mimbaruntan.com, Untan – Dalam rangka kampanye 16 Hari Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (16 HAKTP), Lembaga Pers Mahasiswa Untan mengadakan nonton bareng film berjudul “Asa” dan diskusi bertajuk “Pentingnya Memahami Kekerasan Berbasis Gender Online (KBGO)” pada Sabtu (3/12).
Film “Asa” diadaptasi dari kisah nyata seorang gadis berumur lima belas tahun bernama AL yang menjadi korban kekerasan seksual oleh lelaki dewasa yang ditemuinya di media sosial. Berangkat dari film ini, dibukalah forum diskusi yang membahas KBGO, dengan Emilya Kalsum, ketua Satuan Tugas (Satgas) Penanganan dan Pencegahan Kekerasan Seksual (PPKS) sebagai pemantik diskusi.
Menurut Emilya, kekerasan seksual seringkali terjadi akibat adanya jenjang yang berbeda antara ‘si kuat’ dan ‘si lemah’, misalnya di dunia pendidikan.
“Si kuat ini bisa jadi dia adalah senior, bisa jadi dia adalah orang yang memiliki ilmu yang lebih, bisa jadi juga orang yang memiliki kuasa yang lebih. Itu sebabnya kekerasan seksual ini rentan di dunia Pendidikan, karena disana ada adik dan kakak tingkat, kemudian ada dosen dan mahasiswa, juga ada orang-orang yang berada di tenaga kependidikan dengan siswa yang membutuhkan berbagai sarana prasarana dalam pembelajaran,” ungkapnya.
Emilya menambahkan bahwa bentuk-bentuk kekerasan seksual seringkali tidak disadari oleh pelaku maupun korban. Indonesia yang dikenal dengan keramahan sebagai ikonnya, tidak disadari dapat mempermulus tindak kekerasan seksual. Menurutnya, rayuan juga bisa mengandung unsur kekerasan seksual, dan sering terjadi secara online. Selain dalam bentuk rayuan, Emilya juga memaparkan beberapa contoh bentuk KBGO lainnya.
“Kita bahkan tidak tau seperti apa kekerasan seksual itu jenisnya dan bagaimana terjadinya. Apalagi di Indonesia dimana keramahan menjadi sebuah ikon daripada budaya bangsa, seringkali batas keramahan ini tidak disadari menjadi sesuatu yang justru mempermulus atau mempermudah orang melakukan kekerasan seksual tersebut,”
“Misalnya saja kata-kata yang tidak baik yang disampaikan kepada si korban di media sosialnya, bodyshaming, atau mengeluarkan statement-statement yang buruk. Jika mereka (pelaku) melakukan hal-hal terkait grooming di sebuah media, maka itu menjadi sebuah bentuk kekerasan seksual secara online,” paparnya.
Baca juga: KBGO : Laki-laki Jadi Korban Pelecehan Seksual?
Emilya menggambarkan kasus kekerasan seksual ini seperti fenomena ‘gunung es’, dimana kejadian kekerasan seksual sangat marak terjadi tetapi sangat sedikit laporan yang didapatkan.
Dilansir dari Mimbaruntan.com, dalam sosialisasi Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (PPKS), Garuda Wiko selaku rektor Universitas Tanjungpura (Untan) menyebutkan bahwa menurut Data Kementerian Pemberdayaan Anak, sejak Januari sampai Desember 2022 terdapat 23.280 kasus kekerasan yang sejumlah 21.000 kasus korbannya adalah perempuan. 37% dari korban perempuan tersebut adalah pelajar atau mahasiswi.
Pernyataan Emilya mengenai maraknya kasus kekerasan seksual juga didukung oleh data Kemendikbud Ristek mengenai kasus kekerasan terhadap perempuan yang mengalami kenaikan pada tahun 2021 sebesar kurang lebih 2.500 kasus.
