mimbaruntan.com, Untan – Keadilan seperti apa yang sebenarnya kita harapkan di hari lahir Pancasila yang kesekian kalinya ini? Pada tanggal 1 Juni, bangsa Indonesia memperingati kelahiran Pancasila, yang di dalamnya terkandung janji keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia. Lambang padi dan kapas yang tergambar pada sila ini melambangkan pemenuhan kebutuhan, baik itu papan, sandang, maupun pangan secara adil bagi seluruh rakyat Indonesia.
Namun, ekspektasi tersebut jauh dari realitas yang terjadi. Realitasnya justru berbanding terbalik dengan cita-cita bangsa. Prinsip equality before the law atau kesetaraan di hadapan hukum sering kali hanya menjadi retorika belaka, yang muncul dari ketimpangan perlakuan hukum antara rakyat kecil dan orang-orang berduit. Hal ini menunjukkan bahwa belum tercapainya cita-cita bangsa baik dalam Pancasila ataupun pembukaan UUD 1945 alinea ke-4.
Asyani merupakan seorang petani miskin berusia 63 tahun dari Situbondo, Jawa Timur, didakwa mencuri tujuh batang kayu jati milik Perhutani dan menghadapi ancaman hukuman penjara hingga 15 bulan serta denda Rp500 juta. Kasus ini memicu perdebatan luas mengenai kejanggalan dalam putusan dan ketidakadilan hukum terhadap rakyat kecil. Dalam UU No. 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan, tidak secara eksplisit terdapat perlindungan bagi masyarakat adat atau warga sekitar, sehingga menimbulkan kesan bahwa hukum lebih berpihak pada kepentingan oknum tertentu. Selain itu, dalam undang-undang tersebut dicantumkan mengenai perbuatan yang dilakukan secara terorganisasi, padahal pada kenyataannya kasus ini hanya dilakukan oleh Asyani sendiri. Penegakan hukum dalam kasus ini kurang mempertimbangkan konteks sosial ekonomi pelaku, sehingga hukum menjadi alat represi terhadap masyarakat miskin.
Berbanding terbalik dengan kasus tersebut, kasus korupsi tata niaga timah PT Timah (Desember 2024–2025), dengan nilai kerugian negara mencapai Rp300 triliun, menunjukkan ketimpangan perlakuan hukum yang nyata. Kerusakan alam hingga kerugian terhadap negara dan rakyat merupakan dampak besar yang ditimbulkan. Salah satu pelaku yang terjerat, Harvey Moeis, dijatuhi hukuman penjara dan denda yang jauh dari sepadan dengan besarnya kerugian yang ditimbulkan.
Majelis Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, pada Senin, 23 Desember 2024, menjatuhkan vonis penjara selama 6 tahun 6 bulan kepada Harvey Moeis dalam kasus korupsi yang menjeratnya, padahal jaksa sebelumnya menuntut hukuman 12 tahun penjara—hukuman yang sebenarnya sudah tergolong ringan bagi seorang koruptor.
Hakim meringankan hukuman dengan mempertimbangkan perilaku baik terdakwa selama persidangan dan belum pernah dihukum sebelumnya. Keputusan ini menuai kecaman luas karena dinilai tidak sebanding dengan besarnya kerusakan lingkungan, kerugian negara triliunan rupiah, serta penderitaan rakyat akibat korupsi tersebut. Hal ini memperlihatkan ketimpangan serius dalam penegakan hukum dan mengikis kepercayaan publik terhadap sistem peradilan di Indonesia.
Situasi ini sangat bertolak belakang dengan kasus Asyani, seorang petani miskin yang tidak mendapatkan pertimbangan serupa, meskipun mencuri kayu jati dalam jumlah kecil demi kebutuhan hidupnya. Vonis ringan terhadap pelaku korupsi besar seperti Harvey Moeis mencerminkan fenomena umum di Indonesia, di mana rata-rata hukuman bagi terdakwa korupsi pada 2023 hanya sekitar 3 tahun 4 bulan, jauh di bawah ancaman maksimal yang diatur dalam undang-undang.
