Budi daya membaca dan menulis ialah konsep relasi yang tidak di pisahkan dalam persepsi pengembangan kedayatanggapan suatu konteks argumentasi berupa bacaan maupun tulisan dan juga suatu pengembangan daya berpikir logika secara jeniustik. Berpikir jenius bukan hanya dalam berpikir kecerdasaan dalam konteks material saja. Tapi, dalam kontek berpikir logis dari berbagai dampak negatif pada setiap sektor-sektor yang beredar di kalangan masyarakat, terutama di kalangan remaja bangsa indonesia dari dampak gadget.
Aktivitas membaca dan menulis di kalangan anak mudah bangsa Indonesia di saat ini sudah membudaya dan menjadi kebiasaan sehari-hari yang di lakukan. Namun, Apa yang kita baca itu bersumber dari media sosial atau bacaan yang terterah di buku-buku? Karena zaman milenial yang begitu sering menghabiskan waktu dengan gadget, tentu saja salah satunya ialah membuka media sosial untuk membaca apapun segalanya yang dapat di baca. Dan juga kita pun sering menulis tulisan di media sosial status dan chating dengan orang yang kita kenal.
Namun, terkadang apa yang dibaca tidak diimbangi dengan tingkat mutu membaca dan daya memahami makna bacaan yang sebenarnya. Dan juga apa yang kita baca tidak di imbangi dengan menulis karena menulis adalah sebuah keberanian. “Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah. Menulis adalah bekerja untuk keabadian.”- Pramoedya Ananta Toer.
Baca Juga: Mengembalikan Peran Media Di Tahun Politik
Keberanian untuk mengungkapkan ide, gagasan dan pemikiran dalam bentuk tulisan. Keberanian untuk mengkritik sesuatu yang di anggap menyimpan dari berbagai sektor negatif. Keberanian untuk menyampaikan protes, meminta keadilan, keberanian untuk membebaskan diri dari berbagai belenggu.
Kadang kita membagikan sesuatu informasi tentang apapun di media sosial. Namun, Seringkali terjadi begitu banyak berita hoax yang cepat tersebar. Kita pun belum sadar bahwa apakah informasi yang kita sebarkan adalah berita yang kontennya hoaks atau fakta. Kita harus membuktikan informasi tersebut dengan membaca dan menganalisa konteks berita tersebut dengan membaca hingga selesai terlebih dahulu.
Hal yang disebabkan karena kebanyakan dari kita tidak pernah membaca dan menulis sesuai prinsip-prinsip budaya baca dan tulis, kadang kita membaca dan menulis hanya bagian judul atau satu kalimat awal saja ataupun bahkan satu paragraf awal saja. Sayangnya, kita hanya berhenti disana saja. Dan kita pun tidak berniat untuk mencari referensi baru dari buku bacaan atau tulisaan di media sosial. Sehingga pengetahuan yang baru membantu kita untuk memahami bentuk bacaan dan tulisan tidak terintegrasi secara baik yang sebenarnya.
Menurut penulis, satu hal yang lupa kita sadari mengapa budaya literasi belum benar-benar melekat dalam diri anak muda Indonesia saat ini, yaitu kebutuhan. Mengapa kita makan? Karena kita lapar. Mengapa kita tidur? Karena kita lelah, ngantuk, dan lain-lain. Jika kita menyadari apa yang kita butuhkan, seperti halnya lapar berarti kita butuh makan, ngantuk berarti kita butuh tidur atau istirahat.
Demikian, begitu juga dengan budaya membaca dan menulis. Mengapa kita butuh baca dan tulis? Untuk menjadi manusia yang beradab, salah satu caranya melalui literasi (kemampuan membaca, menulis,berbicara, menghitung dan memecahkan masalah pada tingkat kealihan tertentu yang di perlukan dalam kehidupan sehari-hari). Lalu, apa sebenarnya hubungan antara manusia beradab dan literasi. Mari kita sama-sama definisikan mereka satu persatu.
