Tanggal 23 Juli diperingati sebagai Hari Anak Nasional. Dilansir dari Buku Pedoman Hari Anak Nasional oleh Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA), tema Hari Anak Nasional untuk tahun 2022 adalah “Anak Terlindungi, Indonesia Maju”.
Tidak lengkap rasanya jika hari anak ini hanya menjadi event seremonial tanpa adanya aksi atau ajang evaluasi. Kejahatan seksual terhadap anak adalah salah satu isu yang harus menjadi sorotan. Mengingat kasus kejahatan seksual terhadap anak di Indonesia terus meningkat dari tahun ke tahun.
Berdasarkan data KemenPPPA, sepanjang tahun 2019 hingga 2021 kekerasan seksual terhadap anak mengalami peningkatan.
Pada tahun 2019, jumlah anak yang menjadi korban kekerasan seksual mencapai 6.454, lalu meningkat menjadi 6.980 di tahun 2020. Kemudian dari tahun 2020 ke tahun 2021 terjadi peningkatan menjadi 8.730 anak.
Tentunya, kita tidak ingin peningkatan ini terus berlanjut. Untuk itu, perlu ada upaya untuk mencegah terjadinya kejahatan seksual terhadap anak.
Setiap kali membahas isu kejahatan seksual terhadap anak, yang tak pernah luput dari pembicaraan adalah istilah pedofil atau pedofilia. Sayangnya dalam beberapa tulisan, istilah pedofilia ini seringkali salah dinarasikan. Maka dari itu, sebelum membahas lebih jauh kita perlu mengenal arti dari pedofilia.
Pedofilia merupakan penyimpangan seksual yang ditandai dengan adanya ketertarikan atau nafsu seksual terhadap anak-anak dibawah umur. Seseorang yang mengidap pedofilia disebut pedofil.
Pedofilia termasuk dalam gangguan seksual parafilia, yang artinya fantasi, dorongan, atau gairah seksual yang menyimpang dengan melibatkan objek, aktivitas, atau situasi yang bagi sebagian besar orang tidak menimbulkan gairah seksual. Seseorang baru bisa disebut pedofil apabila ia sudah mengalami gangguan ini selama 6 bulan.
Baca juga: KBGO : Laki-laki Jadi Korban Pelecehan Seksual?
Perlu diluruskan bahwa pedofilia adalah gangguan seksual. Seorang pedofil tidak selalu memaksakan kontak seksual dengan anak dan belum tentu melakukan kejahatan seksual. Dilansir dari Tirto.Id, seorang pedofil baru bisa disebut sebagai pencabul anak apabila ia sudah melakukan kontak atau tindakan seksual terhadap anak.
Seorang pedofil memang bisa menjadi pencabul anak, namun pencabul anak belum tentu seorang pedofil. Artinya, kejahatan seksual terhadap anak tidak selalu dilakukan oleh seseorang yang mengidap pedofilia, namun siapa saja dapat melakukannya.
Kejahatan seksual terhadap anak bisa disebabkan oleh kurangnya pengawasan orangtua. Predator seks dapat mengintai dimana saja. Lengah sedikit, anak bisa menjadi korbannya.
Kejahatan seksual terhadap anak tidak selalu terjadi secara langsung, namun melalui proses pendekatan terlebih dahulu. Pelaku mendekati korban dengan memberi perhatian yang mungkin tidak pernah didapatkannya dari orang lain. Anak-anak yang sering merasa kesepian dan kurang mendapatkan kasih sayang orangtua sangat rentan menjadi korban kejahatan seksual.
Setelah menjalin kedekatan, korban akan diarahkan pada pembicaraan yang lebih intim. Pembicaraan itu akan berbuntut pada ajakan untuk meng-ekspos bagian tubuh hingga melakukan kontak seksual.
Modus pendekatan terhadap korban kini lebih canggih. Biasanya pelaku menjebak korban dengan menjanjikan mainan atau makanan kesukaan, mengiming-imingi korban dengan uang, atau mengajaknya jalan-jalan. Kini hanya dengan smartphone, pelaku dapat menjalin kedekatan yang lebih intens dengan anak.
Penggunaan smartphone oleh anak dibawah umur tidak boleh lepas dari pengawasan orangtua.
