mimbaruntan.com, Untan — Dilansir dari World Health Organization (WHO), Human Immunodeficiency Virus (HIV) adalah infeksi yang menyerang sistem kekebalan tubuh, khususnya sel darah putih yang disebut sel CD4. Sedangkan Acquired Immune Deficiency Syndrome (AIDS) adalah sekumpulan gejala yang timbul karena turunnya kekebalan tubuh yang disebabkan infeksi HIV.
Data global WHO memaparkan, hingga akhir tahun 2022 diperkirakan jumlah orang dengan HIV (ODHIV) di dunia mencapai angka 39 juta. Sementara itu, menurut data Kementrian Kesehatan Republik Indonesia (Kemenkes RI) pada tahun 2022, jumlah kasus AIDS mencapai 9,901 orang dari 34 provinsi di Indonesia. Kemenkes mencatat, dari 526.841 ODHIV di Indonesia, sekitar 429.215 orang sudah terdeteksi atau mengetahui status HIV dirinya. Artinya, masih ada 100.000 orang dengan HIV yang belum terdeteksi.
Baca Juga: Terlalu Berpendidikan Dapat Menimbulkan Krisis Ekonomi
Kemenkes berkomitmen untuk melakukan eliminasi AIDS pada tahun 2030 mendatang. Namun, Dante Saksono selaku Wakil Menteri Kesehatan (WAMENKES) menilai ada sejumlah penyebab yang menghambat upaya eliminasi HIV AIDS di Indonesia, seperti belum meratanya jumlah fasilitas layanan kesehatan yang mampu melakukan skrining HIV serta rendahnya kesadaran ODHIV melakukan pengobatan ARV.
Menurut Wamenkes, masih adanya stigma dari keluarga, petugas kesehatan maupun masyarakat luas terhadap ODHIV turut berpengaruh pada rendahnya pencapaian target eliminasi. Minimnya dukungan dari orang sekitar berdampak pada rendahnya tingkat kepatuhan ODHIV melakukan pengobatan ARV.
Pengisolasian Terhadap ODHA
Berdasarkan data temuan HIV AIDS di Pontianak dari Dinas Kesehatan Kota Pontianak, terhitung sejak tahun 2015 hingga 2022, angka kasus HIV AIDS di Pontianak telah mencapai 954 kasus. Pada tahun 2022 sendiri, tercatat 76 kasus HIV dan 21 kasus AIDS. Menurut Lusi Nuryanti, selaku Sekretaris Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) Pontianak, masyarakat pelan-pelan sudah memahami tentang penularan HIV. Namun, masih banyak Orang dengan HIV AIDS (ODHA) yang belum mau terbuka terkait kondisi kesehatannya.
“Banyak teman-teman ODHA yang memang belum mau terbuka dengan keluarga karena khawatir akan diusir atau dicap bahwa mereka terinfeksi karena perbuatan asusila.”
Meski begitu, Lusi menyebutkan bahwa stigma di masyarakat masih ada. Penyebab munculnya stigma tersebut adalah kurangnya pengetahuan tentang HIV/AIDS.
“Ketidaktahuan akan HIV membuat orang merasa HIV itu berbahaya karena dikira menularnya mudah. Bertemu dengan orang HIV dikucilkan, akhirnya orang yang tertular HIV semakin menutup diri. Dia tidak mau terbuka dan muncul rasa dendam seperti ingin menyebarkan ke orang lain.”
Terkait pengisolasian atau karantina, menurut Lusi, ODHA memang perlu mengkarantina dirinya agar ia tidak tertular oleh penyakit-penyakit lain, bukan karena dapat menularkan penyakitnya pada orang lain.
“Semisalnya dia sakit di tempatkan di ruang khusus itu bukan berarti stigma terhadap dia, tetapi supaya tidak tertular oleh penyakit-penyakit lain karena secara kekebalan dan antibodinya itu sudah lemah. Tujuannya dikarantina atau diisolasi itu justru untuk melindungi diri mereka sendiri karena yang lemah antibodinya. Kalau kontak fisik dan menggunakan barang-barang yang dipakai oleh ODHA itu tidak apa-apa, tidak tertular.”
Ibu Rumah Tangga Darurat HIV
Berdasarkan data Kemenkes, pada tahun 2023, kasus HIV di Indonesia didominasi oleh ibu rumah tangga. Jumlah yang terinfeksi HIV mencapai 35%. Angka tersebut lebih tinggi dibandingkan kasus HIV pada kelompok lainnya seperti suami, pekerja seks dan kelompok LSL (Lelaki Seks dengan Lelaki). Sementara itu, dalam data temuan HIV AIDS di Pontianak tahun 2021, tercatat 13 kasus HIV pada kelompok ibu rumah tangga yang menempatkan posisinya sebagai pekerjaan dengan jumlah kasus HIV tertinggi di Pontianak.
