Bayangkan Pangau, seorang anak bersuku Dayak yang lahir di pedalaman pulau Borneo pada tahun 1951. Ia akan dibesarkan di tengah-tengah jutaan hektar hutan hujan tropis yang lebat dan penuh kehidupan. Setiap harinya Pangau masih bisa menikmati air sungai yang jernih dan berjumpa berbagai satwa liar seperti orangutan dan rangkong yang hidup berdampingan dengannya. Keberadaan Pangau pun masih sangat terisolasi dari dunia luar dan kesehariannya serupa dengan kehidupan kakek dan nenek moyangnya yang hidup ratusan tahun sebelumnya.
Sekarang bayangkan Bangkang, seorang anak bersuku Dayak yang juga lahir di pedalaman pulau Borneo pada tahun 2001, 50 tahun kemudian, tahun kelahiran saya. Anak itu akan lahir di dunia dimana sebagian besar dari hutan itu sudah hampir habis terpotong dan berbagai koneksi dengan dunia luar sudah terbentuk – jalanan dan infrastruktur, alat transportasi, internet. Ia akan dibesarkan dengan teknologi, modernisasi, dan tentunya memiliki kehidupan yang berbeda dengan generasi pewarisnya.
Kedua ilustrasi di samping memiliki persamaan, yaitu bagaimana kedua anak tersebut lahir dan besar di lingkungan dengan budaya menjaga hutan yang kuat. Namun, yang membuatnya berbeda adalah bagaimana cara Pangau dan Bangkang menjaga hutan di sekitar mereka. Tentunya pelestarian hutan di zaman sekarang tidak akan sama dengan dulu. Ada banyak tantangan dan juga peluang yang baru, cara berpikir yang lebih terintegrasi, dan pengelolaan hutan yang berbeda bentuk. Maka pertanyaannya adalah, bagaimana kita bisa pastikan bahwa di tengah terjadinya kemajuan dan perkembangan zaman ini, budaya menjaga hutan tersebut tidak hilang?
Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat
Pendekatan berbasis masyarakat adalah salah satu kunci dari skema pengelolaan hutan yang efektif dan berkelanjutan. Mengapa? Karena masyarakat lah yang paling paham dan kenal akan hutan mereka.
Pengelolaan hutan berbasis masyarakat artinya setiap kegiatan yang dilakukan sesuai dengan kebutuhan, pemahaman dan persetujuan masyarakat. Pendekatan ini juga berarti masyarakat tidak diperalat, tetapi menjadi subyek dan penerima manfaat utama dari program pengelolaan hutan. Tidak hanya itu, masyarakat juga diikutsertakan di dalam setiap pembahasan mengenai permasalahan yang ada di hutan dan wilayah mereka, serta strategi dan solusi apa yang bisa dilakukan untuk menanggulangi permasalahan tersebut.
Baca juga: Laut Mengisahkan Tentang Mereka yang Hilang
Praktek dari pengelolaan seperti ini saya temukan di Nanga Betung, sebuah desa di pedalaman Kalimantan Barat yang mengelola hutan desa seluas 1.995 hektar. Ketika saya berkunjung kesana, mereka tengah merancang rencana pengelolaan hutan selama 25 tahun. Dalam pembuatan rencana tersebut, People Resources and Conservation Foundation (PRCF) Indonesia sebagai lembaga yang memfasilitasi proses tersebut menggunakan standar Plan Vivo (kerangka sertifikasi bagi proyek yang mendukung petani pemilik lahan kecil pedesaan dan kelompok masyarakat yang mengusung perbaikan pengelolaan sumber daya alam dengan menggunakan pembayaran jasa ekosistem) untuk mengidentifikasi akar masalah deforestasi dan degradasi hutan, menganalisa potensi keanekaragaman hayati serta memahami kondisi sosio ekonomi masyarakat tempatan. Salah satu hal kunci dari proses tersebut adalah sifatnya yang partisipatif, dimana masyarakat menjadi pelaku utama perumusan rencana pengelolaan hutan desa mereka.
Keikutsertaan inilah yang menjadi dasar dari pendekatan berbasis masyarakat untuk bisa mencapai tujuan penting dari pengelolaan hutan, yaitu kemandirian masyarakat. Mereka tidak hanya lebih paham soal rencana pengelolaan hutan tetapi juga membangun rasa memiliki (sense of ownership) karena telah menjadi bagian dari rencana pengelolaan hutan sejak awal.
Pengelolaan Hutan Kontekstual
Setiap hutan dan masyarakat yang tinggal di sekitarnya pasti berbeda. Berbeda dari segi ketersediaan sumber daya, keanekaragaman hayati, kebutuhan dan kapasitas. Oleh karena itu, perlindungan suatu wilayah hutan dengan yang lainnya tidak bisa sama. Faktor kontekstual tersebut lah yang perlu dikaji dan dipahami agar rencana pengelolaan hutan relevan dan sesuai dengan apa yang menjadi kebutuhan masyarakat dan kondisi hutannya.
