mimbaruntan.com, Untan – Ditengah kesibukan mahasiswa yang berkutat dengan persiapan administrasi dan penyusunan lembaran skripsi untuk diajukan dalam seminar, muncul aspek lain yang turut menjadi sorotan, yakni penyediaan konsumsi bagi dosen pembimbing dan penguji. Meski awalnya dianggap sebagai ucapan terima kasih, praktik ini kerap memunculkan beragam pandangan di kalangan mahasiswa. Sebagian melihatnya sebagai tradisi akademik yang tak terpisahkan, sementara yang lain menilai bahwa tindakan tersebut lebih menyerupai strategi untuk memastikan kelancaran proses seminar, bahkan dianggap sebagai cara untuk mengamankan nilai. Kondisi ini memunculkan pertanyaan mendasar: apakah pemberian konsumsi dalam seminar skripsi merupakan bentuk apresiasi sepenuh hati atau justru menjadi beban finansial tambahan yang membayangi perjalanan akademik mahasiswa?
“Hal ini muncul karena perasaan takut sendiri. Yang khawatir kalau tidak membawa apa-apa, nilainya bisa bermasalah. Atau saat sidang nanti merasa prosesnya akan lebih sulit dibandingkan jika tidak membawa makanan sama sekali.” Ungkap Banu, salah seorang mahasiswa di Universitas Tanjungpura. Ia mengeluhkan tradisi memberikan konsumsi saat seminar yang dinilai menciptakan tekanan sosial yang sering dirasakan mahasiswa saat menghadapi sidang.
“Ya rata-rata takut nilainya terpengaruh dan nilainya rendah. Kan langsung dikasih nilainya pada saat itu. Jadi mungkin takut kenapa-kenapa dengan nilainya.” Ucap Anisa salah satu mahasiswa di Universitas Tanjungpura, Baginya ketakutan untuk memperoleh nilai rendah turut memicu mahasiswa untuk memenuhi tradisi mempersiapkan konsumsi saat seminar.
Beberapa mahasiswa juga mengeluhkan hal ini, pasalnya mempersiapkan berkas skripsi untuk seminar sudah mengeluarkan biaya yang tidak sedikit, belum lagi ditambah pengeluaran untuk konsumsi dosen. Anisa (nama samaran) turut merasakan keluhan yang sama. Ia bahkan masih mengingat jelas semua rincian biaya yang dikeluarkan.
“Satu minggu sebelum sidang sempro saat bulan puasa, saya harus mempersiapkan lima rangkap skripsi, termasuk satu untuk saya sendiri. Karena saya kebetulan punya printer, jadi lebih hemat dan nggak boros. Tapi beberapa teman saya harus fotokopi, biayanya bisa lebih mahal. Saya juga harus beli kertas, yang harganya sekitar Rp50.000 (lima puluh ribu rupiah) per rim, dan saya butuh dua setengah rim, jadi totalnya sudah Rp100.000 (seratus ribu rupiah). Ditambah dengan biaya revisi, totalnya bisa lebih banyak,” jelasnya.
“Selain itu, saya juga menyiapkan konsumsi untuk sidang berupa makanan kecil, snack box, minuman manis, dan makanan berat. Harga snack box Rp15.000 per box, jadi untuk empat dosen penguji totalnya Rp60.000. Makanan beratnya Rp30.000 (tiga puluh ribu rupiah) per orang, jadi untuk empat orang totalnya Rp120.000. Minuman Rp40.000 dan parcel buahnya, yang saya beli siap paket, harganya sekitar Rp170.000 untuk empat parcel. Total pengeluaran saya untuk konsumsi sekitar Rp400.000 (empat ratus ribu rupiah),” tambahnya yang masih mengingat rincian pengeluarannya secara detail.
Anisa mengaku bahwa ia merasa kurang nyaman jika tidak memberikan konsumsi selayaknya yang dilakukan senior dan teman-temannya. Meskipun bukan merupakan kewajiban, baginya ada norma kesopanan yang harus dihormati dan diikuti.