Ketimpangan serupa tidak hanya terjadi dalam kasus korupsi, tetapi juga dalam kejahatan pidana lainnya. Kasus Argo di Universitas Gadjah Mada (UGM) juga menjadi contoh nyata ketimpangan hukum yang mencederai rasa keadilan masyarakat. Argo adalah seorang mahasiswa hukum yang meninggal dunia akibat kecelakaan yang melibatkan seorang mahasiswa lain dari keluarga berada, yaitu Christiano Tarigan, yang menghadapi proses hukum penuh kontroversi.
Dugaan intervensi dan perlakuan istimewa terhadap pelaku yang berasal dari kalangan elit menimbulkan pertanyaan besar tentang kesetaraan di hadapan hukum. Kasus ini menunjukkan bagaimana status sosial dan kekayaan dapat memengaruhi proses penegakan hukum, bertolak belakang dengan semangat keadilan sosial yang dijunjung dalam Pancasila.
Penegakan hukum tidak boleh semata-mata mengutamakan aspek kepastian hukum (Rechtssicherheit) tanpa memperhatikan aspek keadilan (Gerechtigkeit) dan kemanfaatan hukum (Zweckmäßigkeit) bagi masyarakat. Ketiga aspek ini harus berjalan seimbang agar hukum tidak menjadi alat yang kaku dan tidak manusiawi, melainkan benar-benar melayani kepentingan seluruh rakyat Indonesia.
Baca Juga: Piknik Seru Meriahkan Hari Lahir Pancasila di Pontianak
Melihat dari ketiga kasus yang telah dibahas, sangat jelas bahwa hukum yang timpang mudah dibeli oleh orang-orang berduit dan berkuasa. Jika hal ini terus berulang, kepercayaan publik terhadap aparat penegak hukum dan legitimasi negara akan semakin menurun. Munculnya stigma negatif terhadap hukum dan keadilan dapat merusak kepercayaan masyarakat serta menghambat penegakan hukum yang efektif. Padahal, nilai-nilai Pancasila menekankan bahwa keadilan adalah hak bagi semua, mengadvokasi transparansi dan keadilan dalam proses hukum—namun kenyataannya, hal itu masih sering menjadi dongeng atau cerita rakyat belaka.
Oleh karena itu, para penegak hukum harus memprioritaskan perlakuan yang adil dan memastikan bahwa keadilan dapat diakses oleh semua orang tanpa memandang status sosial dan ekonomi. Penegakan hukum yang berlandaskan prinsip-prinsip Pancasila dapat menumbuhkan keadilan sosial, memerangi stigma, dan memperkuat gagasan bahwa keadilan bukanlah hak istimewa bagi mereka yang bergelimang harta dan kekuasaan, melainkan hak dasar bagi seluruh warga negara.
Selain itu, penegakan hukum harus didukung oleh pengawalan hukum dari masyarakat yang aktif dan kritis agar aparat penegak hukum tidak bertindak sewenang-wenang, terutama terhadap rakyat kecil. Penanaman kesadaran, kepedulian, dan pemahaman hukum di kalangan masyarakat luas sangat penting agar setiap putusan dan tindakan aparat hukum dapat dikritisi secara objektif dan konstruktif demi terciptanya keadilan yang sesungguhnya.
Jika keadilan hanya berpihak pada segelintir, untuk siapa Pancasila ditegakkan? Apakah sila keadilan sosial hanya menjadi hiasan pidato semata, atau masih merupakan janji yang layak kita perjuangkan?
Penulis: Sofia
Sumber:
UUD No. 18 Tahun 2013
https://www.cnnindonesia.com/nasional/20150423151941-12-48782/nenek-asiani-dinyatakan-bersalah
https://www.tempo.co/hukum/-temuan-polisi-dalam-penyelidikan-kecelakaan-mahasiswa-ugm-1603292
https://www.thejakartapost.com/id/opinion/2025/01/07/getting-off-lightly.html