mimbaruntan.com, Untan – Berbicara kedatangan orang Tionghoa di Kalimantan Barat (Kalbar) tidak terlepas dari mereka yang awalnya dipekerjakan di sebuah pertambangan emas besar di Kecamatan Monterado, Bengkayang pada abad 19 yang kemudian dikenal dengan istilah kongsi. Sejarah akan keberadaan kongsi inipun dituangkan ke dalam buku yang berjudul ‘Kongsi-kongsi Montrado’. Sebuah sumbangan sejarah dan pengetahuan dari perkumpulan-perkumpulan orang Cina di pantai barat Borneo yang ditulis oleh Simon Hartwich Schaank (S.H.Schaank) dan dialihbahasakan oleh Pastor Yeri.
Sejarah orang Tionghoa akan kongsi-kongsinya yang berkuasa di wilayah Monterado selalu melegenda, namun dikubur dalam sehingga sumber-sumber cerita tentang mereka pun menjadi cukup terbatas. Berangkat dari hal itu, destinasi Pecinan Pontianak dengan beragam komunitas dan berbagai pihak menyelenggarakan Diskusi Sejarah dan Bedah Buku “Kongsi-Kongsi Montrado” pada Jumat, (22/9) di Destinasi Pecinan Pontianak, Gang Gajahmada 9.
Baca Juga: Lahirkan Perspektif Baru, Musik Suguhkan Pengetahuan
Awal Kedatangan Etnis Tionghoa
Buku yang dituliskan oleh S.H.Schaank ini menceritakan kehidupan etnis Tionghoa di Kalbar mulai dari kedatangan sampai membentuk perkumpulan yang disebut kongsi yang penuh dengan unsur sosial, politik, dan pertambangan. Buku ini menceritakan kesetiakawanan sesama etnis yang tinggi, namun berakhir konflik karena adanya permasalahan internal politik maupun geografis serta munculnya pemerintahan Hindia Belanda di tengah perseteruan antar-kongsi yang berlangsung.
Khamsyahurrahman selaku Pemerhati Sejarah menyebutkan S.H Schaank merupakan seorang Controller (Residen) yang berada di Bengkayang. Diperkirakan buku ini ditulisnya sekitar tahun 1893 ketika semua kongsi di Kalbar dibubarkan oleh Hindia Belanda. Dalam buku ini menceritakan etnis Tionghoa Kalbar sebagian besar berasal dari Daratan Tiongkok yaitu di Provinsi Kwantung (sekarang Guangdong), Terdapat dua suku besar yang melakukan migrasi yaitu suku Hakka dan Teochew. Kedatangan dua suku ini banyak dicari oleh Kesultanan di Kalbar salah satunya Kesultanan Sambas untuk dipekerjakan di wilayah kekuasaannya, yaitu Kecamatan Monterado.
“Sultan Sambas keempat yang bernama Sultan Umar Aqamaddin I (1732-1762) beliau membawa 7 orang Tionghoa untuk bekerja sebagai penambang emas dan bukan menjadi warga setempat,” jelas lelaki yang kerap dipanggil Khamsyah.
Khamsyah melanjutkan, orang Tionghoa yang dipekerjakan menjadi petambang sebelumnya sudah berpengalaman di pulau Pinang (sekarang Malaysia) dan juga memiliki tempat pertambangan emas. Keahlian yang digunakan dalam pertambangan berbeda-beda sehingga orang-orang dari suku Dayak, Melayu dan Bugis mulai ikut belajar.
Berdirinya Kongsi-kongsi
Sebagaimana buku tersebut menjelaskan lebih lanjut, etnis Tionghoa kemudian datang dengan jumlah besar dan rombongan ke Kalbar karena berita pertambangan emas, salah satunya kedatangan Lo Fong Pak dan rombongannya yang telah sampai di Kalbar dan membentuk Kongsi Lan Fang di Mandor pada tahun 1777. Setelah pendirian Kongsi Lan Fang, etnis Tionghoa yang berada di wilayah utara yaitu Monterado mulai mendirikan kongsi-kongsi.
