Penduduk miskin di Indonesia menurun dari tahun 2017. Di tahun ini, menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), sebanyak 630 ribu orang Indonesia terbebas dari kemiskinan. “Hanya” tinggal 9,82 persen penduduk yang dikategorikan miskin. Menurut kepala BPS, Suhariyanto seperti dikutip dari Tribun Pontianak edisi 18 Juli 2018, Penurunan ini salah satunya disebabkan oleh realisasi penyaluran subsidi dan penyaluran bantuan sosial, contohnya seperti Rastra (Beras Sejahtera) dan BPTN (Bantuan Pangan Non-Tunai). Tentunya masih banyak sebab lain.
Di Kalbar, golongan miskin berjumlah 387 ribu orang. Dikutip dari sumber yang sama, Pitono, Kepala BPS Kalbar mengungkapkan bahwa beras menjadi komoditi makanan yang memberikan sumbangan terbesar pada Garis Kemiskinan, lalu yang kedua adalah rokok berjenis kretek filter. Karena kita tahu, harga rata-rata rokok filter lebih mahal dibanding rokok tanpa filter. Rokok menjadi penyumbang Garis Kemiskinan sebesar 12,11 persen di perkotaan dan 9,71 persen di perdesaan.
Untuk penetapan golongan miskin, BPS tidak sembarangan. Setidaknya, ada 14 kriteria yang mengindikasikan seseorang atau keluarga itu miskin. Papan, pangan, sandang, penghasilan dan pendidikan adalah cakupan yang dinilai. Diantaranya seperti pendapatan dibawah 600 ribu perbulan, sumber penerangan tidak menggunakan listrik, dan pendidikan paling tinggi kepala keluarga adalah tamatan SD.
Jika posisi pertama penyumbang Garis Kemiskinan dari kategori barang konsumsi diduduki beras, itu sudah jamaknya. Karena beras merupakan makanan pokok orang Indonesia, bahkan sebagian Asia. Meskipun Indonesia negara agraris dengan luas sawah keseluruhan berjumlah 8 juta ha (Data BPS 2015), Indonesia sulit kembali mengulang swasembada pangan seperti masa Orde Baru tahun 1980-an. Petani punya sawah dan menanam padi, namun hasil panen tak cukup sampai panen berikutnya. Lantas, bagaimana dengan rokok?
Rokok menjadi komoditi konsumsi penyumbang Garis Kemiskinan nomor dua yang menarik untuk diperbincangkan. Saat kalimat peringatan tentang bahaya merokok sama sekali tidak diindahkan, pemerintah memerintahkan memasang gambar dampak merokok bagi kesehatan. Leher berlubang, paru-paru menghitam, bibir yang busuk dan membengkak sepertinya kalah dengan nikmatnya asap rokok.
Baca Juga: Sebab Perguruan Tinggi Indonesia Sulit Mengungguli Tetangga
Dampak rokok memang kompleks. Baik dari sisi ekonomi, kesehatan, hingga sosial. Melihat dampak ekonomi secara makro, rokok menjadi penyumbang pendapatan negara terbesar dari pita bea cukai. Mulai 1 Januari 2018 kemarin, cukai rokok naik menjadi 10,04 persen. Tahun 2017 saja, pendapatan negara dari rokok sebesar 160-an triliun.
Rokok sudah seperti makanan pokok bagi para penikmatinya. Rata-rata orang mengeluarkan 15 ribu sampai 20 ribu sehari hanya untuk membeli rokok. Inilah yang menjadikan rokok sebagai salah satu penyumbang Garis Kemiskinan. Konsumsi rokok sehari sama dengan setengah pengeluaran dalam satu kali makan keluarga kecil dengan menu sederhana. Jelas, itu meningkatkan pengeluaran keluarga. Hal tersebut mengakibatkan ada kebutuhan lain yang tidak terpenuhi.
Di bidang kesehatan, sudah banyak penelitian yang mengungkapkan banyak zat berbahaya dalam rokok yang bisa memicu munculnya berbagai penyakit. Yang paling terkenal adalah nikotin dan tar. Pernah dengar kata-kata, “Orang-orang merokok untuk nikotin, tapi mereka mati karena tar,” dari Michael Russell. Penelitian terbaru mengatakan bahwa nikotin tidak menyebabkan penyakit yang ditulis di kemasan rokok, tetapi zat yang bernama tar dan zat berbahaya lain dalam rokok itulah penyebabnya.
Mungkin banyak yang mendengar bahkan melihat serta merasakan sendiri bagaimana interaksi perokok dan bukan perokok. Orang yang tidak merokok pun menjadi perokok pasif dan terkena dampaknya karena menghirup asap rokok dari orang di dekatnya. Oleh karena itu, dibentuk peraturan daerah (perda) di berbagai daerah tentang kawasan yang diperbolehkan merokok dan dilarang merokok disertai denda. Meskipun realitasnya, jarang dipatuhi. Itulah sedikit dampak sosial dari rokok.
Meluas dari uang yang harus dikeluarkan membeli rokok, biaya kesehatan dari dampak rokok juga perlu dilihat. Rokok yang notabene juga memiliki dampak positif dan negatif. Semua sudah terurai di atas. Persoalan mengapa rokok menyumbang angka kemiskinan juga sudah dibahas di atas. Memang tidak merokok atau berhenti merokok tidak akan membuat seseorang lepas dari jerat kemiskinan. Namun, setidaknya pengeluaran untuk membeli rokok bisa dialihkan untuk keperluan lainnya.
Ini bukan perang dagang antara rokok dan vape. Saya tidak mengatakan rokok lebih berbahaya atau sebaliknya, vape lebih baik. Vape tidak kalah memiskinkan, namun pengunaan rokok lebih umum di masyarakat. Tapi tentu yang lebih baik adalah tidak merokok atau menggunakan vape.
Penulis : Aris Munandar
Editor : Nurul R. M.