“Seperti ada perasaan tidak enak jika tidak ikut memberikan, karena teman-teman lain juga melakukannya. Terkadang, meskipun tidak wajib memberikan, ada budaya dan norma sosial yang membuat kita merasa harus berpartisipasi, apalagi jika dilihat dari kebiasaan yang sudah ada di lingkungan kampus.”jelasnya. Tidak hanya mahasiswa, beberapa dosen juga terkadang memberikan permintaan khusus terkait konsumsi yang diberikan. Anisa menuturkan bahwa salah satu dosen penguji sempro pernah meminta secara spesifik untuk disediakan dua botol sirup.
“Jadi, waktu itu, dosen penguji bilang, ‘Saya request sirup ya, dua botol’ Spesifik banget, dua botol Marjan (merek sirup),” ungkap Anisa.
Permintaan tersebut tidak disampaikan secara formal, tetapi langsung saat Anisa menyerahkan SK sempro. Bahkan, dosen itu memberikan instruksi agar sirup tersebut dititipkan melalui satpam.
“Pesannya memang begitu, ‘Nanti dititipkan di satpam saja ya,’ katanya. Jadi, tidak ada yang tahu kalau saya memberikan itu,” tambahnya.
Selain sirup, dosen lain juga pernah meminta konsumsi tertentu, seperti buah semangka, yang juga dititipkan melalui satpam. Meskipun permintaan ini terkesan sederhana, bagi Anisa dan teman-temannya, hal ini menjadi tambahan beban di tengah persiapan sempro.
“Biasanya permintaan seperti ini bukan hal baru, karena sudah ada beberapa mahasiswa sebelumnya yang mengalaminya juga,” tutupnya.
Tekanan sosial sering kali dirasakan oleh mahasiswa ketika menghadapi seminar proposal (sempro). Salah satu bentuk tekanan tersebut adalah tradisi memberikan makanan atau minuman kepada dosen penguji. Hal ini menciptakan dilema bagi sebagian mahasiswa yang merasa enggan untuk mengikuti tradisi tersebut, namun khawatir akan konsekuensinya. Hal senada disampaikan pula oleh Banu (nama samaran) yang menjelaskan bahwa ketakutan untuk tidak mempersiapkan konsumsi dosen saat seminar akan berimbas pada penilaian yang tidak memuaskan.
“Awalnya, mereka (dosen) bilang kalau mau sempro tanpa memberi makanan pun tidak masalah. Namun, beberapa hari sebelum sempro, saya sempat bertanya lagi dengan teman, ‘Bagaimana kalau saya benar-benar tidak ingin memberikan makanan?’ Tapi mereka menyarankan untuk tidak melakukannya, dengan alasan seperti ‘jangan sampai kamu menyusahkan diri sendiri’. Akhirnya, saya memutuskan untuk tetap memberikan makanan ringan. Saat itu, saya menyediakan makanan ringan dan dua minuman, yaitu air mineral dan air manis. Menurut teman-teman, itu sudah menjadi bentuk pemberian paling minimal di kampus. Jadi hal seperti ini ditimbulkan oleh rasa takut mereka sendiri. Nanti misalnya kalau nggak bawa apa-apa,takutnya nilainya kenapa-napa,” Jelasnya.
Kebiasaan yang terbentuk sejak kecil, seperti memberikan makanan kepada guru saat pembagian rapor, sering kali terbawa hingga ke jenjang perguruan tinggi. Di lingkungan kampus, tindakan memberikan sesuatu kepada dosen kerap dianggap sebagai bentuk penghormatan. Namun, secara definisi, tindakan tersebut dapat dikategorikan sebagai gratifikasi.
Baca Juga: Kasak-Kusuk PTN-BH, Seberapa Siap Untan Melangkah?
Banu mengungkapkan bahwa lingkungannya sedari kecil sudah menormalisasi kebiasaan memberikan hadiah kepada guru maupun dosen, seperti pada agenda bagi rapor hingga sidang skripsi.
“Sejak kecil, saya sendiri sudah terbiasa memberikan makanan kepada guru saat bagi hasil rapor. Begitu juga di perguruan tinggi. Bahkan di keluarga saya, ketika saya menolak untuk membawa makanan untuk dosen, Ayah saya justru mendorong saya untuk tetap memberikan makanan sebagai bentuk penghormatan,” ungkapnya.
Ia memang menyadari bahwa kebiasaan ini bisa saja merupakan gratifikasi di dunia akademik dan seharusnya perlu dipertegas dalam bentuk peraturan.