“Jadi pada zaman itu, kongsi pertambangan emas itu tidak untuk menempati, karena tidak masuk di wilayah etnis lain, yang berakibat nanti berkonflik, jadi etnis Tionghoa hanya dikhususkan untuk pertambangan emas saja,” ungkapnya.
Dalam penyampaian selanjutnya, Khamsyah mengatakan bahwa pada awal abad 19 kongsi-kongsi di Monterado bermunculan dan terdapat 14 kongsi yang tersebar di beberapa titik pertambangan yang antara lain, Thai Kong, Lo Pat Fun, Kiu Fum Theu, Syip Sam Fun, Kiet Lien, Syip Kiu, Sim Pat Fun, Sam Thiao Khiu, Man Fo, Sin Wuk, Hangmui, Syip Ng Fun, Thai Fo, Lo Syip Si Fun, dan Syip Ngi Fun. Adapun 14 kongsi tersebut didominasi oleh suku Hakka yang kemudian membentuk Federasi Kongsi yaitu Fosjoen dengan salah satu tokoh yang sangat dihormti yaitu Tan Fo Ko yang menjadi legenda dan sang kooperatif.
“Struktur kongsi di Monterado yang paling tinggi itu Kaptai, Kapitan, dan Lo Thai,” ucap Khamsyah.
Baca Juga: Rajut dan Rawat Toleransi dalam Bingkai Keberagaman di Kalbar
Akhir Kongsi-kongsi
Dalam perkembangannya, 14 kongsi tersebut lama kelamaan menjadi tidak akur karena urusan persaingan politik dan lainnya. Kongsi-kongsi yang tergabung dalam Federasi Fosjoen menjadi berkurang akibat perang kongsi dan saling serang. Perseteruan tersebut menyisakan dua kongsi terbesar yaitu Thai Kong dan Sam Thiao Khiu yang sebenarnya dua kongsi tersebut adalah sahabat tetapi juga terdapat konflik yang berujung perang.
“Dulu Sam Thiao Khiu itu berpusat di Monterado akhirnya pindah ke Pemangkat dan minta perhatian dari Sultan Sambas. Kongsi Thai Kong kemudian merasa hebat karena menguasai federasi tadi, tapi lama kelamaan karena sendiri menjadi incaran kolonial Hindia Belanda,” jelasnya.
Kolonial Hindia Belanda melakukan upaya pengaruh yang signifikan supaya Thai Kong dan Federasi Fosjoen tidak akur dan saling berperang. Meletusnya Perang Kenceng tahun 1887-1909 karena ulah Hindia Belanda akibat pengelolaan pajak yang sewenang-wenang, seperti pajak sewa rumah, sewa tanah, dan sewa perusahaan kepada orang Tionghoa dan Sambas. Sementara Lan Fang berakhir pada 1884 dan dibubarkan, tetapi beberapa pejabat di kongsi-kongsi orang Tionghoa dimasukkan ke dalam staf Administrasi Afdelling.
“Pasca perang kongsi di Kalbar tahun 1850 sampai 1855, orang-orang petambang Tionghoa yang mendirikan kongsi besar yaitu Lan Fang, Fosjoen, dan Sam Thiao Khiu dimasukkan kedalam Afdelling Borneo. Makanya orang Tionghoa tersebut mulai dibebankan pajak yang ditetapkan,” ungkapnya.
Ahmad Sofyan, salah satu penggiat literasi Kalbar, mengungkapkan pentingnya membaca buku karena salah satu sumber bacaan agar setiap generasi saat ini terutamanya bisa memahami dan sering mengadakan diskusi seperti ini. Oleh karena itu bisa mengetahui keberadaan kongsi-kongsi di Monterado seperti bagaimana mereka ada dan terus menafsirkan semangat pada masa itu dalam relasi semangat di hari ini dan masa depan.
“Kita juga sudah membuat sebuah sejarah terhadap (jalan) Gajah Mada yang tidak hanya warung kopi atau kecinaan, tetapi menjadi salah satu juga mendiskusikan tentang sejarah untuk mendiskusikan bagaimana kemudahan transformasi semangat-semangat sejarah itu bisa kita implementasikan sekarang,” ujar lelaki yang akrab dipanggil Sofy.
Penulis: Judirho
Editor: Dedek