mimbaruntan.com, Untan – Di belantara pedalaman hutan Kalimantan yang kerap dijuluki “paru-paru dunia” tersimpan kehidupan yang masih jarang tersentuh manusia. Burung-burung beterbangan dengan bebas, sesekali berkicau saat melihat seekor orangutan betina menggendong anaknya dalam dekapan erat. Seolah rumah mereka tak lagi aman, sang ibu merasakan ancaman yang mengintai. Sementara itu, sang anak hanya terdiam, menatap dunia dengan mata polos, tak mengerti kekhawatiran yang melanda.
Bunyi alat berat yang memekakkan telinga mengguncang hutan, merobohkan satu per satu pohon tempat mereka biasa berlindung dan beristirahat. Di kejauhan, seorang anak laki-laki tegak berdiri di batas antara kampung dan rimba. Namanya Borneo, matanya tajam menatap hutan di hadapannya, menyimpan ribuan tanya sekaligus bara keberanian. Tubuhnya kecil, tapi tekad di dadanya membara.
Ia tumbuh di kaki hutan, diantara kicau burung dan gemericik sungai yang dulu menenangkan jiwa. Namun kini, suara alam itu pelan-pelan hilang, ditenggelamkan deru mesin dan bau asap yang menyebar dari lahan yang berubah jadi kebun sawit. Dari pagi hingga petang, di depan rumahnya yang reyot, ia menyaksikan truk-truk besar lalu-lalang, membawa alat berat yang tak kenal lelah menaklukkan rimba, hari demi hari.
Suatu ketika, saat mencari ikan di sungai perbatasan antara kampung dan hutan rimba bersama sang kakek, Borneo memberanikan diri bertanya,
“Kakek, kenapa orang-orang kota bawa alat besar dan rusak hutan kita?”
Sang kakek terdiam sejenak, lalu menjawab sambil menahan batuk yang menggerogoti paru-parunya.
“Kita orang kecil, Nak… Tak ada kuasa untuk melawan. Diam saja,” bisiknya dengan suara serak, seperti suara daun kering tertiup angin.
Fajar belum sepenuhnya terbit ketika Borneo menyelinap keluar dari rumah bambu yang reyot. Rasa penasaran menggerogoti hatinya sejak percakapan dengan sang kakek semalam percakapan yang berakhir dengan tatapan kosong dan helaan napas berat lelaki tua itu. “Ada sesuatu yang disembunyikan,” gumamnya dalam hati sambil melangkah pelan memasuki hutan yang kini berdiri rapuh di ambang kehancuran.
Dari balik pepohonan, suara tawa kasar tiba-tiba menyeruak. Borneo menahan napas, tubuh mungilnya bersembunyi di balik batang meranti raksasa yang masih tersisa. Di kejauhan, sekelompok pekerja duduk melingkar, asap kopi pahit bercampur asap rokok mengotori udara pagi.
Dengan jantung berdebar kencang, Borneo memberanikan diri melangkah keluar. Suaranya gemetar namun tegas ketika bertanya, “Paman… mengapa hutan kami dirusak?”
Mandor itu tertawa terbahak-bahak, lalu menjawab dengan nada mengejek, “Hutan kalian?” Matanya menyipit, menatap Borneo bagai melihat serangga pengganggu. “Dengar, nak, ini dunia nyata. Hutan cuma tumpukan kayu dan tanah. Kelapa sawit yang memberi makan keluarga kami, bukan pohon-pohon tua tak berguna.” Suaranya semakin keras. “Kalau kau terus mengganggu, kau akan jadi masalah besar.”
Borneo menggenggam tangannya hingga buku-buku jarinya memucat. Amarah dan kesedihan bergejolak di dadanya. “Tapi jika hutan hilang, kami pun akan lenyap,” katanya dengan sorot mata tajam. “Orangutan, burung-burung, sungai jernih… semuanya akan mati bersama pohon-pohon ini.”
“Bau kencur!” sela seorang pekerja sambil menghembuskan asap rokok. “Masih bocah sudah sok pinter. Pulang sana, main gasing saja!”
Tiba-tiba, seorang pekerja lain datang tergopoh-gopoh, wajahnya berkerut gelisah. “Siapa yang membiarkan anak ini masuk?” geramnya. “Sudah kusampaikan ke Kepala Desa untuk mengamankan area ini!”
Matanya menyorot tajam ke arah Borneo. “Uang yang kita bayar untuk membungkam warga sudah habis. Percuma kalau masih ada bocah berkeliaran begini!” Suaranya berbisik keras. “Jangan sampai aktivis luar mencium masalah ini.”
Si mandor menyentakkan jari ke arah pintu masuk. “Tong! Usir dia sekarang! Pasang palang besar dan papan peringatan ‘DILARANG MASUK!’. Dengarkan baik-baik, bocah,” suaranya mengeras seperti baja, “kalau kau masih berani kembali, konsekuensinya kau yang tanggung!”
“Siapkan rencana lanjutan,” desis si mandor pada anak buahnya, suaranya serak berisi konspirasi. “Penebangan biasa terlalu lambat. Kita butuh cara lebih drastis sebelum para aktivis lingkungan menyusup ke sini.”