“Saya merasa ini bisa masuk dalam kategori gratifikasi. Sayangnya kebiasaan ini terus berlanjut karena kurangnya aturan yang jelas di kampus mengenai hal tersebut. Tidak ada peraturan tertulis yang melarang mahasiswa memberikan makanan atau souvenir kepada dosen, bahkan saat kita pertama kali mendaftar di kampus,” Lanjut Banu.
Hal tersebut juga dirasakan oleh Anisa yang di kampusnya pernah beredar isu untuk tidak memberikan makanan saat sempro tapi karena kurangnya penegakan peraturan tersebut, banyak mahasiswa yang tetap merasa tertekan untuk mengikuti kebiasaan tersebut.
“Sebenarnya, pada semester dua, sudah ada peraturan yang melarang pemberian konsumsi. Saya tidak begitu tahu pasti, karena tidak ada buktinya, tapi dulu sempat ada isu yang mengatakan bahwa mahasiswa sebaiknya tidak memberikan makanan kepada dosen saat sempro. Namun, peraturan tersebut tidak diterapkan secara menyeluruh, sehingga mahasiswa tetap memberi konsumsi. Dosen pun tetap menerima pemberian tersebut jika sudah terlanjur diberi.”
Hasil survei yang dilakukan oleh Reporter Mimbar Untan dari tanggal 22 September hingga 10 Oktober 2024 menunjukkan bahwa 85% mahasiswa Universitas Tanjungpura mempersiapkan hidangan untuk dosen penguji saat seminar atau ujian proposal. Dari angka tersebut, 58% mahasiswa mengaku tindakan tersebut dilakukan sebagai bentuk ungkapan rasa terima kasih kepada dosen.
Menariknya, survei ini juga mengungkapkan bahwa 77% mahasiswa sudah memahami konsep gratifikasi dan seanyak 63% yang menyadari bahwa memberikan hidangan kepada dosen penguji dapat dianggap sebagai bentuk gratifikasi. Data ini menunjukkan adanya kesadaran yang cukup tinggi di kalangan mahasiswa terkait etika pemberian, meskipun praktik pemberian hidangan kepada dosen masih banyak dilakukan.
Tanggapan Pakar Hukum Mengenai Gratifikasi di Lingkungan Kampus
Gratifikasi menjadi isu krusial dalam etika profesi. Ivan selaku Dosen Hukum Tata Negara Universitas Panca Bhakti menjelaskan bahwa lingkup gratifikasi itu luas sehingga penting untuk para akademisi fokus pada kewajiban. Ia menegaskan bahwa pelaksanaan kewajiban tersebut tidak boleh disertai permintaan imbalan tambahan, karena dosen telah menerima kompensasi yang layak.
“Dosen yang juga PNS memiliki kewajiban sesuai undang-undang, khususnya tridharma perguruan tinggi: pendidikan, pengajaran, penelitian, dan pengabdian. Dalam menjalankan kewajiban, dosen harus mematuhi aturan, seperti membuat rencana pembelajaran, menyiapkan bahan ajar, mengajar, dan melakukan penilaian. Pelaksanaan kewajiban ini tidak boleh disertai permintaan imbalan tambahan, karena sudah ada kompensasi yang layak seperti gaji dan tunjangan sesuai aturan. Meminta sesuatu untuk menjalankan kewajiban, apalagi tidak melaksanakannya, termasuk bentuk gratifikasi yang dilarang,” jelasnya.
Adapun bentuk-bentuk gratifikasi yang ia jelaskan mencakup berbagai situasi di mana seseorang menerima pemberian, baik berupa uang, barang, jasa, atau fasilitas, yang berkaitan dengan jabatan atau kewajibannya. Bentuk-bentuk ini dapat bervariasi tergantung pada konteks dan tujuan pemberian tersebut, misalnya untuk mempengaruhi keputusan, mempercepat layanan, atau sebagai imbalan atas tindakan tertentu yang seharusnya dilakukan tanpa syarat tambahan.
