mimbaruntan.com, Untan – Demonstrasi mahasiswa dan masyarakat pada Jumat (29/8/2025) lalu kembali berakhir kelam. Aksi damai penyuaraan aspirasi rakyat berubah menjadi huru-hara yang memilukan. Bentrokan pecah, puluhan orang terluka. Kepanikan massal merebak tak terkendali seiring letusan gas air mata dari aparat. Asap putih pekat dan kepanikan itu bahkan menjalar hingga ke dalam kawasan Universitas Tanjungpura (Untan), mengubahnya menjadi saksi bisu kekacauan hari itu.
Koordinator aksi Falmu menuturkan bahwa kericuhan hari itu merupakan puncak dari eskalasi yang telah berlangsung selama dua hari sebelumnya. Massa aksi yang awalnya berkumpul secara damai untuk menyuarakan tuntutan di depan gedung DPRD Kalbar, secara paksa dipukul mundur hingga menyisir kawasan sekitar kampus.
“Puncaknya pada 29 Agustus, ketika gas air mata ditembakkan tanpa henti. Dampaknya tidak hanya mengenai mahasiswa, tapi juga sampai ke rumah sakit Anugerah Bunda Khatulistiwa, pedagang kecil, pengguna jalan, bahkan ke lingkungan kampus tepatnya di Fakultas Teknik Untan,” ujarnya.
Falmu menambahkan, kericuhan itu berakar dari luapan kekecewaan massa. Pada hari ketiga aksi, mahasiswa kembali mendesak tindak lanjut aspirasi yang telah disampaikan sebelumnya. Namun, jawaban yang mereka terima justru terasa mengabaikan dan tidak memedulikan suara rakyat.
“Respons mereka seolah-olah tidak peduli dengan tuntutan yang disuarakan. Hal ini memperlihatkan bahwa wakil rakyat gagal menjalankan perannya sebagai penyambung aspirasi rakyat,” tegasnya.
Aparat mengamankan 19 demonstran, sementara 13 orang lainnya menderita luka cukup serius. Seorang korban bahkan mengalami benturan keras hingga harus mendapatkan 11 jahitan di kepala. Falmu menilai, tindakan represif aparat lah yang memicu pecahnya kericuhan dan membuat kawasan Tugu Digulis pada malam itu berubah menjadi zona merah yang mencekam.
“Sebanyak 19 orang diamankan aparat dan 13 lainnya mengalami luka cukup serius. Bahkan, satu demonstran harus menerima 11 jahitan di kepala akibat benturan. Tindakan represif aparat justru memicu kericuhan, hingga kawasan Tugu Digulis berubah menjadi ‘zona merah’ malam itu,” ucap Falmu.
Ridho Nugraha, mahasiswa Fakultas Teknik Untan yang turut ikut dalam aksi, menggambarkan suasana ricuh yang memilukan. Ia menyaksikan demonstrasi yang awalnya damai berubah menjadi huru-hara kacau-balau, dipenuhi saling lempar dan rentetan tembakan gas air mata yang tak henti-hentinya. Namun, momen paling menusuk baginya terjadi tepat pukul 18.57, ketika sebuah gas air mata ditembakkan dan menerobos masuk ke dalam kawasan kampus sebuah batas yang seharusnya tak boleh dilanggar.
“Seharusnya kampus menjadi ruang netral, tempat aman bagi mereka yang tidak terlibat maupun mahasiswa yang sudah mundur karena luka. Tapi kenyataannya, gas air mata justru menghantam hingga ke dalam Fakultas Teknik Untan,” katanya.
Menurut Ridho, dampak kerusuhan tidak hanya dirasakan oleh mahasiswa. Para pedagang kecil di sekitar Tugu Digulis juga ikut mengalami kepanikan, bahkan beberapa di antaranya terpaksa dievakuasi. Yang lebih memprihatinkan, seorang mahasiswa di dalam kampus terkena tembakan hingga mengalami pendarahan di kepala.
Korban tersebut adalah Arif Manurung, mahasiswa Fakultas Pertanian. Ia mengungkapkan bahwa saat kejadian, dirinya sedang bertugas membantu mengevakuasi mahasiswa yang terluka. Tiba-tiba, serpihan tabung gas air mata menghantam kepalanya dan mengakibatkan luka yang cukup parah.
“Saat itu saya berada di depan Fakultas Teknik, fokus mengamankan teman-teman yang terluka. Tapi tiba-tiba serpihan tabung (gas air mata) menghantam kepala saya. Saya langsung dibawa ke Rumah Sakit Untan dan harus menerima delapan jahitan,” ceritanya.
Masuknya aparat ke dalam kawasan kampus yang sejatinya merupakan zona netral akademik memunculkan tanda tanya besar. Penembakan gas air mata ke lingkungan pendidikan dinilai sebagai tindakan represif sekaligus pelanggaran hak asasi manusia. Hal ini jelas bertentangan dengan Pasal 28 UUD 1945 serta UU No. 12 Tahun 2012 tentang Kebebasan Akademik di Lingkungan Pendidikan Tinggi. Sementara itu, berdasarkan Perkapolri No. 1 Tahun 2009, penembakan gas air mata dan peluru karet hanya diperbolehkan apabila terdapat ancaman serius terhadap jiwa aparat, harus didahului peringatan, dan tidak boleh digunakan sembarangan apalagi di lingkungan akademik tanpa adanya ancaman nyata.
Dengan demikian, aparat hanya dapat masuk ke kampus jika terjadi tindak pidana atau kondisi darurat yang benar-benar mengancam keamanan. Namun dalam kasus ini, justru banyak mahasiswa yang mengamankan diri dan membawa korban luka ke dalam kampus sebagai tempat berlindung atau area netral untuk menjauhi kericuhan. Ironisnya, area yang seharusnya aman tersebut malah ikut diserang.
Pertanyaan pun muncul mengenai sikap civitas akademika. Hingga beberapa hari pasca-insiden, pihak Universitas Tanjungpura belum juga mengeluarkan pernyataan resmi terkait masuknya aparat dan penembakan gas air mata ke dalam kampus. Alih-alih mengambil sikap tegas, universitas justru hanya mengimbau mahasiswa untuk tidak beraktivitas sementara waktu dan sempat mengalihkan perkuliahan secara daring.
Sikap diam kampus ini membuat mahasiswa merasa dibiarkan menghadapi ancaman sendirian. Ketiadaan dukungan dari universitas semakin memperdalam luka, seolah kampus enggan berdiri bersama mahasiswanya yang menjadi korban. Padahal, insiden ini menunjukkan bahwa ruang demokrasi dan kebebasan akademik kian terhimpit oleh kekerasan aparat.
Penulis: Judirho
Editor: Uis
Referensi: