Mimbaruntan.com, Untan – Saat ini permasalahan sumber energi merupakan suatu kekhawatiran yang tak dapat dipandang sebelah mata, Indonesia sampai sekarang masih bergantung dengan energi dari batu bara yang merupakan sumber energi primer. Menurut data dari Kementrian Energi dan Sumber Daya Mineral batu bara menduduki puncak tertinggi dalam daftar Bauran energi primer dengan persentase 48% yang akan terus meningkat hingga 2050. Hal ini disebabkan ketersediaan minyak bumi semakin menipis dan produksi gas alam yang terus berkurang. Selain itu, pemanfaatan energi baru terbarukan (EBT) mengalami peningkatan hingga tahun 2050. Namun, peningkatan tersebut tidak terlalu siginifikan karena bahan bakar fosil masih belum tergantikan hingga tahun 2050.
Batu bara membuat dampak buruk yang sangat merugikan bahkan merusak ekosistem alam. Sistem penambangan batu bara yang sering diterapkan oleh perusahaan-perusahaan yang beroperasi adalah sistem tambang terbuka (Open Cut Mining) . Penambangan batubara dengan sistem tambang terbuka dilakukan dengan membuat jenjang (Bench) sehingga terbentuk lokasi penambangan yang sesuai dengan kebutuhan penambangan.
Metode penggalian dilakukan dengan cara membuat jenjang serta membuang dan menimbun kembali lapisan penutup dengan cara back filling per blok penambangan serta menyesuaikan kondisi penyebaran deposit sumber daya mineral, (Suhala Et, al.,, 1995).
Sedangkan pertambangan skala besar, tailing yang dihasilkan lebih banyak lagi. Pelaku tambang selalu mengincar bahan tambang yang tersimpan jauh di dalam tanah, karena jumlahnya lebih banyak dan memiliki kualitas lebih baik. Untuk mencapai wilayah konsentrasi mineral di dalam tanah, perusahaan tambang melakukan penggalian dimulai dengan mengupas tanah bagian atas (top soil). Top Soil kemudian disimpan di suatu tempat agar bisa digunakan lagi untuk penghijauan setelah penambangan. Tahapan selanjutnya adalah menggali batuan yang mengandung mineral tertentu, untuk selanjutnya dibawa ke processing plant dan diolah. Pada saat pemrosesan inilah tailing dihasilkan. Sebagai limbah sisa batuan dalam tanah, tailing pasti memiliki kandungan logam lain ketika dibuang. Kegiatan penambangan apabila dilakukan di kawasan hutan dapat merusak ekosistem hutan. Apabila tidak dikelola dengan baik, penambangan dapat menyebabkan kerusakan lingkungan secara keseluruhan dalam bentuk pencemaran air, tanah dan udara.
Atas dasar tersebut maka perlu ada energi alternatif yang dapat menjadi solusi dari dampak penggunaan batu bara. Tidak hanya sekedar menjadi alternatif namun juga harus ramah lingkungan agar kemungkinan dampak buruk yang dapat merusak ekosistem alam tidak terjadi. Berangkat dari permasalahan tersebut tiga orang mahasiswa dari Universitas Tanjungpura yakni Indra Amin Jaya dari MIPA Kimia, Imam Firdaus Kharisma Juda dari Teknik Elektro dan Rizki Aprillia Tauriska dari Teknik Kimia berhasil berinovasi dengan membuat energi alternatif berupa Bio-Baterai dari pemanfaatan limbah minyak kelapa dengan nama BLONDO.
Baterai merupakan suatu alat penyimpan energi alternatif yang sampai saat ini terus dikembangkan dengan mencari inovasi terbaru. Secara umum baterai terdiri dari tiga komponen penting didalamnya yaitu batang karbon (C) yang dilapisi tembaga (Cu) sebagai katoda (kutub positif), seng (Zn) sebagai anoda (kutub negatif), dan campuran mangan dioksida (MnO2) dengan amonium klorida (NH4Cl) sebagai elektrolit. Selain itu, baterai juga mengandung bahan beracun dan berbahaya (B3) berupa logam-logam berat seperti merkuri (Hg), timbal (Pb), cadmium (Cd) dan nikel (Ni) (Linden et al.,2002).
