mimbaruntan.com, Untan — Dalam upaya mengejar pengetahuan, manusia mengarahkan lensa mereka ke langit. Hadirlah astrofotografi, sebuah seni untuk menangkap objek-objek di luar angkasa, baik untuk tujuan penelitian maupun sekadar hobi. Beragam foto telah berhasil diabadikan dan dilihat oleh banyak orang, sering kali membuat terpukau. Namun, proses pengambilan gambar dan bagaimana hasil akhirnya bisa tampak seperti yang kita lihat sekarang, ternyata tidak sesederhana itu.
Kamera kini telah berkembang begitu pesat hingga bahkan amatir pun bisa memotret angkasa dengan hasil yang bagus. Tapi keistimewaan dari astrofotografi justru berasal dari teleskop dan satelit. Mengambang di luar angkasa tanpa gangguan atmosfer, satelit bisa mengambil gambar sejauh jutaan tahun cahaya.
Teleskop angkasa Hubble, yang diluncurkan ke orbit Bumi pada tahun 1990, merevolusikan pemahaman kita tentang alam semesta. Hubble dirancang dengan dua cermin hiperbolik, yang memungkinkan pengambilan gambar dengan resolusi tinggi dan pandangan luas. Konfigurasi tersebut membuatnya mampu mengobservasi cahaya near infrared, visible, dan ultraviolet.
Pillars of Creation

Salah satu foto ikonik dari Hubble adalah ‘Pillars of Creation’, pilar-pilar gas dan debu raksasa di nebula Eagle. Gambar ini diambil menggunakan teknologi pencitraan canggih milik Hubble, seperti Wide Field Camera 3 (WFC3)
Gambar mentah dari Pillars of Creation semuanya berwarna hitam-putih. Setiap foto diambil sebanyak tiga kali dengan eksposur berbeda. Disinilah peran Zoltan Levay, editor foto Hubble. Ia bertugas menggabungkan dan memberi warna pada gambar-gambar tersebut. Proses editing ini kadang dianggap tidak otentik dan membuat foto terasa palsu. Tapi sebenarnya, mata kita memang tidak dirancang untuk melihat ruang angkasa, bahkan melalui foto sekalipun. Maka untuk bisa benar-benar lihat bentuk asli, yang tak terlihat harus dibuat menjadi terlihat.
Setelah gambar-gambar hitam-putih dibersihkan dan disatukan, Levay kemudian mengatur tingkat kecerahan tiap piksel, yang masing-masing diberi nilai mulai dari 1 (hitam pekat) hingga 65.000 (putih paling terang). Gradasi ini sering kali menyimpan perbedaan yang begitu halus, hingga tidak bisa ditangkap oleh mata manusia.
Untuk menonjolkan perbedaan, Levay menggunakan teknik yang disebut ‘clipping’. Setiap piksel yang memiliki nilai di atas ambang batas tertentu (misalnya 15.000) akan langsung disetel ke tingkat kecerahan maksimum, sementara piksel lainnya disesuaikan secara proporsional. Hasilnya? Ujung-ujung pilar bersinar secerah bintang-bintang disekitar. Karena itu, kilauan bintang-bintang tersebut ditekan, agar perhatian tertuju ke gumpalan gas.
Gas-gas yang membentuk Pillars of Creation, oksigen, hidrogen, dan sulfur memancarkan cahaya pada gelombang cahaya tertentu yang tidak bisa dilihat oleh mata manusia. Levay lalu memberi warna pada pancaran ini menggunakan Photoshop: biru untuk oksigen, hijau untuk hidrogen, dan merah untuk sulfur. Pewarnaan ini bukan sekedar untuk memperindah tampilan, tetapi sebagai bentuk terjemahan gelombang yang tidak terlihat ke dalam spektrum warna visible.
Setelah semua lapisan warna digabungkan, Levay melakukan fine-tuning untuk memperbaiki ketidakseimbangan warna atau gangguan visual lain yang mungkin muncul dari filter teleskop. Ia atur keseimbangan warna foto, perkuat kontras, dan tonjolkan fitur-fitur tertentu agar hasil akhirnya tampak menarik secara visual dan tetap sesuai secara ilmiah.
Di balik foto-foto luar angkasa yang memukau, ada proses yang panjang dibaliknya. Dari hitam-putih hingga gambar berwarna yang mempesona, semuanya adalah upaya manusia untuk menjangkau semesta, meski hanya lewat foto.
Penulis: Aga
Referensi:
https://science.howstuffworks.com/astrophotography.htm
https://science.howstuffworks.com/hubble.htm
https://ideas.ted.com/gallery-the-art-and-science-of-space-photography/
https://electronics.howstuffworks.com/camera.htm