas Tentang Penanganan Kekerasan Seksual
Nicodemus Nico sebagai Peneliti Sosial mengatakan bahwa seharusnya di institusi pendidikan seperti Universitas Tanjungpura (Untan) menjadi lingkungan yang aman terhadap apapun seperti perlakuan tidak menyenangkan, kriminal, dan sebagainya (safe place).
“Semua kalangan Untan harus merasa nyaman di lingkungan kampus, pelecehan verbal bukan diedukasi lagi semestinya, tapi harus ada aturan yang mengikat seperti buku panduan, penanganan pelecehan seksual verbal,” ungkapnya saat diwawancarai melalui WhatsApp pada Selasa (28/7).
Hingga kini, Untan belum mempunyai buku panduan khusus dan tempat pelaporan dalam penanganan pelecehan seksual yang dialami masyarakat Untan. Perlu adanya regulasi yang mengikat mengenai pelecehan seksual, karena hukum terkait pelecehan atau kekerasan seksual masih sangat lemah di Indonesia, serta masyarakat yang kerap kali menormalisasikan pelecehan khususnya pelecehan seksual nonverbal.
“Ada satu langkah yang mungkin bisa dilakukan bahwa Untan harus mengambil sikap, sikap ketika ada yang orang yang melakukan pelecehan, maka dipecat atau ditegur,” tutupnya.
Apakah terbitnya Permendikbud Nomor 30 Tahun 2021 dapat menjawab permasalahan ini?
Penulis : Mara
Editor : Monica E.