Komponen ini tentu akan dapat berdampak pada pencemaran lingkungan apabila baterai yang telah digunakan (bekas) tidak ditangani dengan baik. Baterai yang telah selesai masa pakainya akan kehabisan kemampuannya dalam mengubah energi kimia menjadi energi listrik sehingga dibuang atau tidak dimanfaatkan lagi. Hal itu disebabkan karena MnO2 pada elektrolit habis tereduksi sehingga tidak ada arus elektron. Oleh karena itu, baterai dapat digunakan kembali dengan mengganti komponen elektrolitnya.
Elektrolit merupakan penyedia sarana transfer ion yang nantinya akan menyebabkan sebuah aliran elektron dari beda potensial yang menghasilkan tegangan dan arus listrik (Suyani, 2010). Berdasarkan bentuknya, elektrolit terbagi menjadi 2 jenis yakni elektrolit padat dan cair. Kebanyakan dalam kondisi sekarang elektrolit padat masih terus dikembangkan. Hal ini dikarenakan jenis elektrolit cair memiliki kelemahan diantaranya rentan terhadap kebocoran dan mudah terbakar, sedangkan elektrolit dalam bentuk padatan cenderung lebih aman, mudah dipakai, bebas dari kebocoran dan dapat dibuat dengan dimensi lebih kecil (Riyanto, 2011) Adapun unsur mineral yang dapat digunakan dalam pembuatan elektrolit diantaranya ialah kalium, barium dan kalsium.
Salah satu unsur mineral yang berpotensi dalam menghantarkan listrik ialah kalium. Hal ini dibuktikan dari beberapa penelitian yang telah dilakukan diantaranya menggunakan kulit durian (Khairiah dan Destini, 2017), kulit pisang (Pulungan et al., 2017), belimbing wuluh (Sunanto, 2010), dan berbagai limbah buah dan sayuran (Jauharah, 2013). Hasil dari tegangannya pun bervariasi dan dapat mencapai 1,2 volt (V). Namun belum ditemukan publikasi mengenai penggunaan limbah minyak kelapa (blondo) yang memiliki sekitar 3,11% unsur kalium sebagai elektrolit dalam baterai. Sehingga penelitian ini pun perlu dilakukan dan diharapkan dapat menjadi elektrolit komplementer yang ramah lingkungan yang disebut dengan Bio-Baterai.
Limbah minyak kelapa (blondo) merupakan material bahan alam yang sampai saat ini belum optimal dalam pemanfaatannya. Berdasarkan tingginya kandungan mineral kalium, blondo dapat dijadikan sebagai material yang bernilai ekonomi dan ilmiah tinggi yaitu dengan memanfaatkannya sebagai elektrolit komplementer yang ramah lingkungan. Elektrolit yang dihasilkan selanjutnya diaplikasikan sebagai elektrolit pada beterai sehingga dapat menurunkan pencemaran lingkungan akibat limbah B3 yang terkandung dalam elektrolit baterai yang telah habis pakai (bekas) yaitu logam berat. Bahan limbah dimanfaatkan sebagai bahan dasar pembuatan elektrolit baterai, didapatkan dua manfaat sekaligus yakni pemanfaatan limbah menjadi bahan baku pembuatan elektrolit baterai serta kontribusi terhadap perindustrian baterai di masa yang akan datang menggunakan bahan baku yang melimpah, murah dan berdampak baik pada lingkungan.
