mimbaruntan.com, Untan – Hari Pemberitaan Sedunia diperingati setiap tahun sebagai pengingat pentingnya kebebasan pers dan tanggung jawab media dalam menyajikan informasi yang akurat dan bermutu. Kebebasan pers adalah pilar utama demokrasi, namun dalam kebebasannya, media juga memiliki tanggung jawab besar untuk menjaga etika jurnalistik, terutama ketika melaporkan isu-isu sensitif yang melibatkan anak-anak.
Salah satu kasus yang menyoroti masalah ini adalah kasus seorang siswa, sebut saja Bunga, yang menjadi korban dalam pemberitaan sensasional terkait video asusila yang melibatkan seorang guru dan murid.
Baca Juga: Mengukir Prestasi di Atas Kontroversi: Potret Pemimpin Masa Kini
Kasus Bunga (bukan nama sebenarnya) ini mencuat ke publik setelah tersebarnya video asusila yang melibatkan dirinya dan seorang guru. Kasus ini dengan cepat menjadi sorotan media, namun alih-alih mengedepankan pendekatan yang sensitif dan beretika, banyak media justru terjebak dalam sensasionalisme. Beberapa media bahkan secara terang-terangan mengungkap identitas Bunga yang mana dapat menambah beban psikologisnya.
Dalam kasus Bunga (bukan nama sebenarnya), beberapa media jelas mengabaikan prinsip-prinsip dasar kode etik jurnalistik. Pertama, dengan mengungkap identitas korban yang masih di bawah umur, media telah melanggar prinsip perlindungan privasi. Pemberitaan yang memuat informasi pribadi Bunga tidak hanya melanggar undang-undang ini, tetapi juga menimbulkan dampak psikologis yang serius bagi korban dan keluarganya. Kedua, banyak berita yang disajikan dalam bentuk sensasional. Alih-alih fokus pada penyelidikan mendalam mengenai penyebab sosial dan struktural yang memicu kasus ini, media lebih tertarik mengeksploitasi aspek-aspek yang mengundang kontroversi.
Kode etik jurnalistik adalah seperangkat pedoman yang dirancang untuk memastikan bahwa wartawan dan media menyampaikan berita dengan cara yang bertanggung jawab, akurat, dan menghormati martabat manusia.
Baca Juga: Membongkar Realita: Terselubung Kekerasan Seksual dalam Dunia Kerja
Dalam pemberitaan kasus asusila, media harus berhati-hati agar tidak menambahkan trauma pada korban. Mengungkap identitas korban, apalagi anak-anak, jelas melanggar etika dasar jurnalistik dan juga bisa bertentangan dengan hukum yang berlaku. Berdasarkan UU No. 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak, media memiliki tanggung jawab hukum untuk melindungi identitas anak-anak yang terlibat dalam kasus sensitif.
Media diharapkan untuk berperan sebagai sumber informasi yang bertanggung jawab. Liputan yang menyelidiki secara mendalam hubungan kekuasaan antara guru dan murid atau isu-isu sosial terkait, bisa menjadi fokus pemberitaan yang lebih mendidik dan konstruktif tanpa harus merugikan korban.
Pada peringatan Hari Pemberitaan Sedunia ini, kita diingatkan kembali bahwa kebebasan pers bukanlah kebebasan tanpa batas. Dengan kebebasan itu datang tanggung jawab besar untuk menjaga etika jurnalistik dan melindungi mereka yang rentan, seperti korban anak-anak dalam kasus Bunga. Media harus selalu berpegang pada prinsip keadilan, akurasi, dan tanggung jawab sosial, untuk menjaga kepercayaan publik dan menghindari dampak buruk dari pemberitaan yang tidak beretika.
Penulis: Sebastian