mimbaruntan.com, Untan – Alunan gambus Oud dan Selodang menyapa kehadiran telinga. Ragam warna busana dan kain corak insang khas Melayu yang terbalut serta goyangan badan lembut dan senada para pemusik menambah hanyut alunan syair dawai pada Konser Ceramah Dawai Syair Melayu di Keraton Kadariah pada Kamis sore, (21/9).
Terpilih menjadi kota terakhir pada rangkaian kegiatan Rantai Bunyi oleh Pekan Kebudayaan Nasional 2023, Sultan Pontianak ke-IX turut mengapresiasi pertunjukan dawai syair perdana di Kota Pontianak itu.
“Ini adalah tampilan perdana, selama ini kita hanya mendengar musik musik modern. Ini musik tradisional, di mana alat yang disediakan adalah alat-alat tradisional, hal-hal ini harus kita angkat kembali,” ungkap Sultan Melvin pada Kamis, (21/9).
Nursalim Yadi, pegiat seni dari Balaan Tumaan menjelaskan tujuan khusus dari rangkaian kegiatan ini. Ia menceritakan bagaimana pertunjukan musik bukan soal estetika belaka namun juga berbagi pengetahuan.
“Tujuan utamanya itu mempertemukan pelaku musik dalam berbagi ilmu pengetahuan, jadi bukan hanya masalah musiknya tapi juga pengetahuan di balik musik. Dari semua pihak yang terlibat mereka mempelajari bagaimana memproduksi pengetahuan. Oleh karena itu, tentunya ini adalah konser ceramah, bukan cuma konser biasa, tetapi konser yang menceritakan tentang apa yang terjadi di balik musik itu,” tuturnya.
Baca juga: Rantai Bunyi, Memaknai Perbedaan Lewat Musik Dawai
Ia menambahkan bagaimana proses 7 hari yang mereka lalui. Pemusik dari berbagai generasi bertemu, bertukar ilmu, mencoba menghubungkan sesuatu yang terputus. Rantai bunyi kemudian mendefinisikan bagaimana semuanya saling terhubung secara kecil dan besar.
“Kita bisa melihat bagaimana ilmu itu dibagikan, lalu dalam proses bermusik kita menjadi setara, kita berbagi empati, dan saling memahami. Kemudian bagaimana alat musik gambus di beberapa titik dimainkan dengan gaya yang lain, lalu bagaimana dengan alat musik arab dan gambus Oud itu berkolaborasi di budaya melayu lalu terbentuk gaya baru dalam memainkan alat musik tersebut. Hal-hal itu penting dalam Rantai Bunyi, dalam melihat kembali pengetahuan-pengetahuan tersebut,” imbuh Yadi.
Gambus merupakan budaya permainan alat musik yang terlihat homogen, tapi sebenarnya sangat kaya dan beragam. Yadi menegaskan untuk lebih peka terhadap hal tersebut kita harus lebih jeli menilik ke dalamnya dan memahami realita kehidupan.
“Karena selama ini proses bermusik itu kerap kali membicarakan tentang persamaan. Tapi apakah kita cukup berani membicarakan tentang perbedaan? Gambus itu budaya yang terlihat homogen, tapi sebenarnya sangat kaya. Untuk lebih jeli melihat bahwa kita bisa hidup dengan perbedaan itu, tidak hanya mencari-cari tentang kesamaan tapi bisa hidup dan memaklumi perbedaan itu dan berdamai. Musik tidak dapat merubah dunia, tapi musik bisa jadi salah satu jalan untuk mengubah cara pikir kita melihat dunia,” jelasnya.
Residensi selama 7 hari memiliki tantangan sendiri, selain melibatkan multi-generasi, tentu cukup rumit menyatukan dalam waktu singkat. Terlebih stigma yang menyerang para pegiat seni, karyanya hanya dianggap memiliki nilai estetika belaka padahal tak sekedar itu terdapat pengetahuan di dalamnya.
“Seniman seringkali memproduksi pengetahuan, tapi seringkali seniman tidak diizinkan memproduksi pengetahuan oleh publik. Orang-orang taunya seniman itu penghibur, tetapi mereka juga memproduksi pengetahuan. Lewat konser ceramah ini produksi pengetahuan itu dimunculkan lewat dialog dan diskusi,” pungkas Yadi.
Baca juga: Ruang Apresiasi dan Ekspresi Seni di Pontianak Terbatas?
Fira, pemain Selodang termuda dan perempuan satu-satunya yang ada dalam Konser Ceramah Dawai Syair Melayu tersebut tentu menjadi tantangan tersendiri baginya. Selama tujuh hari residensi, Fira mencoba menaklukan tantangan itu dan menyesuaikan permainan para pemusik lainnya.
“Saya masih menyesuaikan karena saya hanya bisa basic tradisi. Apalagi di lagu 5 Rukun Islam yang menggunakan nada male. Jadi kalau saya ambil nada (terkadang) ketinggian dan kerendahan,” ungkapnya.
Berbicara mengenai kemajuan kebudayaan, M. Wahyudi Aji, bagian dari Pekan Kebudayaan Nasional menyebut penguatan ekosistem memiliki peran paling penting. Perlu adanya kesadaran bahwa pelestarian kebudayaan adalah tugas bersama.
“Untuk kemajuan kebudayaan salah satunya adalah penguatan ekosistem. Melalui bunyi dawai, dengan perbedaan metode, ditemukan sebuah benang merah yang bisa mempersatukan kita semua. Berbicara kebudayaan adalah membicarakan ekosistem, bukan PKN (Pekan Kebudayaan Nasional) dan bukan dinas,” pungkasnya.
Reporter: Putri dan Abil
Penulis: Mira
Editor: Lulu