Setiap bulan Ramadhan, pemandangan yang paling saya nikmati adalah bertebarannya jajanan takjil di mana-mana. Planning untuk diet dan nabung pun sering terhambat di masa-masa ini. Namun pemandangan lainnya yang paling mengademkan hati adalah penampakan perempuan-perempuan yang tampil anggun dengan hijab. Yang biasanya tampil dengan fashion minim atau cenderung berani, mulai terlihat rapi dengan pakaian yang lebih tertutup.
Saya tidak sedang menghakimi bagaimana seorang wanita berpenampilan. Karena pada dasarnya saya juga penganut kepercayaan “jangan urus hidup dan keputusan orang lain”, dan terkadang cenderung risih dengan keramahan orang-orang sekitar yang menurut saya terlalu melanggar privasi (walaupun sebenarnya kadang saya juga cenderung menyukai keramahan tersebut). Tampil tertutup atau terbuka adalah hak personal yang tidak berhak dihakimi oleh orang lain. Selama itu tidak merugikan orang lain, semuanya wajar saja. Karena pada hakikatnya, penghakiman hanyalah hak Sang Khalik.
Di Indonesia sendiri, pemakaian hijab diidentikkan dengan umat Muslim. Sebagai negara dengan mayoritas Muslim lebih dari 81%, penampakan wanita berhijab merupakan hal yang sudah sering dilihat di Indonesia. Beberapa wanita non-Muslim juga tampak menggunakan hijab, dengan atau tanpa tujuan tertentu, dan hal ini menuai beragam tanggapan.
Seperti kita ketahui, terdapat beberapa kepercayaan lain yang meyakini bahwa penggunaan penutup kepala adalah hal yang baik bahkan beberapa menganggapnya juga sebagai suatu kewajiban. Mantilla contohnya, sebuah sebutan bagi tudung atau kerudung yang digunakan perempuan Katolik dalam perayaan Ekaristi dan liturgi lain. Bahkan penggunaannya sempat diwajibkan pada Kitab Hukum Kanonik 1262.
Bagaimana pandangan umat Muslim tentang penggunaan tudung kepala bagi wanita non-Muslim?
Dari beberapa artikel yang saja baca di internet dan pendapat beberapa orang di kampus saya, hal itu sah-sah saja, namun tidak ada pahala yang diperoleh bagi wanita non-Muslim jika mengenakan hijab. Namun beberapa lagi beranggapan bahwa mungkin saja ada pihak yang menganggap hal tersebut sebagai bentuk penghinaan atau penistaan, jika penggunaannya ditujukan hanya untuk pencitraan atau main-main saja. Entah mana yang benar, saya pun tidak punya hak untuk menyimpulkan.
Dalam suatu kesempatan, Wakil Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI) , Anwar Abbas, juga pernah mengemukakan pendapatnya ketika menanggapi persoalan diwajibkannya seorang siswi non-Muslim untuk memakai hijab di Padang, Sumatera Barat. Menurutnya, siswi non-Muslim tersebut dapat diberi pilihan untuk mengenakan hijab atau tidak. Beliau menegaskan bahwa ia mendukung kebijakan tersebut, asalkan siswi tersebut tidak keberatan dan tidak perlu ada paksaan dari pihak manapun.
Dan kemudian, bagaimana pandangan non-Muslim tentang hal ini?
Seorang tamatan sekolah teologi di Yogyakarta yang saya kenal beranggapan bahwa hal tersebut baik adanya, apalagi dalam sejarah kekristenan tudung kepala juga dianjurkan untuk wanita, seperti yang terdapat pada kitab suci umat Kristen dalam 1 Korintus 11:13-15, yang berdasarkan cara hidup atau tradisi orang Yahudi pada masa itu. Namun dia tegaskan kembali, asalkan hal tersebut dilakukan dengan tujuan baik, dengan cara yang benar dan tidak menyinggung pihak manapun.
Seorang pelayan Gereja dan sekaligus mahasiswa semester akhir di Universitas Tanjungpura juga memberi tanggapannya terkait hal ini. Menurut penuturannya, hal tersebut dapat dimengerti apabila tudung tersebut digunakan karena bermain peran (model, artis, dll) atau seseorang tersebut berada di tempat atau studi yang mewajibkannya bertudung kepala.
“Namun sebaiknya jika bertudung kepala hanya dilakukan untuk mencari perhatian saja, lebih baik diperhatikan lagi. Sebab lebih baik kita berfokus dalam iman dan mencari Tuhan saja, daripada mencari perhatian manusia”, tuturnya.
Selain didasarkan pada tujuan religius, penggunaan tudung kepala juga bisa dilandaskan oleh alasan lain seperti tujuan fashion atau tuntutan pekerjaan. Banyak artis non-Muslim yang tampil elegan dengan hijab dalam beberapa film atau sinetron yang dimainkannya, dengan tanpa paksaan apapun tentunya hal tersebut menjadi hal yang fine-fine saja. Seseorang yang saya kenal juga punya alasan lain di balik penggunaan tudung kepalanya yaitu karena penyakit kanker yang dideritanya.
Penggunaan tudung juga bisa terjadi karena bentuk penghormatan untuk wilayah yang didatangi atau ditempati, seperti contohnya di Arab atau bahkan Aceh. Banyak perempuan dengan berbagai latar ras dan agama yang mengenakan penutup agama sebagai bentuk penghargaan terhadap kebudayaan di daerah tersebut, atau bahkan sudah menjadi sebuah kebiasaan.
Jadi, kembali lagi. Boleh atau tidaknya bergantung pada perspektif masing-masing. Yang terpenting adalah tujuan dan niatnya, sehingga dalam prakteknya semua dilakukan atas dasar toleransi antar umat beragama. Beberapa hal perlu didiskusikan bukan untuk menentukan siapa yang salah dan siapa yang benar, melainkan untuk saling mengerti sudut pandang masing-masing dan menjadi semakin kuat dalam perbedaan.
Penulis: Friskila