Sudah tak terhitung jari saya bolak-balik dari berbagai sosial media. “Permendikbud legalkan zina”. Tulisan ini ramai bertebaran, huruf kapital dan tanda serunya membuat kesan mereka menulis ini sambil berteriak. Soal frasa “tanpa persetujuan” yang saat di kontrakan ujub-ujub keluar menjadi “membolehkan zina”. Ternyata itulah yang dipermasalahkan dari pasal yang hendak mereduksi kasus kekerasan seksual di kampus.
Berbicara tentang frasa “tanpa persetujuan”, saya rasa tidak ada yang harus diributkan. Kesimpulan yang terkesan “melegalkan zina” tersebut menurut saya lahir dari kesalahan dalam pengambilan kesimpulan. Namanya fallacy of denying antecedent. Ya, saking seringnya kesalahan ini terjadi sampai-sampai punya namanya sendiri. Namanya cukup keren, tapi tidak dengan imbasnya. Seperti yang kita ketahui, kasus kekerasan seksual di kampus masih marak terjadi, dengan peraturan yang masih mogok untuk disahkan, para predator juga masih leluasa gentayangan.
Baca juga: Ribut-Ribut Soal Permendikbud
Beberapa ada yang sudah ahli, sisanya mungkin masih asing bagaimana asal usul terjadinya fallacy of denying antecedent. Ilustrasi contohnya seperti ini, “jika hujan, maka lantai basah”. Pernyataan ini bisa dilambangkan (P à Q), dengan P adalah “jika hujan” dan Q adalah “maka lantai basah”. Jika yang terjadi adalah “jika tidak hujan” yang dilambangkan dengan (~P), lalu apa yang selanjutnya terjadi, apakah lantai tidak akan basah? Atau lantai akan basah? Jawabannya, ya tidak tahu. Kedua kesimpulan itu sama-sama memiliki nilai kebenaran yang tidak pasti sehingga kesimpulan yang didapat justru nihil dengan kata lain tidak bisa dihasilkan kesimpulan.
Sekarang kita lihat bagaimana fallacy of denying antecedent yang terjadi pada Permendikbud. Saya akan mengaplikasikan aturan penarikan kesimpulan pada pasal 5, ayat 2, poin b yang berbunyi “memperlihatkan alat kelaminnya dengan sengaja tanpa persetujuan korban”. Sebetulnya dari sini kita bisa melihat kata “korban” sudah barang pasti lahir dari ketidaksetujuan yang artinya pasal ini hanya berlaku untuk suatu tindakan yang hanya terjadi jika tanpa persetujuan. Dari pasal tersebut, ada dua premis yang dapat dihasilkan. Yang pertama adalah “tanpa persetujuan korban” dan yang kedua adalah “memperlihatkan alat kelaminnya dengan sengaja”.
Untuk memudahkan dalam mengaplikasikan aturan penarikan kesimpulan, maka pasal tersebut kita ubah ke dalam bentuk sebab akibat atau implikasi yang mana menjadi “jika tanpa persetujuan korban, maka tidak boleh memperlihatkan alat kelaminnya dengan sengaja”. Disini saya akan mensubtitusi kalimat “jika tanpa persetujuan korban” dengan lambang (P) dan kalimat “maka tidak boleh memperlihatkan alat kelaminnya dengan sengaja” dengan lambang (Q). Sehingga bentuk sebab akibat atau implikasi yang saya buat sebelumnya bisa dilambangkan dengan (P à Q). Lalu timbulah pertanyaan, bagaimana “jika setuju”? Argumen “jika setuju” ini adalah hasil dari argumen “tanpa persetujuan” yang dinegasikan, maka akan setara dengan (~P). Sampai disini jelas tidak ada kekeliruan yang ada. Namun jika lahir sebuah kesimpulan “maka boleh memperlihatkan alat kelamin dengan sengaja” yang dilambangkan dengan (~Q), maka terjadilah fallacy of denying antecedent atau kesalahan penyangkalan anteseden ini.
Mengenai persetujuan korban, Permendikbud juga sudah menjelaskan kondisi-kondisi yang menyebabkan persetujuan korban menjadi tidak sah. Soal seks dengan persetujuan bersama, jelas bukan wewenang Permendikbud untuk mengatur. Soal keberadaan norma-norma lain yang mengatur kehidupan masyarakat, seharusnya tidak boleh diabaikan. Dengan begitu kita bisa mengerti apa yang menjadi fokus atau tujuan dalam Permendikbud itu.
Penulis : Itut
*) Opini ini adalah tanggungjawab penulis seperti tertera, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi mimbaruntan.com.