“Gratifikasi dapat terjadi dalam berbagai bentuk, termasuk ketika seseorang menggerakkan atau bahkan mengabaikan kewajibannya. Sebagai contoh, seorang dosen memiliki kewajiban untuk memberikan nilai kepada mahasiswa berdasarkan standar pendidikan, seperti kehadiran, tugas, UTS, dan pengamatan di kelas. Namun, jika dosen tersebut menambahkan syarat baru yang tidak sesuai standar, misalnya meminta mahasiswa membeli buku tertentu sebagai prasyarat pemberian nilai, itu termasuk gratifikasi. Begitu pula jika mahasiswa secara sukarela memberikan sesuatu kepada dosen, seperti hadiah, dengan harapan lulus lebih cepat, meskipun dosen tidak memintanya. Kedua situasi ini tetap tergolong gratifikasi karena melibatkan pemberian atau permintaan yang tidak sesuai dengan kewajiban profesional,” lanjut Ivan.
Kebijakan Larangan Membawa Makanan dan Minuman Ketika Seminar di FEB Untan: Menjaga Inklusivitas dan Meringankan Beban Mahasiswa
Surat edaran terkait larangan mahasiswa membawa makanan dan minuman saat seminar sebenarnya sudah ada sejak masa Prof. Edi Suratman menjabat sebagai Dekan Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) Untan, sekitar delapan tahun lalu. Kebijakan itu muncul sebagai bentuk meringankan beban finansial mahasiswa dan mendukung integritas akademik. Melalui kebijakan ini, FEB ingin memastikan bahwa semua mahasiswa dapat menjalani kegiatan akademik tanpa merasa terbebani oleh hal-hal di luar kebutuhan esensial pendidikan.
“Kebijakan ini lahir dari pengalaman Prof. Dr. H. Eddy Suratman yang mendapati mahasiswa terkendala biaya untuk menyediakan konsumsi saat seminar. Melihat kondisi ekonomi mahasiswa yang beragam, kebijakan tersebut bertujuan untuk meringankan beban mereka, khususnya mahasiswa S1. Meskipun secara aturan gratifikasi tidak melarang pemberian makanan atau minuman dalam konteks tersebut, FEB memilih menerapkan kebijakan ini untuk menjaga kesetaraan dan integritas. Mahasiswa tidak perlu merasa terbebani, dan dosen pun tetap dapat menjalankan tugasnya tanpa ekspektasi adanya pemberian,” ujar Juanda Astarani selaku Wakil Dekan Kemahasiswaan dan Alumni.
Belakangan edaran ini diperbarui untuk menegaskan kembali kebijakan yang mendukung inklusivitas di kampus. Meski demikian, aturan ini tidak didasarkan pada hukum gratifikasi melainkan lebih kepada upaya membantu mahasiswa.
“Kebijakan ini ditegaskan kembali dalam beberapa edaran berikutnya, termasuk di masa kepemimpinan Dr. Barkah, sebagai bagian dari upaya menjaga zona integritas yang diterapkan FEB dalam beberapa tahun terakhir. Penting untuk memahami bahwa kebijakan ini bukan tentang larangan gratifikasi dalam arti hukum, tetapi lebih kepada menciptakan lingkungan akademik yang adil dan inklusif bagi seluruh mahasiswa, tanpa membedakan kemampuan ekonomi mereka,” lanjutnya.
Kebijakan yang dikeluarkan FEB bertujuan mempermudah mahasiswa, bukan melarang secara mutlak pemberian, apalagi dalam konteks sederhana seperti berbagi makanan tanpa niat memengaruhi.
Bagaimana Seharusnya Peran Rektorat dan Pendidikan dalam Mendorong Perubahan Sistem Kampus
Ivan selaku Dosen Hukum Tata Negara Universitas Panca Bhakti turut mengapresiasi praktik baik dari FEB Untan. Namun ia menegaskan perlu adanya perubahan sistem dalam bentuk peraturan, pendidikan, hingga pengawasan eksternal secara menyeluruh di tingkat Universitas.
“Perubahan sistem harus didukung oleh rektorat sebagai otoritas tertinggi di kampus, serta diiringi dengan edukasi, seperti pendidikan anti-korupsi. Selain itu, pengawasan oleh pihak eksternal, seperti akreditasi dan masyarakat, juga penting untuk memastikan sistem kampus berjalan sesuai aturan. Jika dibiarkan, praktik gratifikasi akan membentuk budaya buruk yang berdampak negatif pada reputasi kampus dan generasi yang dihasilkannya,” jelasnya.
