Mimbaruntan, Pontianak – Salam hangat pada orang-orang langit yang selalu berdiskusi tentang dinamika politik, permasalahan negara dan pemerintah, serta konstelasi ekonomi negara. Berdiskusi di warkop-warkop demokratis dengan pemikiran mereka yang idealis. Memang tidak salah apabila suka membahas soal politik, justru sangat bagus apabila mau peka terhadap politik apalagi jika ikut berpartisipasi mewujudkan politik yang jujur dan bersih.
Tentunya bahasan mereka ini sangat tinggi hingga mereka disebut “orang-orang langit” dan lawan dari orang langit adalah orang bumi. Orang yang suka membahas peristiwa atau masalah sosial disekitar, karena bahasan seringkali menekur pada hal-hal yang ada disekitar.
Mungkin atas dasar ini, orang yang senang membicarakan atau aktif dalam kegiatan sosial disebut “orang-orang bumi”. Namun ada pendapat beberapa orang mengatakan, “bahas masalah sosial di zaman sekarang, itu terlalu rendah. Lebih baik lihat yang sedang menjadi trending topik yaitu politik, pergantian Presiden nih lagi seru-serunya.”
Baca Juga: Riwayat Perjuangan Gusti Sulung Lelanang
Teman-teman, pendapat seperti itu menggambarkan sekali bahwa orang langit akan kaku apabila dibawa ke pembahasan masalah sosial. Apa mereka tidak peduli keadaan sekitar yang nyata? Atau mereka memang hanya ingin mengurus permasalahan kekuasaan? Padahal sebenarnya permasalahan sosial sekecil apapun, akan sangat berpengaruh pada negara ini.
Di sini, saya akan merujuk pada hal yang sudah tidak asing lagi bagi kita yaitu anak-anak di lampu merah. Fenomena sosial yang satu ini terlihat nyata di kota-kota besar, keberadaan mereka juga menimbulkan beberapa masalah yang merugikan pihak lain dan sudah seharusnya masalah ini harus segera ditangani supaya bisa dikurangi maraknya anak jalanan.
Teman-teman pasti tahu atau pernah bahkan sering melihat anak-anak usia sekolah yang seharusnya belajar tapi malah mengemis di simpang lampu merah. Sebenarnya saat itu mereka sedang belajar, iya belajar menghadapi hidup yang begitu keras dan sulit mereka jalani.
Anak-anak berusia dibawah 6-15 tahun yang mengemis di jalan pastilah memiliki nasib yang tidak seberuntung kita yang sedang membaca tulisan ini dengan gadget dan laptop keren. Pada faktanya anak-anak pengemis ini memang tidak sekolah, karena mereka mengemis di saat jam orang-orang pergi sekolah dan kerja. Ada yang mengemis setengah hari saja namun ada pula yang seharian hingga malam itu mengais belas kasihan orang-orang.
Teman-teman, memang mengemis itu perbuatan yang tidak baik… Meminta-minta uang begitu saja tanpa bekerja jelas dinilai sangat negatif. Tapi kalau dilihat dari kacamata nurani kita, maka, “apa daya anak-anak itu, mereka masih dibawah umur untuk bekerja. Jadi mungkin karena tak ada pilihan lain dan mereka butuh makan makanya mereka terpaksa mengemis.”
Baca Juga: Bagaimana Kabar KTP Penganut Agama Lokal?
Kita dapat lihat dari penampilan mereka pun sangat prihatin. Dengan pakain yang lusuh, kotor, bahkan tak layak pakai dan sendal jepit usang atau bahkan ada yang telapak kakinya sudah bersahabat dengan panasnya aspal jalanan. Ada pula diantara anak-anak pengemis itu ada anak yang menjual koran di simpang lampu merah, tapi yang mengemis lebih mendominasi pemandangan mata kita.
Pernah kita pikirkan di saat kita enak makan sarapan di rumah, di saat kita menyiapkan buku untuk belajar di sekolah, di saat kita diantar orang tua dengan motor atau mobil ke sekolah. Namun kita masih banyak mengeluh. Padahal di luar sana dapat kita lihat dengan jelas, ada anak-anak yang telah putus sekolahnya, yang tiada bisa merasakan makan enak, yang ditelantarkan dan tiada mendapatkan kasih sayang orang tua karena beberapa alasan atau mungkin sudah tidak punya orang tua lagi. Hingga kesulitan dan beban hidup yang mereka tanggung begitu berat, tak ada pilihan lain mereka turun ke jalan dan mengemis uang belas kasih dari orang-orang yang mereka temui di jalan itu.
