Seorang teman bertanya tentang kebenaran di sebuah warung kopi, tanyanya, apa itu kebenaran?
Soal kebenaran ini memang menjadi satu pemantik diskusi yang menarik. Sifatnya yang dialektis dan sejarah panjang yang tak berkesudahan membuat diskusi kebenaran selalu menggairahkan.
Sekolah-sekolah dan universitas juga ramai dibangun sebagai tempat pencarian dan pengembangan kebenaran. Kebenaran dalam teori-teori diuji secara ilmiah dan dimanfaatkan untuk umat manusia. Dari masa ke masa para filosof melahirkan teori-teori untuk mengungkap makna dari kebenaran. Begitu panjang pencarian kebenaran, sejak nafas manusia berhembus di muka bumi hingga kini, manusia masih saja berpeluh mencari makna kebenaran.
Keberadaan hukum juga tidak terpisahkan dari terciptanya kebenaran. Hukum menjadi penting karena hanya dengan hukum, kebenaran bisa terwujud. Dalam hukum positivis, kebenaran adalah kondisi yang hadir ketika aturan dilaksanakan dan hukum ditegakkan. Istilah ini penting karena dalam suatu negara, hukum positivis adalah konsep dasar hukum.
Baca Juga: Buruknya Demokrasi Kampus Untan
Selain hukum, keadilan juga menjadi teman dekat dari kebenaran. Kebenaran yang semula yang dianggap berjalan paralel terhadap keadilan, dalam praksisnya tidak banyak hadir semacam itu.
Ketidakterangan itu semakin menjadi dalam masyarakat yang mengalami konflik. Kebenaran menjadi barang mewah dan jauh untuk digapai. Pembuktian kebenaran hanya menjadi angan yang tak bisa dibawa dalam rapat musyawarah semata, melainkan butuh pengorbanan waktu, tenaga bahkan bercucuran darah.
Kewajiban 12 tahun mengenyam pendidikan seakan menjadi sia-sia ketika satu waktu sebuah perusahaan hadir di kampung. Membawa aparat dan menyeret rakyat dari rumahnya.
Negeri ini sudah kenyang dengan pertentangan antarversi kebenaran. Namun satu yang selalu menjadi sifat dari semua itu adalah, kebenaran yang menang seringkali hanya milik para penguasa.
Kedung Ombo waktu itu adalah daerah yang didiami 5.268 keluarga dan tempat lahir 30 ribu lebih manusia di 3 kecamatan dan 37 desa. Ada lebih dari ribuan hektar sawah yang tiap tahunnya menyumbang puluhan ribu ton padi untuk negara.
Begitu hingga tahun 1985, IMF datang membawa 156 juta US dollar dari totalnya yang sebesar 283 juta US dollar. Tapi bukan untuk ribuan warga itu. Melainkan untuk membangun waduk sebesar 5898 hektar.
Warga diberi ganti rugi, 700 rupiah/meter. Tapi di tahun 1989 ketika mulai pengairan dilakukan, 600 keluarga yang masih bertahan di daerah genangan. Mereka protes, mempermasalahkan kecilnya uang ganti rugi yang tidak sesuai semestinya. Selisih yang kemudian diketahui telah dikorupsi.
Membela hak pribadi bagi 600 keluarga itu tentu bagi mereka adalah kebenaran. Walau setelahnya mereka malah dicap sebagai anggota PKI. Atau Presiden yang meminta MA untuk bersikap mendukung pemerintah dengan menangguhkan hasil kasasi yang diajukan warga. Kebenaran warga tidak sepaham dengan yang diamini presiden ketika itu.
Ada juga beberapa waktu lalu yang sempat heboh di depan istana. Puluhan mantan pegawai freeport yang protes mewakili ribuan karyawan lain yang di-PHK sepihak di tahun 2017.
Furlough yang menjadi dasar PT Freeport Indonesia (PT FI) untuk memulangkan karyawannya akibat bisnis yang lesu. Sebuah konsep pemberhentian yang tidak pernah ada di Indonesia hingga PT FI menyatakan penggunaan aturan tersebut dua tahun silam.