Menanggapi pernyataan Emilya terkait tidak adanya pelaporan, Dian, salah satu peserta yang tergabung dalam Serikat Jurnalis Keberagaman (SEJUK) berpendapat bahwa kurangnya pelaporan tersebut disebabkan oleh ketakutan yang dirasakan oleh korban.
“Ketakutan itu ketika menguasai seseorang membuatnya tidak bisa beraksi. Melakukan aksi sekecil apapun, bahkan cerita ke temannya saja tidak bisa,” ucap Dian.
Pelaku kekerasan seksual seringkali memberikan ancaman kepada korban untuk memenuhi keinginannya. Tindakan ini dikenal dengan istilah sextortion. Sering pula korban dibuat seolah-olah dirinya yang bersalah. Dian bependapat bahwa korban, khususnya pada kasus child grooming, masih belum tahu pentingnya consent dan belum memahami dampak dari kekerasan seksual yang dialaminya. Ia menyarankan agar korban tersebut dibantu agar dapat berpikir secara logis.
“Korban perlu kita bantu untuk berpikir secara logis. Kalo ada temannya yang di grooming bantu ia untuk mencoba berpikir secara logis. Jangan biarkan ia berputar dengan rasa bersalahnya seolah-olah dia yang bersalah,” sarannya.
Selain itu Dian juga menjelaskan perbedaan antara KBGO dengan kekerasan seksual secara fisik. Menurutnya, kedua jenis kekerasan seksual ini mempunyai dampak – dampak yang beragam terhadap korban.
“Ketika bersentuhan dengan dunia digital yang sangat cepat dan masif, korban dibuat shock, tidak sempat melakukan upaya-upaya pencegahan karena dia sudah sangat ketakutan sehingga cenderung panik. Saya pernah melihat korban kekerasan seksual secara fisik, masih bisa saya bilang berjeda sedikit waktunya. Tapi kalo KBGO benar-benar intens dan sangat masif,” terangnya.
Sebagai langkah pencegahan KBGO, Dian berpesan agar pengguna media sosial dapat mengamankan data-data digital, karena tidak ada yang tahu bahwa predator seks mengintai diluar sana.
Baca juga: Kasus KBGO Meningkat Selama Pandemi, Perempuan Bukan Objek Seksual
Sebagai tindak lanjut dari Permendikbud Nomor 30 Tahun 2021, Untan membentuk Satgas PPKS yang terbuka bagi mahasiswa untuk melaporkan kasus kekerasan seksual.
Korban maupun pendamping dapat melaporkan secara langsung dengan mendatangi kantor Satgas PPKS atau menghubungi hotline pengaduan terkait. Setelah memperoleh laporan, Satgas PPKS akan melakukan pembedahan masalah yang dimulai dengan mencatat kronologi kejadian.
Kemudian, tim Satgas akan melihat bentuk kekerasan seksual tersebut. Tim satgas tidak sendirian dalam menangani kasus kekerasan seksual, melainkan bekerja sama dengan pihak lain seperti kepolisian, lembaga hukum, lembaga HAM, dan lembaga-lembaga swadaya yang peduli perempuan.
Setelah membedah permasalahan, tim Satgas akan memulai pencarian bukti dan melakukan crosscheck dengan orang-orang yang mungkin mengenal pelaku.
Syarifah, salah satu peserta diskusi berharap agar dengan adanya Satgas PPKS, ditambah dengan bantuan dari pemerintah, korban kekerasan seksual mendapatkan perlindungan dalam perlawanan kasus kekerasan seksual.
“Tentunya dengan adanya satgas atau bahkan dengan adanya bantuan dari pemerintah, harapannya perlindungan untuk korban itu bukan hanya dari korbannya sendiri. Karena memang butuh sekali yang namanya naungan. Dan kalo misalkan hanya berpaku pada orangtua atau diri sendiri itu tidak cukup. Perlawanan realitanya tidak semudah itu, jadi memang butuh yang namanya naungan.” harapnya.
Penulis : Ibnu
Editor : Putri P.