Baca Juga: Fasilitas Mahasiswa Jadi Berbayar, Transparasi Tarif Kulber Dipertanyakan
Dian Lestari selaku kabid internal dan hubungan organisasi Lembaga Bantuan Hukum Kalbar mengungkapkan bahwa pembiasaan gratifikasi dari hal-hal kecil dapat berkembang menjadi korupsi besar yang sistematis sehingga dibutuhkan pencegahan sejak dini.
“Dengan menanamkan nilai anti-gratifikasi, korupsi, dan nepotisme sejak awal, kita dapat membentuk individu yang menolak menjadi pelaku maupun korban praktik buruk tersebut. Jika banyak orang memiliki niat yang sama untuk menolak gratifikasi, maka sistem akan berjalan dengan baik dan negara kita bisa tumbuh dengan nilai-nilai anti-korupsi yang kuat.”
Dian menjelaskan bahwa pembiasaan gratifikasi yang dimulai dari lingkungan kampus akan membawa efek domino di kemudian hari. Jika mahasiswa tidak memiliki daya kritis yang baik, mereka bisa terjebak dalam budaya buruk yang merugikan dan melanggengkan praktik tersebut di masa depan.
“Jika seorang mahasiswa hidup dalam lingkungan yang menormalisasi gratifikasi, lama-kelamaan ia akan menganggapnya hal yang biasa. Pemahaman ini bisa terbawa ke dalam organisasi, di mana ia awalnya menjadi korban gratifikasi, namun akhirnya menjadi pelaku terhadap junior-juniornya. Ketika ia masuk ke dunia kerja, ia bisa meminta gratifikasi dari bawahannya, dan seiring waktu, siklus ini akan terus berlanjut, menyebarkan nilai buruk ini ke generasi berikutnya.” ujarnya.
Menurut Dian pengaruh kepemimpinan, kebijakan yang tegas, dan kesadaran individu perlu ditumbuhkan untuk mencegah langgengnya praktik gratifikasi. Harmonisasi antara aturan, keteladanan pemimpin, dan kesadaran kolektif adalah kunci untuk menciptakan sistem yang bersih dan berintegritas. “Pemimpin harus menjadi teladan dalam menerapkan aturan, karena tanpa contoh nyata, aturan yang baik sekalipun sulit diikuti. Selain itu, kesadaran para individu yang dipimpin juga penting, agar tanggung jawab bersama dalam membangun budaya anti-korupsi dan anti-gratifikasi dapat tercapai.” tegasnya.
Minimnya pengetahuan mahasiswa mengenai praktik gratifikasi dipengaruhi oleh banyak faktor. Dian justru lebih menyayangkan jika mahasiswa sudah memahami konsep gratifikasi namun memilih diam dan terlibat dalam sistem.
“Mahasiswa menghadapi berbagai tantangan, mulai dari tekanan budaya kampus, struktur yang membuat mereka inferior, hingga kurangnya pemahaman tentang gratifikasi. Meski begitu, mahasiswa yang tidak tahu konsep gratifikasi masih bisa dimaklumi, namun jika sudah tahu dan diam atau bahkan ikut memfasilitasi, hal ini menjadi masalah serius. Untuk mengatasi ini, perubahan sistem menjadi kunci, dimulai dari kebijakan tingkat universitas yang diterapkan merata di semua fakultas.” tutupnya.
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yang merupakan perubahan dari Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999, Pasal 12B:
Pasal ini menjelaskan bahwa setiap gratifikasi kepada penyelenggara negara atau pegawai negeri dianggap sebagai suap jika berhubungan dengan jabatan dan bertentangan dengan kewajiban atau tugasnya, kecuali jika penerima melaporkannya kepada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam waktu 30 hari kerja sejak penerimaan
Penulis: Wahyu
Editor: Sekar Aprilia Maharani
*Tulisan ini telah terbit di Tabloid Edisi XXVII. Dapatkan segera versi cetaknya dengan menghubungi mimbaruntan@gmail.com / dapat mengakses link berikut https://bit.ly/TabloidMimbarUntanEdisiXXVII