Desa Nanga Lauk menjadi salah satu contoh konservasi hutan yang kontekstual. Ketika saya melakukan studi banding ke desa terpencil yang dikelilingi oleh lahan gambut dan hutan rawa itu, saya menelusuri sejarah dan struktur dari Lembaga Pengelolaan Hutan Desa (LPHD) disana. Mereka merancang kegiatan pengelolaan hutan ke dalam tiga bidang: 1) Bidang Penguatan Kelembagaan dan Sumber Daya Manusia; 2) Bidang Perlindungan dan Pengawasan; 3) Bidang Pemanfaatan Hutan dan Pengembangan Usaha.
Dalam ketiga bidang tersebut, LPHD Nanga Lauk merancang program kegiatan yang sesuai dengan kebutuhan dan sumber daya yang ada. Bidang satu dan dua, dapat dikatakan standar layaknya lembaga umum, seperti adanya kesekretariatan, pelayanan tamu dan penanganan keluhan, atau bidang perlindungan dan pengawasan hutan yang mencakup patroli, rehabilitasi serta pendidikan konservasi dan lingkungan. Bidang tiga, yaitu Kelompok Usaha Perhutanan Sosial (KUPS) dikembangkan sesuai dengan potensi sumber daya alam setempat dan mendukung mata pencaharian alternatif. Melalui diskusi dengan masyarakat serta analisa potensi dan hambatan, akhirnya muncul lima kelompok usaha dengan program kerja yang kontekstual, berdasarkan ketersediaan sumber daya dan kondisi hutan desa Nanga Lauk.
Baca juga: Empagu, Sang Tonggak Desa
Perencanaan pengelolaan hutan yang kontekstual diperlukan agar sisi ekonomi, politik, kelembagaan, sosial, ekologi maupun budaya yang spesifik di area tersebut masuk ke dalam pertimbangan sebelum program dilaksanakan. Hal ini memastikan bahwa proses persiapan serta pembangunan kapasitas sesuai dengan kondisi masyarakat dan akan melahirkan program kerja yang bisa berjalan secara optimal dan berkelanjutan.
Pemuda adalah Kunci
Dengan memahami praktik pengelolaan hutan secara lebih dalam, semakin jelas bahwa pengelolaan hutan jauh melebihi perlindungan ekosistem hutan saja, tetapi juga mencakup perlindungan masyarakat dan penunjangan ekonomi yang sesuai dengan ekosistem mereka. Oleh karena itu, pengelolaan hutan kini membutuhkan pendekatan yang multidisiplin dan terintegrasi. Menurut saya, pemeran utama dalam perwujudan hal tersebut adalah anak muda.
Ketika melakukan pendampingan bagi Masyarakat Adat Dayak Iban Sungai Utik untuk pengembangan rencana pengelolaan hutan adat disana, saya mendorong keterlibatan anak muda karena potensi mereka dalam mensukseskan masa persiapan dan implementasi dari program yang akan dijalankan. Pertama, penyusunan rencana kerja dikembangkan berdasarkan penghimpunan data yang mumpuni untuk memastikan program-program yang akan dilaksanakan sesuai dengan kapasitas dan kebutuhan masyarakat. Pengolahan dan penyimpanan data yang memadai secara digital, membutuhkan kecakapan literasi teknologi digital yang bisa dikembangkan dalam anak muda. Kedua, rencana kerja pengelolaan hutan merupakan inisiatif jangka panjang yang akan membuka lapangan pekerjaan baru selama setidaknya 20-30 tahun kedepan. Dan pada rentang waktu ini, anak muda lah yang akan hidup dan aktif secara ekonomi untuk mengisi posisi yang dibutuhkan. Ketiga, melibatkan anak muda dari awal proses ini akan membangun kemandirian dan juga rasa memiliki (sense of ownership) yang menjadi kunci keberlanjutan pengelolaan hutan disana.
Masa Depan Pengelolaan Hutan
Jika kita kembali ke cerita Pangau dan Bangkang, ketiga poin di atas menjadi bukti bahwa pengelolaan hutan sudah banyak berubah dan berevolusi. Paradigma kehutanan kini perlu meletakkan fokus kepada pemberdayaan masyarakat lokal yang akan menjadi aktor utama dari pengelolaan sumber daya dan pelestarian hutan di kawasan mereka. Dalam pandangan holistik, program pengelolaan hutan juga diharapkan bisa menjawab ketimpangan lingkungan dan ekologis serta pemerataan pembangunan, kemandirian ekonomi dan kesejahteraan masyarakat. Dalam visi itu, dipastikan bahwa prosesnya berbasis masyarakat, kontekstual dan memberdayakan anak muda demi masyarakat yang sejahtera dan hutan yang lestari.
Penulis: Laetania Belai Djandam (Youth Climate Reality Leader)
*Opini ini adalah tanggungjawab penulis seperti tertera, tidak menjadi bagian dari tanggungjawab redaksi mimbaruntan.com