mimbaruntan.com, Untan — Dulu hingga kini, ketika mendengar nama Raja Ampat, yang terbayang adalah air jernih membiru jika dilihat dari kejauhan, atau gugusan pulau yang memesona bak lukisan alam. Raja Ampat adalah salah satu dari sedikit tempat di dunia yang membuat manusia merasa kecil tunduk pada keagungan alam.
Lautnya yang bening, karangnya yang hidup, dan masyarakat adat yang setia menjaganya turun-temurun, merawat tanah dan laut bukan sekadar dengan kearifan, tetapi juga rasa hormat yang mendalam. Mereka tak memerlukan teori konservasi untuk memahami bahwa apa yang mereka miliki adalah warisan yang tak ternilai bukan komoditas yang bisa ditukar
Namun, ketenangan itu kini retak. Bukan oleh gempa atau bencana alam, melainkan oleh keputusan manusia tepatnya mereka yang duduk di balik meja, yang lebih memilih angka dan logam ketimbang nyawa dan ekosistem yang terancam punah.
Dilansir dari Tempo, sebuah perusahaan tambang nikel telah mendapatkan izin operasi di Raja Ampat. Secara administratif izin ini sah, tetapi secara moral cacat. Bagaimana mungkin kawasan sepenting dan seindah ini bisa dikorbankan untuk pertambangan?
Ketika protes merebak dan tekanan publik tak terbendung, ketika ribuan suara bergema dan tagar #SaveRajaAmpat membanjiri media sosial barulah pemerintah bertindak. Aktivitas tambang dihentikan. Namun, hanya sementara. “Sementara” kata yang terdengar seperti janji kosong yang sengaja ditunda
Kompas mencatat pernyataan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Bahlil Lahadalia, bahwa penghentian ini bersifat sementara menunggu hasil peninjauan ulang perizinan. Namun, logika itu terasa rapuh.
Apakah benar perlu “ditinjau kembali” betapa vitalnya Raja Ampat bagi lingkungan, budaya, dan masa depan?
Seolah mereka lupa: laut Raja Ampat bukan sekadar titik di peta, melainkan rumah bagi ribuan makhluk hidup yang tak mungkin diusir dari tanah airnya sendiri.
Greenpeace, dalam laporan Tempo terpisah, menegaskan urgensi mendengarkan suara masyarakat adat. Ironisnya, suara mereka kerap terlambat sampai bukan karena diam, tapi karena diabaikan. Padahal, merekalah penjaga sejati alam ini. Pengetahuan mereka lahir bukan dari laporan akademis, tetapi dari kehidupan yang menyatu dengan hutan dan laut, dari nafas yang bergantung pada setiap gelombang dan pepohonan.
Yang lebih memilukan bukan sekadar kehadiran tambang itu sendiri, melainkan bagaimana semua ini berlangsung tanpa gejolak. Seolah-olah mengorbankan tempat seistimewa Raja Ampat adalah hal yang wajar. Padahal setiap jengkal kerusakan di sana berarti kehilangan abadi. Terumbu karang yang musnah tak akan pulih dalam hitungan tahun. Air yang ternoda tak kembali jernih hanya dengan permintaan maaf.
Kita kerap menggaungkan pembangunan berkelanjutan, tetapi konsisten berpaling dari fakta bahwa pembangunan yang merusak pondasi kehidupan hanyalah ilusi kosong. Raja Ampat tidak membutuhkan penghargaan ia hanya memohon untuk tetap hidup dalam damai, bebas dari incaran tambang. Jika surga terakhir semacam ini saja bisa dikorbankan demi nikel, maka yang kita pertaruhkan bukan cuma keindahan alam, melainkan kemanusiaan kita sendiri.
Ketika surga terakhir seperti Raja Ampat saja bisa dikorbankan, artinya kita telah kehilangan batas terakhir. Tak ada lagi yang suci dari nafsu keserakahan.
Penulis: Ara
Sumber:
https://www.tempo.co/foto/arsip/pulau-pulau-raja-ampat-terancam-pertambangan-nikel-1653156
https://www.tempo.co/hukum/tagar-save-raja-ampat-ramai-di-media-sosial-ini-kata-greenpeace-1653280