Penelitian ini telah dilaksanakan selama kurang lebih sekitar 3 bulan dan telah tercapai dengan persentase 100%. Hal tersebut ditunjukkan dengan terlaksananya kedua tujuan penelitian yang telah dirumuskan. Kedua tujuan penelitian ini diantaranya mengetahui cara pembuatan dan kinerja blondo sebagai sumber elektrolit pada bio-baterai serta diperoleh konsentrasi KOH terbaik sebagai larutan dalam proses pembuatan elektrolit blondo yang ditunjukan dengan hasil karakterisasi analisis X-Ray Fluoroescene (XRF) dan efesiensinya dengan hasil pengukuran arus dan tegangan menggunakan multimeter.
Berdasarkan hasil analisis XRF menunjukan bahwa komponen penyusun terbesar dari blondo adalah kalium (K) dengan persentase kadar sebesar 48,727 % (tanpa penambahan pelarut KOH), 93,357 % (blondo dengan pelarut KOH 35%), 94,487 % (blondo dengan pelarut KOH 45%). Namun pada sampel blondo dengan penambahan KOH 55 % mengalami penurunan persentase kadar kalium (K) menjadi 91,362 %. Hal ini menjelaskan bahwa pada konsentrasi KOH 45% menjadi batas optimum peningkatan unsur kalium (K) dalam proses pembuatan elekrolit blondo. Tingginya ion kalium (K+) pada elektrolit blondo sangat berperan dalam proses menghasilkan listrik (Young and Freedman, 2012). Tegangan dan arus yang dihasilkan oleh suatu elektrolit dapat diketahui dengan mengukur menggunakan multimeter. Elektrolit yang digunakan pada penelitian ini merupakan elektrolit berbahan dasar blondo dengan beberapa variasi kosentrasi pelarut KOH. Masing-masing elektrolit dimasukan kedalam sel baterai yang telah dirangkai dengan menggunakan elektroda Cu (katoda) dan Fe (anoda) dengan dimensi wadah, panjang 4,5 cm, lebar 3,0 cm, dan tinggi 2,0 cm.
Berdasarkan hasil pengukuran yang telah dilakukan, menunjukan bahwa penambahan pelarut KOH dalam pembuatan elektrolit blondo dapat meningkatkan tegangan yang dihasilkan. Hal ini dikarenakan larutan KOH tergolong larutan elektrolit kuat dan ketika dilarutkan didalam air (H2O) terurai menjadi ion-ion seperti ion K+ sehingga memilki daya hantar listrik yang baik (Marlina, 2016). Konsentrasi pelarut KOH terbaik dalam proses pembuatan elektrolit blondo adalah pelarut dengan [KOH] 45 % dengan tegangan maksimal mencapai 5,02 V dan arus sebesar 0,15 mA yang dapat menghidupan lampu LED merah dalam rentang 1,63 V sampai 2,03 V. Pada konsentrasi pelarut KOH 55% terjadi penurunan tegangan yang dihasilkan. Hal ini diprediksikan karena elektrolit blondo dengan penambahan pelarut KOH 55% menghasilkan elektrolit padat dan terlalu kering sehingga menyebabkan ion-ion dalam sel baterai tidak dapat bergerak dan mengalirkan listrik (Fadilah et al., 2015). Apabila dibandingkan, hasil pengukuran tegangan dan arus dari elektrolit blondo sesuai dengan hasil uji XRF sebelumnya yang menunjukan persentase kadar kalium (K) tertinggi sebesar 94,487 %. Semakin tinggi kandungan kalium dalam suatu elektrolit maka dapat meningkatkan daya hantar listrik yang dihasilkan. Hal ini disebabkan ketika kalium (K) bereaksi dengan mineral lain didalam blondo seperti klorin (Cl) akan membentuk kalium klorida (KCl). Senyawa ini dalam air akan mengalami reaksi ionisasi membentuk ion (K+) dan (Cl-) yang dapat menghantarkan listrik (Pulungan et al., 2017). Selanjutnya, data dan infromasi dari penelitian telah dibuat draft artikel yang didaftarkan ke jurnal ilmiah terakreditasi yaitu Kimia Valensi yang diterbitkan oleh UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Penulis: Imam F.K.H