Baca Juga: Merapah Derai Abai Pemulung
Menurut Lusi, ibu rumah tangga sangat mungkin tertular HIV dari pasangannya. Maka dari itu, Lusi menyarankan untuk melindungi diri dan keluarga dari HIV dengan setia terhadap satu pasangan dan menggunakan pengaman atau kondom dalam berhubungan seks.
“Bisa jadi sebagian ibu rumah tangga melakukan perbuatan beresiko tapi sangat memungkinkan mereka tertular dari pasangannya. Kita tetap terus edukasi masyarakat agar bagi yang belum menikah jangan berhubungan seks, lalu yang sudah menikah setialah pada satu pasangan, sedangkan yang tidak bisa setia mau tidak mau harus menggunakan pengaman atau kondom untuk melindungi dirinya dan keluarganya jangan sampai dirinya kena, istri anaknya juga kena.”
Lusi menambahkan bahwa yang perlu dilakukan apabila mengetahui ada anggota keluarga yang positif HIV adalah memberi dukungan moral, tetap menerima, dan mengajak untuk melakukan pengobatan ARV.
“Sebagai keluarga kita tetap harus menerima, selanjutnya ajak untuk berobat dan menggunakan ARV. Setelah di fase sehat baru bisa dirundingkan sebab akibat kenapa bisa terjangkit HIV dan bisa mengedukasi sehingga tidak mengulangi kesalahan yang sama.”
ODHA Berhak Menikah dan Punya Anak
Dilansir dari Yayasan KNCV Indonesia, tidak ada aturan atau hukum negara Indonesia yang mengatur tentang pernikahan seseorang yang memiliki HIV. Namun, orang dengan HIV (ODHIV) memiliki hak yang sama seperti manusia sehat lainnya, termasuk dalam hal menikah dan mempunyai anak.
Calon pengantin sebaiknya melakukan pre marital check up (pemeriksaan kesehatan pra nikah) minimal 3 bulan sebelum pernikahan. Tujuan dari pemeriksaan ini selain untuk mengetahui status kesehatan calon pengantin juga untuk mendeteksi secara dini adanya penyakit menular yang dapat membahayakan diri sendiri atau pasangan dan pengaruhnya terhadap kehamilan.
Menurut Pedoman Manajemen Program Pencegahan Penularan HIV dan Sifilis dari Ibu ke Anak (PPIA), perempuan dengan HIV dan pasangannya perlu merencanakan dengan seksama sebelum memutuskan untuk punya anak. Perempuan dengan HIV memerlukan kondisi khusus yang aman untuk hamil, bersalin, nifas dan menyusui, yaitu aman terhadap komplikasi kehamilan akibat keadaan daya tahan tubuh yang rendah; dan aman untuk bayi terhadap penularan HIV selama kehamilan, proses persalinan dan masa laktasi.
Terkait penularan HIV dari ibu terhadap anak lewat ASI, menurut Lusi, ASI dapat menularkan HIV tapi tidak secara langsung. HIV bisa menular apabila terjadi perlukaan pada saat bayi menyusu melalui puting. Bila khawatir dapat menularkan pada anak, Lusi menyarankan agar mencari donor ASI untuk anak atau melakukan pumping ASI. Selain itu, ibu menyusui tetap harus melakukan pengobatan ARV dan berkonsultasi pada layanan kesehatan.
“Apabila sang ibu khawatir bahwa dengan menyusui membuat anak tertular HIV. Disarankan mencari donor asi atau asinya di-pumping. Karena proses perlukaan itu bisa terjadi ketika si bayi menyusu melalui puting. Jadi, boleh tidaknya ibu ODHA itu menyusui bayi itu tergantung kondisi si ibunya. Jangan sampai dia tidak minum ARV. Tetap harus konsultasikan ke layanan.”
Selama jumlah virus kurang atau sama dengan ≤ 50 kopi/ml, maka risiko tertular menjadi sangat rendah bahkan virus tidak terdeteksi lagi. Jadi, pasangan ODHIV dapat menikah dan mempunyai anak asalkan teratur melakukan pengobatan ARV dan didampingi oleh dokter atau layanan kesehatan.
