mimbaruntan.com, Untan – Tonggak pengakuan dan perlindungan eksistensi bangsa Indonesia di kancah Internasional telah tercetus sejak tanggal 19 Agustus 1945. Tahun demi tahun berlalu hingga 80 tahun lamanya, diplomasi bukan hanya sebagai pengakuan kemerdekaan dan kedaulatan semata tetapi telah berkembang menjadi bagaimana negara mendukung dan melindungi warganya, di mana pun mereka berada. Namun, statistik terkini menunjukkan adanya tantangan dan peluang yang terus berlanjut menuntut refleksi lebih dalam dan kalibrasi ulang strategis kedepannya.
Menurut data terbaru dari GoodStats pada tahun 2025 menunjukkan semakin luas jangkauan Warga Negara Indonesia (WNI) di dunia yang biasanya kita sebut sebagai diaspora Indonesia. Sekitar 3,01 juta orang Indonesia kini tinggal di berbagai negara, dengan lebih dari 1,33 juta di Malaysia, negeri yang kerap dijuluki Negeri Jiran. Dari pekerja migran di konstruksi, manufaktur, hingga sektor domestik, banyak di antara mereka yang menghadapi kerentanan, terutama bila berstatus tidak berdokumen atau terjebak di wilayah konflik. Dalam enam bulan pertama tahun 2025 saja, tercatat lebih dari 4,57 juta perjalanan ke luar negeri dilakukan oleh WNI. Angka ini menegaskan betapa besar tanggung jawab diplomasi untuk hadir bagi warga, bukan hanya untuk negara.
Sayangnya, terdapat kesenjangan nyata dalam perlindungan warga negara. Indonesia memang aktif di forum internasional, perdagangan, dan diplomasi investasi, tetapi urusan perlindungan WNI sering kali bersifat reaktif. Hingga Mei 2025, tercatat oleh metrotvnews.com lebih dari 53 ribu WNI tidak berdokumen, dengan mayoritas di Malaysia (45.126 kasus), disusul Arab Saudi, Filipina, dan Timor Leste. Tanpa dokumen yang sah, mereka rentan terhadap eksploitasi, pelecehan, dan masalah hukum. Pemerintah memang telah memperkenalkan sistem verifikasi elektronik dan percepatan proses legalisasi status, tetapi skala masalah yang besar menuntut langkah yang lebih proaktif.
Baca Juga: Keadilan Bagi Seluruh Orang Berduit: Parodi Keadilan Sosial di Negeri Pancasila
Kritik yang sering muncul pun masih relevan dimana diplomasi kita tampak lebih sibuk di panggung global ketimbang sigap melindungi nyawa satu per satu warganya. Berdasarkan liputan Kompas.com pada Juni 2025, terdapat kasus WNI yang terjebak konflik di Gaza, pekerja migran di Timur Tengah, hingga korban perdagangan manusia di Asia Tenggara, menjadi alarm keras bahwa diplomasi harus lebih gesit, berdaya, dan berorientasi pada warga negara kita.
Di sisi lain, Indonesia juga menjadi rumah bagi pengungsi dan pencari suaka, seperti imigran Rohingya di Aceh. Dalam kasus ini, pendekatan diplomatik kita sering terhambat oleh keterbatasan hukum nasional dan komitmen internasional. Tantangan seperti ini menuntut keseimbangan baru antara menjaga kedaulatan negara dengan mengedepankan rasa tanggung jawab kemanusiaan.
Maka dari itu, peringatan Hari Departemen Luar Negeri di setiap 19 Agustus ini seharusnya tidak berhenti sebagai aksi seremonial semata. Namun, momentum ini mesti digunakan sebagai evaluasi kritis negara, apakah strategi diplomasi kita sudah komprehensif melindungi kehidupan rakyat Indonesia di luar negeri atau bahkan sebatas jargon saja? Jawabannya ada pada koordinasi yang lebih kuat antar-kementerian, menghadirkan layanan konsuler yang cepat dan sigap, sosialisasi hak-hak pekerja migran, serta perlindungan hukum yang nyata dan efektif.
Diplomasi hari ini bukan hanya soal relasi antarnegara dan seni bernegara. Diplomasi adalah bagaimana negara berdiri untuk rakyatnya, di tanah air maupun yang sedang mengadu nasib di perantauan. Ke depannya keberhasilan diplomasi Indonesia tidak cukup hanya diukur dari sekadar pengaruhnya di panggung dunia, tetapi dari seberapa teguh ia menjaga keamanan, martabat, dan kesejahteraan warganya. Itulah ukuran sejati diplomasi Indonesia di abad ke-21 ini.
Penulis: Sofia