Furlough yang lebih berasa sebagai PHK sepihak dari PTFI mengakibatkan hak-hak sebagai karyawan hilang. Jaminan kesehatan ketenagakerjaan buruh diblokir sepihak oleh PTFI. Buruh tidak dapat menggunakan BPJS, rekening mereka juga diblokir oleh pihak perusahaan.
Kesamaannya, mereka lagi-lagi menuntut haknya kepada perusahaan. Hak yang dianggap sebagai kebenaran karena sesuai peraturan dan semestinya mereka dapat.
Mantan pegawai freeport mungkin masih lebih mending nasibnya dibanding marsinah yang harus kehilangan nyawa. Demi dia dan rekan buruhnya yang lain.
Baca Juga: Jalan Hidup Dua Kutub Syafruddin Prawiranegara
Mulanya, Marsinah dan segenap rekan buruh PT Catur Putera Surya (CPS) mengadakan mogok kerja menuntut kelayakan upah yang sesuai dengan peraturan pemerintah. Hasil dari mogok kerja itu 12 tuntutan mereka dipenuhi PT CPS. Namun sehari setelah tuntutan itu didapat, 13 rekan Marsinah dipaksa mengundurkan diri karena dianggap menghasut karyawan lain, bukan perusahaan, melainkan Kodim 0816 Sidoarjo yang memaksa pengunduran diri.
Marsinah yang menerima kabar 13 temannya yang dipaksa mengundurkan diri lalu bereaksi dengan mendatangi Kodim 0816 Sidoarjo. Itu karena dalam salah satu tuntutan yang disetujui perusahaan berbunyi pengusaha dilarang melakukan memutasi, intimidasi, PHK karyawan yang menuntut haknya.
Setelahnya Marsinah ditemukan sudah tidak lagi bernyawa pada 8 Mei 1993. Jasadnya ditemukan dengan segenap luka dan kerusakan yang mengerikan di sebuah gubuk tengah sawah. Marsinah menuntut hak, yang dalam hal ini kebenaran milik ia dan teman buruhnya yang ketika itu berseberangan dengan kebenaran versi Kodim 0816 Sidoarjo. Hingga kini kasusnya masih belum terang.
Belum lagi kasus kasus di daerah lain. perlawanan rakyat dengan perusahaan. Atau hilangnya ekosistem milik Orangutan, Gajah, Badak Jawa dan lainnya.
Ini semua terjadi atas kebenaran masyarakat yang tak sama dengan kebenaran milik beberapa orang. Kebenaran seakan dimonopoli oleh oknum-oknum yang memiliki kuasa lebih. Termasuk perusahaan dengan modalnya, termasuk pemerintah dengan legitimasi dan hukumnya.
Tapi satu hal yang dipahami adalah apa yang dilakukan itu adalah atas dasar kebenaran, minimal versi dari pemerintah saat itu, atau orang-orang yang mendapat proyek atau secara umum yang mendapatkan keuntungan. Negara selalu memiliki kuasa untuk mengubah dengan legitimasi, hukum, aparat dan alasan-alasan lain. semacam pengubahan tolok ukur kebenaran. Dari sini akan jelas bahwa kebenaran yang diagungkan memang selalu milik penguasa.
Untuk memastikan sekali lagi bahwa kebenaran memang hanya ditangan penguasa adalah, bahwa kebenaran yang sejati hanya ada di penguasa segala penguasa, yaitu tuhan. Seperti yang diyakini Al Ghazali, kebenaran hakiki yang berasal dari tuhan tidak mengurangi akal sehat sebagai instrumen menemukan kebenaran hakiki itu. Oleh karena tidak mengurangi akal sehat pula kebenaran versi Tuhan bisa dinalar, maka selama itu pula realisme kebenaran perlu diperjuangkan.
Penulis: Adi Rahmad