Dari atas motor kita dapat melihat tangan-tangan kecil mereka menengadah dan dari balik kaca mobil pun kita dapat melihat tangan itu mengetuk pintu kaca mobil sembari berkata, “Om, bagi rezekinya om, dedek lapar tapi gak ada uang buat makan Om.” Mendengar suara lirih dan melihat tatapan mereka itu membuat hati teriris dan rasa iba untuk mereka.
Sebenarnya di dalam hati kecil mereka, tidak ingin mengemis. Mereka juga ingin sekolah, di didik dan disayangi. Mereka juga ingin bermain dengan teman-teman sebaya dan menikmati masa kecil mereka. Tapi kesempatan itu tidak mereka dapatkan, mungkinkah ini karena biaya pendidikan yang terlalu mahal bagi mereka atau karena hal lain.
Namun faktornya yang jelas adalah orang tua mendorong anak untuk bekerja membantu ekonomi keluarga, kasus kekerasan dan perlakukan salah terhadap anak oleh orang tua semakin meningkat sehingga anak malah ke jalanan, anak terancam putus sekolah karena orang tua tidak mampu membayar uang sekolah, dan makin banyak anak yang hidup di jalanan lantaran karena di telantarkan orang tua dan kurang dapat perhatian dari pemerintah.
Mereka anak-anak di simpang lampu merah itu juga berhak mendapatkan pendidikan dan kehidupan yang layak. Dari segi kacamata hukum, Undang-undang Hak Asasi Manusia (UU No. 39 Tahun 1999) pada bagian Hak Anak salah satunya adalah sebagai berikut: “Setiap anak berhak untuk memperoleh pendidikan dan pengajaran dalam rangka pengembangan pribadinya sesuai dengan minat, bakat dan tingkat kecerdasannya.”
Lalu juga terdapat dalam Undang-undang Dasar (UUD) 1945 pada Pasal 28 B ayat 2 UUD 1945 berbunyi: “Setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi”. Pasal 28 B ini dengan jelas menyatakan bahwa setiap anak mendapatkan hak asasinya sebagai generasi muda yang memiliki kesempatan untuk hidup, tumbuh menjadi dewasa dan berkembang kemampuan fisik dan pemikirannya.
Nah pendidikan merupakan hak yang paling penting bagi seorang anak untuk mengembangkan semua potensi kemampuan yang dimilikinya karena mengingat bahwa anak-anak secara umur dan fisik lebih muda dan lebih lemah daripada orang dewasa. Kita tidak bisa menghilangkan anak jalanan namun ada upaya-upaya untuk mengurangi jumlah mereka dari tahun ke tahun dan solusi alternative untuk pemecahan masalah ini dapat dilakukan oleh Pemerintah, masyarakat, dan siapapun yang mau berbuat sesuatu untuk rakyat. Beberapa di antaranya adalah:
- Anggaran dana untuk pelatihan orang tua dan anak agar dapat memperbaiki kualitas sumber daya manusia.
- Pendidikan yang optimal terutama pendidikan karakter dan biaya pendidikan tidak membebani mereka.
- Pembinaan melalui pemberian beasiswa dan akses pendidikan yang dikombinasikan dengan rumah singgah.
- Pelatihan keterampilan dan kewirausahaan sehingga mereka bisa hidup mandiri dan punya daya cipta yang produktif.
- Di sisi lain, Pemkot maupun Pemda perlu menambah panti sosial untuk menampung anak-anak jalanan.
Apabila semua upaya itu diwujudkan maka peningkatan jaminan perlindungan bagi anak-anak tidak menjadi sebuah mimpi lagi. Anak-anak jalanan itu pun dapat merasakan kehidupan yang jauh lebih baik. Masyarakat menjadi nyaman karena tidak terganggu dengan keberadaan mereka di jalanan terutama di simpang lampu merah atau di tempat makan.
Untuk itulah, Pemerintah dan masyarakat sudah seharusnya menomor satukan pendidikan karena pendidikan bukanlah segalanya, tapi dengan pendidikan dapat merubah segalanya. “Education and Compassion are the most important things In This World especially for children. So use your mind and your heart to care about the situasion so that your world gets better”
Penulis: Ade Mesti Anugrah (Pelajar SMA Islamiyah Pontianak)