Siapa Saja Beresiko Penularan HIV Jika…
Menurut data temuan HIV AIDS di Pontianak tahun 2022, berdasarkan perilaku penularan tercatat 54 kasus HIV terjadi karena hubungan LSL (Lelaki Seks dengan Lelaki) dan 41 kasus karena hubungan seks heteroseksual. Menanggapi hal tersebut, Letza Wijaya selaku koordinator pendukung sebaya di Yayasan Pontianak Plus mengatakan, saat ini program penjangkauan lebih berfokus pada komunitas gay dan masih belum memprioritaskan kalangan ibu rumah tangga atau pasangan heteroseksual, sehingga kasus HIV pada pasangan gay atau LSL lebih banyak ditemukan daripada heteroseksual.
“Padahal penularan paling tinggi itu terjadi pada ibu rumah tangga saat ini. Nah, berarti kan kita tidak terfokus kepada laki-laki heteroseksual ataupun bapak-bapak yang melakukan hubungan seks di luar nikah tanpa melakukan hubungan seks yang aman. Programnya kita itu lebih fokus kepada kawan-kawan komunitas (gay) aja. Maka kasus temuannya itu lebih banyak kepada kawan-kawan komunitas.”
Menurut Letza, baik hubungan seks sesama jenis maupun hetero memiliki resiko yang sama dalam penularan HIV jika dilakukan dengan tidak aman.
“Bukan hubungan sesama jenis aja, hubungan yang lawan jenis itu sebenarnya juga riskan kalau seandainya berhubungan dengan tidak aman. Berhubungan seks itu kalau tidak aman ya semuanya riskan terhadap penyakit infeksi menular. Jadi bukan karena orientasi seksnya, tapi kepada bagaimana dia berhubungan seks.”
Baca Juga: Ibu Bagaimana Jika Tidak?
Letza menganjurkan untuk melakukan hubungan seks aman dengan menggunakan kondom. Namun penggunaan kondom masih dianggap melegalkan seks bebas. Padahal, kondom adalah satu-satunya alat kontrasepsi yang dapat mencegah penyakit menular seksual. Menurut Letza, penggunaan kondom perlu dinormalisasikan demi mencegah penularan penyakit menular seksual seperti kondiloma, sifilis, gonorrea, dan herpes yang dapat menjadi pintu masuk HIV.
“Orang-orang di luar negeri yang sudah dewasa wajib membawa kondom. Dan itu harus dinormalisasikan sebenarnya. Tapi pada kenyataannya kita tidak. Makanya angka kasus HIV yang terjadi itu banyak sekali di usia-usia produktif. Karena usia itulah dimana orang-orang ingin mencari tahu, mengenal siapa dirinya, mengenal hubungan yang lebih dalam.”
Hak Pendidikan Bagi ADHA
Dilansir dari Kompas.id, pada tahun 2019 sebanyak 14 siswa yang diduga Anak dengan HIV/AIDS (ADHA) di Solo, Jawa Tengah dipaksa keluar dari sekolah karena desakan dari orangtua siswa lainnya yang khawatir anaknya tertular HIV. Masih di tahun yang sama, 3 ADHA di Desa Nainggolan, Samosir, Sumatera Utara terancam tidak bisa bersekolah. Ketiganya dilarang untuk digabungkan dengan siswa lain dan diultimatum untuk pergi dari Kabupaten Samosir.
Padahal, setiap orang berhak mendapatkan pendidikan sebagaimana termaktub dalam Pasal 28C ayat (1) UUD 1945 yang mengatur hak warga negara untuk memperoleh pendidikan, yang berbunyi:
Setiap orang berhak mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan dasarnya, berhak mendapat pendidikan dan memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya, demi meningkatkan kualitas hidupnya dan demi kesejahteraan umat manusia.
Letza berpendapat bahwa anak yang hidup dengan HIV tidak pernah meminta untuk lahir dari orangtua dengan HIV. Begitupun orangtua, tidak ingin hidup dengan HIV apalagi menularkan pada anaknya. Menurut Letza, semua orang yang hidup dengan HIV pada saat ini adalah korban. Tidak ada yang ingin menjadi seseorang dengan HIV.
“Sebenarnya orang-orang yang hidup dengan HIV itu kalau mereka tahu, mereka juga tidak akan mau menjadi seorang dengan HIV. Bahkan anak yang hidup dengan HIV dari lahir juga tidak meminta untuk lahir dari orangtua yang terinfeksi HIV, yang juga tidak ingin hidup dengan HIV. Rata-rata orang yang hidup dengan HIV saat ini semuanya korban.”