Borneo perlahan mundur, jantungnya berdegup kencang bagai genderang perang. Tiba-tiba, dari balik semak belukar, terdengar rintihan lemah yang menyayat hati. Di antara dedaunan, seekor bayi orangutan tergeletak lemas di samping jasad ibunya yang sudah tak bernyawa. Mata kecil itu menatap kosong, penuh dengan keputusasaan yang tak pantas dilihat makhluk sedini itu.
Tanpa ragu, Borneo merengkuh tubuh kecil yang gemetar itu. “Aku akan menjagamu, teman kecil,” bisiknya lirih sementara air mata hangat membasahi pipinya yang kotor. “Mereka tak akan menyentuhmu lagi.”
Malam itu, di bawah cahaya lentera minyak yang redup, Borneo duduk bersila di lantai bambu rumahnya. Pensil tumpulnya menari-nari di atas kertas bekas yang ia kumpulkan dari mana saja, menorehkan kata-kata yang membara dari relung hatinya yang terluka.
Keesokan pagi, dengan kertas-kertas itu digenggam erat, ia berkeliling kampung seperti angin yang berbisik.
“Paman, Bibi, teman-teman,” suaranya bergetar namun penuh keyakinan, “Mereka akan menghancurkan hutan kita sepenuhnya. Aku mendengar rencana mereka. Kita harus berdiri bersama!” Tangannya menggapai udara, seolah mencoba meraih harapan yang semakin menjauh.
Seorang ibu paruh baya yang sedang memberi pakan ayam menghela napas panjang. “Sudahlah, Nak. Melawan mereka bagai melawan banjir dengan gayung.”
Borneo menatap teman-teman sebayanya satu per satu, mencari setitik keberanian di balik mata mereka. Yang ia temukan hanya bayangan ketakutan dan kepasrahan.
“Kami… kami takut, Borneo,” bisik salah seorang temannya, matanya menatap tanah. “Bahkan jika kita berteriak, apakah suara kita akan sampai ke telinga mereka yang di kota?”
Pulang dengan langkah gontai, kertas-kertas sisa yang tak terbagikan terasa semakin berat di genggamannya. Hatinya remuk, namun di tengah reruntuhan harapan itu, api perlawanan di dadanya tetap menyala kecil tapi tak kunjung padam.
Malam itu, langit menggelora dalam kobaran api, membakar cakrawala dengan kemarahan yang tak terbendung. Hutan yang dulu hijau kini menjelma menjadi jurang neraka, melahap segala kehidupan dalam tarian api yang ganas. Borneo terbangun oleh bau hangus yang menusuk dan deru maut yang mengguncang bumi.
Dengan naluri yang lebih kuat dari rasa takut, ia melesat keluar rumah. Kaki telanjangnya terluka oleh duri dan batu tajam, tapi ia terus berlari menuju jantung api menuju tempat yang dulu ia sebut rumah. Asap pekat meracuni napasnya, percikan api membakar kulitnya, tapi satu tekad terus mendorongnya maju menyelamatkan si kecil yang tak berdosa.
Di tengah tirai api yang mengamuk, matanya menangkap bayangan kecil yang terjebak. Anak orangutan itu terperangkap di antara semak menyala, tubuhnya gemetar ketakutan. Dengan tangan yang sudah lecet, Borneo merobek bajunya dan membungkus tubuh kecil itu, memeluknya erat seperti harta terakhir di dunia yang sedang binasa. Sebuah jeritan pecah dari dadanya bukan karena takut, tapi karena pedihnya menyadari terlalu banyak yang harus diselamatkan, terlalu sedikit waktu.
Fajar datang dengan kepedihan yang bisu. Di antara puing-puing hutan yang menjadi kuburan abu, warga menemukan Borneo. Wajahnya tenang di balik lapisan debu, seolah tertidur dalam mimpi terindah. Tangan kecilnya masih erat memeluk bayi orangutan yang selamat satu nyala kehidupan di tengah kehancuran, satu bukti terakhir bahwa di antara segala ketamakan manusia, masih ada cinta yang rela berkorban.
Di sekitar tubuhnya yang tak bernyawa, berseraklah kertas-kertas kecil—sebagian hangus dimakan api, namun kata-katanya masih terbaca jelas. Coretan tangan seorang anak yang polos, namun sarat makna:
“Kepada dunia yang mungkin tak sudi mendengar,
Hutan ini merintih bersamaku. Bayi orangutan tak berdosa ini kehilangan rumahnya. Jika kita tetap diam, yang hilang bukan hanya pepohonan, melainkan seluruh masa depan yang seharusnya bisa kita wariskan.
Aku hanyalah seorang anak dengan suara yang kecil. Tapi jika kalian bersedia menyatukan suara kalian dengan suaraku, mungkin hanya mungkin hutan ini masih punya harapan.
Tolong… jangan biarkan aku menjadi yang terakhir yang berani berdiri untuk melindungi rumah kita.”
Dengan cinta dan harapan terakhir,
Borneo
Penulis: Sofia