Badan Eksekutif Mahasiswa merupakan salah satu lembaga yang memainkan peranan sejarah di Indonesia. Dimulai dari kritik keras pada orde lama, aksi demonstrasi berujung jatuhnya orde baru, dan baru-baru ini menjadi bagian yang lekat dengan #ReformasiDikorupsi. Posisi BEM yang memang sebuah bentuk kontrol atas pemerintah secara intelektual menjadi jawaban bagi masyarakat atas hidup bernegara.
Universitas Tanjungpura merupakan lembaga pendidikan tinggi yang ada di Kalimantan Barat, dengan total 30.687 mahasiswa pada tahun 2020 (UNTAN Dalam Angka). Sedangkan posisi Kalimantan Barat dalam Indeks Pembangunan Manusia yang masih di angka 29 se-Indonesia akan mengharapkan eksistensi sumber daya manusia yang unggul sebagai garda depan ilmu pengetahuan dan pembangunan masyarakat. Kebutuhan pemikir independen akan lebih banyak berasal dari kalangan mahasiswa yang banyak belajar dan membaca sehingga di kesempatan masa depan dapat mengambil tonggak kepemimpinan daerah, nasional, bahkan internasional.
Sayangnya, cerminan harapan ini tak serta-merta dapat diwujudkan oleh lembaga eksklusif di tingkat kampus. Mahasiswa memang kaum intelek, tapi intelektualitas tak selalu bergandengan dengan integritas dan kepentingan umum. Hal demikian terbukti nyata dengan posisi BEM Universitas Tanjungpura, yang partisipasinya di masyarakat sering terlambat, masih berkutat pada konflik internal, dan bahkan susah payah menggalang massa di tingkat kampus. Mahasiswa usia belasan dan awal dua puluhan ini memang belum banyak berpengalaman, tapi cita-cita mereka besar: menjadi inisiator dan inovator. Memang dua hal ini amat patut diapresiasi, lebih lagi perlu dikerjakan dengan benar.
Kekecewaan mendalam pada kelompok representatif kaum intelek ini sangat terlihat jelas saat mahasiswa se-Indonesia ikut serta dalam #ReformasiDikorupsi. Bukannya turut andil dalam tujuh tuntutan yang telah dibentuk bersama, BEM UNTAN menggalang ketidaktahuan banyak kelompok untuk menolak RUU krusial seperti RUU Penghapusan Kekerasan Seksual dan tak banyak bersuara pada RUU yang lebih penting lainnya. Tujuan mulia yang malah jadi semacam panggung politik dadakan, bahkan tanpa analisis intelektual. Lantas untuk menutupi hipokrisi dan menjadi lebih relevan ada beberapa cara yang BEM UNTAN dapat lakukan daripada hanya menunggu momentum.
Bagaimana Agar Tak Menjadi Hipokrit?
Habermas (1971) menyatakan benar adanya bahwa manusia pasti punya kepentingan dengan ragam bentuk yang akan dimanifestasikan. Bagi Indonesia sekarang politik masihlah soal politik identitas yang praktis. Bukan untuk pembangunan jangka panjang, tapi harapan mempertahankan status quo. Tak ayal kemudian partai-partai besar tergugah memamahbiak calon anggotanya melalui organisasi ekstra kampus. BEM UNTAN sendiri punya banyak sekali pengurus yang seringkali turut berafiliasi dengan ragam kelompok dan ideologi yang membentuk dirinya. Entah karena agama, kekerabatan, paham, ataupun gender. Poinnya bukanlah pada afiliasi ini tepat atau tidak, tapi menyadari bahwa afiliasi pasti akan membawa dampak kepentingan. Menjadi badan sentral dan representatif politik di kampus harusnya membuka mata pengurus BEM untuk bijak mengambil langkah politik. Sehingga hipokrisi antara mempertahankan argumen pribadi atau kelompok dengan menggendong nama kampus tak lagi dianggap enteng. Penulis di sini membenarkan kepentingan politik, menyatakan kembali bahwa posisi BEM adalah alat untuk mengkritisi pemerintah; setidaknya di level kampus.
Bagaimana Agar BEM UNTAN Menjadi Semakin Relevan?
BEM UNTAN dan kepemimpinan di dalamnya juga menyadari bahwa mahasiswa dan civitas academica Universitas Tanjungpura terdiri dari banyak ragam suku, agama, budaya, golongan, dan kepercayaan. Maka, tak heran seringkali ada keluhan bahwa partisipasi di UNTAN sangatlah rendah. Ini lazim dalam kerja demokrasi. Untuk mencapai demokrasi yang berhasil, golnya hanya satu: partisipasi. Namun, coba kita tilik lebih dalam mengapa mahasiswa UNTAN begitu tak acuh bahkan enggan terlibat dalam kerja BEM UNTAN.
Seperti yang sudah dipaparkan di atas, hipokrisi BEM UNTAN bukanlah hal baru. In dan out-group yang tak sengaja terbentuk di dalam kepengurusannya pun dengan jelas membuat resah anggota-anggota yang menjadi suara minoritas saat mengajukan usulan. Rasa kepemilikan dan penerimaan yang minim ini membuat jurang lebar antara kelompok “kanan” dan “kiri” yang ada di kampus. Lantas bagaimana menanggulanginya? BEM UNTAN harus mengerahkan affirmative action, mendorong kader-kader baru dari ragam kelompok agama, suku, golongan, gender, dan kepentingan.
Apa yang seharusnya BEM UNTAN lakukan?
Menghindari hipokrisi artinya menjadi tidak hipokrit. Meningkatkan partisipasi mahasiswa secara politik di kampus jawabannya harus menjadi relevan. Untuk level organisasi BEM UNTAN setidak-tidaknya harus:
- Menyiapkan instrumen analisis data dan argumen yang lebih tepat.
- Mengundang bincang kelompok mahasiswa lain (konsolidasi)
- Mengajukan inovasi-inovasi positif seperti mendorong Green Campus di UNTAN.
- Affirmative action bagi individu yang ada pada fakultas, gender, agama, suku, dan isu yang belum ada representasinya.
- Kegiatan membaca.
- Pembangunan internal kader.
Masih banyak lagi inovasi dan fokus yang dapat dikerjakan BEM. Karena pada akhirnya, BEM dan keriuhan politiknya sekali-kali juga perlu bicara soal apa yang menjadi kebutuhan jaman. Idealisme yang membakar harus sejalan dengan kesehatan mental yang baik. Berinovasi dimulai dengan critical thinking. Mau menjadi pionir merayakan perbedaan dengan cara menjadi cermin toleransi. Sehingga akhirnya saat bersosialisasi di masyarakat bukan lagi menamai diri sebagai pengabdian kepada masyarakat tetapi memaknai pengabdian kepada masyarakat sebagai seorang intelektual yang dapat diandalkan.
Penulis : Feliani (Mahasiswa Untan Angkatan 2018)