mimbaruntan.com, Untan – Dua puluh tujuh tahun sudah berlalu sejak suara rakyat menggema di gedung parlemen, menuntut kejatuhan rezim Orde Baru yang telah mencengkeram bangsa ini selama 32 tahun. Tanggal 21 Mei 1998 diperingati sebagai hari kelahiran demokrasi Indonesia, sebuah tonggak yang seharusnya menjadi titik balik dari otoritarianisme menuju pemerintahan yang bersandar pada suara rakyat dan supremasi hukum.
Namun saat ini, ketika kita menoleh ke belakang sambil memandang ke depan maka akan terasa ada yang ganjil. Semangat reformasi yang dulu begitu lantang digaungkan, kini terdengar sayup seperti gema yang terperangkap di lorong-lorong kekuasaan. Reformasi, alih-alih menjadi perjalanan menuju cita-cita keadilan, justru menjadi sandiwara panjang yang dimainkan oleh aktor-aktor yang dulunya berperan sebagai oposisi.
Soeharto mungkin sudah lama meninggal, tapi semangat Orde Baru tidak ikut dikubur bersamanya. Ia hanya berganti wajah, bertransformasi menjadi lebih rapi, lebih canggih, dan lebih licik. Dulunya kekuasaan dilakukan dengan tangan besi, kini kekuasaan bekerja melalui kepatuhan yang dibungkus propaganda, hukum yang bisa dinegosiasikan, dan loyalitas yang dipertukarkan dengan jabatan.
Sulit dibantah bahwa masa kini rakyat semakin kehilangan kepercayaan. Di berbagai kota, demonstrasi kembali bergema, bukan karena ingin mengulang masa lalu, tetapi karena masa kini semakin jauh dari harapan. Masyarakat bertanya, apa arti demokrasi jika suara mereka tak lagi didengar? Apa gunanya pemilu jika hasil akhirnya hanya menguntungkan segelintir orang?
Yang kini terjadi bukan lagi pemerintahan berdasarkan hukum atau aspirasi publik, melainkan berdasarkan pada siapa yang lebih setia kepada pusat kekuasaan. Loyalitas menjadi mata uang baru di republik ini, terutama pada kabinet, kementerian, hingga ke pemerintah daerah, relasi lebih bernilai daripada kompetensi. Konstitusi pun tak lagi sakral karena ia bisa dipelintir, dimaknai ulang, bahkan diabaikan, selama itu menguntungkan kekuasaan yang sedang berkuasa.
Di tengah semua ini, ironi semakin terasa ketika kita melihat wajah-wajah yang dulu ada di barisan terdepan perjuangan reformasi, mereka yang dahulu berdiri gagah di barikade jalanan, kini duduk nyaman di ruang-ruang kekuasaan yang dulu mereka kritik habis-habisan.
Budiman Sudjatmiko, yang pernah dipenjara karena keberaniannya menentang Orde Baru, kini menjadi bagian dari mesin politik yang tak jauh berbeda dari yang ia lawan dulu. Fadli Zon, dulu dikenal sebagai kritikus tajam dan orator ulung yang lantang menolak tirani, kini justru melebur dalam kekuasaan yang diliputi kontroversi. Fahri Hamzah yang gemar melontarkan kritik tajam soal oligarki, kini justru kerap terlihat berdamai dengan sistem yang sepertinya sudah mulai ia sukai. Khofifah Indar Parawansa, simbol pemberdayaan perempuan dan tokoh penting dalam reformasi sipil, kini lebih dikenal sebagai pejabat teknokrat yang enggan bersuara lantang.
Mereka bukan sekadar berganti peran, tapi juga berganti sikap. Dulunya melawan nepotisme, kini justru menjadi penyokongnya. Dulu menolak keras militerisme, kini memberi ruang luas pada peran militer dalam birokrasi sipil. Semangat perubahan yang dulu mereka bawa kini berganti menjadi kompromi, dan kompromi itu perlahan menjelma menjadi pembenaran atas segala penyimpangan.
Mungkin kita harus berani untuk berkata jujur, Reformasi tidak mati hari ini karena mungkin ia tak pernah benar-benar lahir sepenuhnya. Apa yang kita saksikan sejak 1998 bisa jadi bukan demokrasi yang sejati, melainkan sebentuk transisi yang gagal disempurnakan. Demokrasi kita dibangun di atas fondasi rapuh, dan ketika kekuasaan menyadari celahnya, mereka kembali merebut kendali.
Kebebasan sipil yang dulu diagungkan perlahan dipreteli dengan narasi ancaman berbunyi ‘kebangkitan PKI’ atau ‘bahaya ekstremisme’ terus diulang-ulang, bukan untuk melindungi rakyat, tapi untuk menakut-nakuti supaya tunduk. Terlihat timbulnya suatu ketakutan akan menjadi alat kekuasaan, maka demokrasi telah kehilangan rohnya.
Namun sejarah belumlah selesai karena akan selalu ada ruang untuk perubahan, akan selalu muncul pertanyaan apakah kita bisa melawan atau apakah kita masih punya keberanian untuk mencoba? Sebab kekuasaan yang dibangun di atas ketakutan hanya akan bertahan selama rakyat tetap diam. Seperti sejarah yang telah berulang kali membuktikan, bahwa perubahan akan selalu lahir dari suara-suara kecil yang berani menolak tunduk.
Reformasi bukan sekadar momen. Ia adalah semangat, dan semangat itu bisa dirawat jika kita bersedia mempertanyakan, bersedia marah, dan bersedia bertindak. Bukan untuk menjatuhkan siapapun, tapi demi mengembalikan makna sejati dari demokrasi, bahwa rakyat adalah pemilik negeri ini, bukan pengikut setia dari kekuasaan yang tak mau diusik.
Penulis: Judirho
Referensi:
Vedi R Hadiz, (2005) Dinamika Kekuasaan: Ekonomi Politik Indonesia Pasca-Soeharto. Jakarta: LP3ES.
https://indoprogress.com/2017/08/mengenang-reformasi-sebagai-proyek-gagal/
https://kontras.org/artikel/hentikan-romantisme-reformasi-saatnya-meilawan