Bahkan menurut para pengamat, anak-anak baru diperbolehkan memiliki ponsel di umur 10 hingga 12 tahun, itupun hanya untuk menelpon orangtuanya. Mereka boleh menggunakan ponsel dengan akses internet di umur 16 tahun, dan masih harus berada dibawah arahan orangtuanya.
Di umur 4-9 tahun, anak-anak sedang berada dalam masa perkembangan, dimana mereka mudah sekali mengingat dan mempelajari sesuatu. Anak senang menirukan hal-hal yang dilihatnya di internet dan bisa saja memilih role model yang kurang tepat. Maka dari itu penggunaan smartphone oleh anak dibawah umur dianggap kurang baik, disamping dapat menimbulkan efek kecanduan.
Anak dibawah umur tidak disarankan untuk bersosial media. Konten-konten yang tersebar di sosial media tidak selalu tepat untuk umurnya. Ada yang mengandung unsur kedewasaan hingga pornografi.
Selain itu, anak bisa menjadi korban cyberbullying hingga pelecehan lewat kolom komentar. Belum lagi, dengan lingkup pertemanan di sosial media sangat yang luas, anak bisa saja asal meng-add akun yang tidak dikenal ke dalam pertemanannya.
Tidak ada yang bisa menebak, pemiliki akun tak dikenal itu mungkin saja seorang predator seks yang mengintai anak-anak di sosial media. Berawal dari perkenalan lewat direct message, pembicaraan berlanjut ke Whatsapp. Korban merasa nyaman dengan lawan bicaranya.
Baca juga: Katanya Setara? Kok Perempuan Masih Sering Menjadi Korban Seksisme
Kemudian pelaku melancarkan aksinya dengan mengajak korban bertukar foto. Berawal dari foto wajah hingga bagian tubuh lainnya, termasuk alat vital. Korban dirayu oleh kata-kata manis dan tertipu oleh perhatian yang diberikan pelaku.
Untuk mencegah terjadinya kejahatan seksual terhadap anak, perlu ada keterbukaan antara anak dengan orangtuanya. Seperti yang disebutkan diawal, kurangnya perhatian dan kasih sayang orangtua membuat anak rentan terhadap kejahatan seksual. Anak akan mencari perhatian dari orang lain, yang tanpa ia sadari memiliki niat jahat terhadapnya.
Anak memang membutuhkan ruang untuk dirinya sendiri dan orangtua tidak bisa terus mengekangnya. Tidak bisa dipungkiri bahwa anak membutuhkan internet untuk mengenal dunia luar dan belajar banyak hal.
Tugas orangtua adalah mengajari anak menggunakan internet dengan bijak, mengatur waktu penggunaanya, serta mengingatkan apa saja yang tidak boleh dilakukan dalam bersosial media.
Pendidikan seks juga penting sejak dini. Orangtua dapat membantu anak mengenal jenis kelaminnya dan mengajarinya perbedaan antara organ tubuh laki-laki dan perempuan. Orangtua perlu memperkenalkan nama-nama anggota tubuh dan menyebutkan bagian mana saja yang tidak boleh sembarangan disentuh atau dilihat orang lain. Anak juga perlu diberi pemahaman bahwa ia berhak atas tubuhnya sendiri. Ia berhak menolak siapapun yang hendak menyentuh bagian tubuhnya.
Terakhir, anak harus dibiasakan untuk melapor saat hal tidak menyenangkan terjadi padanya. Dengan demikian, anak akan selalu terbuka atas masalahnya dan tidak ragu untuk meminta bantuan.
Mari kita wujudkan tema Hari Anak Nasional 2022. Lindungi anak-anak demi kemajuan Indonesia. Karena anak adalah aset bangsa. Anak adalah harta yang berharga bagi setiap keluarga. Dengan terpenuhinya rasa aman seseorang di masa kecilnya, ia dapat menjalani kehidupan dewasa dengan penuh percaya diri. Anak terlindungi, Indonesia maju.
Penulis : Ibnu
Rujukan tulisan
– KemenPPPA: 797 Anak Jadi Korban Kekerasan Seksual Sepanjang Januari 2022
– Apa Beda Pedofil dengan Pelaku Kejahatan Seksual terhadap Anak?
– Kenali Apa Itu Pedofil Beserta Ciri-Ciri dan Penangannya
– Kapan Anak Boleh Main HP? Menurut Bill Gates di Usia 14 Tahun