Baca Juga: Tangkal Hoaks Di Tahun Politik
Istilah literasi atau dalam bahasa Inggris literacy berasal dari bahasa Latin literatus, yang berarti “a learned person” atau orang yang belajar. Pada bahasa Latin juga dikenal dengan istilah littera (huruf) artinya melibatkan penguasaan sistem-sistem tulisan dan konvensi-konvensi yang menyertainya. Sedangkan literasi menurut KBBI adalah kemampuan menulis dan membaca. Jadi dapat kita simpulkan bahwa literasi adalah kemampuan menulis dan membaca yang melibatkan konvensi-konvensi yang menyertainya.
Kalau menurut Ketua Departemen Akademik dan Keprofesian (AKPRO) Kamil, Kang Bahary mengatakan bahwa dengan membaca kita dapat memahami dunia dan berpikir strategis terhadap permasalahan yang ada, dan dengan menulis kita dapat mempengaruhi dunia dan tercatat dalam sejarah. Layaknya Newton dengan “Philosophiae Naturalis Principia Mathematica” atau Ibn Khaldun dengan “Mukhadimah”.
Beradab dalam pengertian KBBI yaitu mempunyai budi bahasa yang baik, berlaku sopan atau bisa juga memiliki pengertian telah maju tingkat kehidupan lahir batinnya. Manusia sesungguhnya adalah makhluk yang beradab sehingga mereka mampu menciptakan peradaban. Peradaban sebagai produk yang bernilai tinggi, halus, indah, dan maju menunjukkan bahwa manusia adalah makhluk yang memiliki kecerdasan yang tidak dimiliki makhluk lainnya. Selain itu peradaban juga menunjuk pada wujud gagasan, ide, dan perilaku manusia yang tinggi, halus, dan maju.
Hubungan erat antara peradaban yang maju dengan budaya literasi dapat kita lihat dari jumlah peneliti di suatu negara. Data dari Organisasi Pendidikan, Keilmuan, dan Kebudayaan PBB (UNESCO) pada 2016 menyebutkan bahwa kuantitas periset di negeri ini adalah yang paling sedikit di antara negara-negara anggota G-20.
Rasio jumlah periset di Indonesia, menurut sumber tersebut, yaitu 89 peneliti untuk per 1 juta penduduk. Dibandingkan dengan Singapura—jawara ASEAN—yang memiliki 6.658 peneliti per 1 juta penduduk, Indonesia masih jauh tertinggal.
Selanjutnya dijelaskan lagi olehnya bahwa ciri-ciri generasi pemimpin, salah satunya adalah generasi tersebut terbiasa melakukan proses literasi yang baik. Ketua KAMIL Pascasarjana ITB ini juga mengutip dari pernyataan Ust. Elvandi, salah seorang alumni Al-Azhar, ilmu politik di Manchester, dan filsafat di Prancis, bahwa ternyata agar kita bisa memiliki pemimpin terbaik, maka ciptakanlah generasi pemimpin melalui budaya literasi dan sejarah telah mencatat, bahwa pemimpin-pemimpin besar atau negarawan adalah orang-orang yang memiliki wawasan sejarah, wawasan sastra, dan wawasan kebudayaan atau geopolitik, yang ketiga hal ini tidak akan bisa didapat jika tidak didasari budaya literasi yang baik.
Budaya literasi memiliki tujuan agar kita dapat melakukan kebiasaan berpikir logis dengan diikuti oleh proses membaca, menulis yang pada akhirnya apa yang kita lakukan selama proses tersebut akan menciptakan karya. Membudayakan atau membiasakan untuk membaca tampaknya sudah tidak sulit lagi untuk generasi milenial sekarang namun membaca secara mendalam dan menuangkan hasil olah pikir dan bacaannya dalam bentuk tulisan itu perlu proses lebih lanjut yang tepat.
Penulis : Yoni Degei