Tekan HIV dengan Pengobatan ARV
Menurut Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular Langsung, Wiendra Waworuntu, status HIV seseorang tidak dapat diketahui hanya dengan melihatnya. Bila belum muncul gejala, tidak dapat terlihat terinfeksi atau tidak. Sementara dalam darah sudah terdapat virus dan dapat menularkan pada orang lain. Untuk mengetahui status HIV seseorang hanya dapat dilakukan dengan cara pemeriksaan antibody HIV dalam darah. Jika sudah diketahui positif maka segera konsumsi obat antiretroviral (ARV).
Letza menjelaskan bahwa ARV adalah satu-satunya obat untuk ODHIV yang jika diminum secara rutin dapat menekan virus secara baik.
“ARV adalah obat satu-satunya untuk orang yang hidup dengan HIV. Satu dunia menggunakan obat itu dan jika obat itu diminum secara rutin dan secara baik maka virus di dalam tubuh kita dapat ditekan dan tidak terdeteksi lagi di dalam darah. WHO juga sudah mengeluarkan bahwa sekarang orang yang hidup dengan HIV jika dia konsumsi obat ARV secara baik maka dia setara dengan orang yang tidak HIV.”
Akan tetapi, Letza mengungkapkan bahwa sejak bulan Mei 2023, ketersediaan ARV jenis terbaru seperti TLD, Tenofovir, Lamivudin, dan Zidovudine sedang sulit. Padahal, Letza mengatakan bahwa jenis-jenis ARV tersebut memiliki efek samping yang minim serta lebih efektif di dalam tubuh ODHIV karena dapat lebih cepat menekan virus. Adanya ARV jenis tersebut juga membantu melawan stigma yang membuat ODHA takut untuk berobat, yaitu bahwa pengobatan ARV memiliki efek samping yang berat.
Letza berharap, pemerintah kota Pontianak dapat menyuplai obat secara baik karena kesulitan obat dapat berdampak pada kepatuhan ODHA dalam pengobatan ARV.
“Saya mengharapkan kepada pemerintah kota agar dapat menyuplai obat secara baik. Karena kami merasa bahwa sejak bulan Mei sampai Agustus 2023, kita mengalami kesulitan obat yang di mana akhirnya berdampak kepada kepatuhan kawan-kawan. Kita menghawatirkan kawan-kawan memilih tidak mau berobat lagi.”
Hapus Stigma dengan Edukasi
Dalam Pedoman Manajemen PPIA, disebutkan langkah pencegahan penularan HIV yang dikenal dengan konsep “ABCDE”, yaitu Abstinence (tidak melakukan hubungan seks bagi yang belum menikah.), Be Faithful (setia kepada satu pasangan seks), Condom (menggunakan kondom), Don’t Use Drug (tidak menggunakan narkoba), dan Education (Edukasi dan informasi yang benar mengenai HIV, cara penularan, pencegahan dan pengobatannya).
Cecillia Terry Ambarwati Tefa, selaku Duta HIV Aids Kalimantan Barat tahun 2022 berpendapat bahwa yang masih kurang di masyarakat saat ini adalah edukasi seputar HIV, seperti pengertian, cara penularan, dan pencegahannya Menurut Cecillia, edukasi dapat diberikan pada anak muda sebagai langkah pencegahan penularan HIV.
“Cara mengedukasi masyarakat menurutku adalah memberikan pembelajaran kepada anak-anak sekolahan atau anak muda. Karena HIV itu di awal-awal kena itu dia gak berasa. Ketika dia sudah sampai ke tahap Aids yang dimana itu bisa sekitar 10 tahun kemudian baru mulai terasa. Oleh sebab itu, kita perlu mengedukasi anak muda sejak dini untuk bisa mencegahnya.”
Muhammad Rafi Athallah yang juga merupakan Duta HIV AIDS Kalbar 2022 menganjurkan agar memperbanyak literasi tentang HIV. Rafi yakin bahwa dengan memahami HIV, ODHA tidak akan terkucilkan lagi.
“Kita harus memperbanyak literasi tentang bahaya HIV, cara penularannya, serta penyebab ataupun gejalanya. Kalau sudah memahami semuanya, saya yakin ODHA tidak akan terkucil lagi. Begitu juga terhadap ODHA, jika kita memberikan edukasi yang baik, teratur, sopan, dan sebisa mungkin tulus dalam berinteraksi dengan mereka, nanti mereka tidak akan berpikir kalau mereka dikucilkan.”
Penulis: Ibnu Najaib
Editor: Ainun Jamila