Warna merah warna cinta, tapi kalau ketemu merahku di jalan, yakin kamu masih cinta?
Aku berdiri di sini, di perempatan jalan, kadang pertigaan juga sih, hehe. Bukan sebagai penghalang jalanmu, tapi sebagai penjaga. Tapi entah kenapa, semakin lama aku di sini, semakin aku merasa bukan dilihat sebagai pelindung, melainkan musuh. Kalian menyumpahiku, menerobosku, menganggapku lamban, padahal aku hanya menjalankan tugas. Tugasku sederhana: menjagamu agar dapat hidup lebih lama.
Setiap hari aku menyala, dan setiap detik aku menjadi saksi kehidupan manusia. Aku tidak bisa bicara, tidak bisa menangis, tapi kalau aku bisa, mungkin aku sudah menjerit sejak lama. Warnaku ada tiga. Hijau, warnaku yang satu ini, sering membuat orang tersenyum manis sambil mengucap syukur, bahkan sampai dikejar-kejar, sampai aku jadi salting… eh, khawatir maksudnya. Lalu ada kuning, aku gatau ekspresi manusia seperti apa saat lampuku yang ini bersinar, karena… ya udah jalan aja. Lalu ada merah. Padahal, warnaku yang satu ini cantik, sering juga menjadi lambang cinta dan kasih, tapi kenapa ya selalu saja cemberut kalau lihat warnaku yang satu ini? Tak jarang juga disumpah serapah.
Pagi tadi, aku melihat seorang ibu muda membonceng anak lelakinya yang belum genap lima tahun. Si kecil tertidur bersandar di punggung ibunya, kepalanya terhuyung setiap motor bergoyang. Ibunya sesekali menoleh, memastikan tubuh mungil itu masih memeluk pinggangnya erat. Saat lampuku merah, dia berhenti.
“Bangun sebentar, ya, Nak… bentar lagi sampai sekolah,” ucap wanita paruh baya itu.
Suaranya pelan, nyaris berbisik, seperti takut membangunkan dunia. Tapi aku mendengarnya. Aku mendengar keteguhan dibalik kelembutannya. Mungkin ia sudah lelah sejak subuh, menyiapkan sarapan, membungkus bekal, lalu menyusuri jalanan ramai dengan tubuh yang belum sempat istirahat. Tapi saat merahku menyala, ia berhenti. Ia tahu: menjaga hidup anaknya lebih penting daripada mengejar waktu.
Lalu, siang datang. Panas memantul di aspal, menyilaukan. Di antara keramaian, sebuah motor berhenti. Dua sejoli menumpanginya. Mereka tertawa, membagi sebotol teh manis yang sudah tak dingin lagi.
“Eh, selfie dulu ah. Lampunya lagi merah, mumpung cakep nih pencahayaannya,” kata si perempuan, lalu memegang kamera ponsel ke arah mereka.
Si pria mendekat, mencium pipinya pelan.
“Aku harap kita terus gini ya, sampai tua.”
Aku ingin percaya bahwa cinta mereka akan bertahan. Tapi aku juga tahu, banyak cinta yang tumbuh di jalan hanya semanis senja, cepat indah, cepat hilang. Tapi setidaknya, mereka berhenti saat aku merah. Dalam tawa mereka, aku melihat harapan. Bahwa meski dunia kacau, masih ada orang yang bisa saling jaga, walau cuma dalam hitungan detik.
Tak jauh di belakang mereka, seorang pengemudi ojek online tampak gelisah. Ponselnya di tangan, matanya terus memandangi layar. Tak ada notifikasi masuk. Peluh mengalir di pelipisnya, helmnya sudah lusuh.
“Astaghfirullah… sepi amat hari ini. Gimana mau beli susu anak kalau gini terus…”
Kalimat itu lirih, tapi menusukku. Dia tak bicara padaku, tapi aku merasa ia sedang mengadu pada dunia. Tangannya gemetar sedikit, mungkin karena lapar, mungkin juga karena takut pulang tanpa hasil. Tapi meski wajahnya kusut, dia tak melanggar. Dia tunggu aku berganti hijau, walau waktu terasa makin menyesakkan.
Menjelang sore, langit mulai redup. Seorang kakek tua mendorong sepedanya perlahan di tepi jalan. Keranjang di belakang berisi sayur dan pisang raja. Ia berhenti di zebra cross, menatapku yang menyala merah.
“Masih merah ya… ya sudah, kita tunggu sebentar,” gumamnya sambil tersenyum pada dirinya sendiri.
Tidak ada siapa-siapa di sekitarnya. Tapi aku tahu, dia bicara padaku.
Langkahnya pelan, tidak terburu. Mungkin usianya sudah tidak mengizinkan cepat-cepat. Tapi ketenangannya mengajari banyak hal: bahwa hidup tak perlu selalu terburu-buru. Dia paham, satu langkah hati-hati lebih selamat daripada sepuluh langkah tergesa.
Dan malam tiba. Aku bersinar lebih terang, sebab lampu jalan banyak yang redup. Angin dingin bertiup, membawa rasa sepi yang tak bisa dijelaskan. Dari kejauhan, sebuah motor melaju cepat. Pengendaranya muda, mungkin awal dua puluhan. Kepalanya tertunduk, helmnya tak terpasang sempurna.
Di dalam helm, aku bisa mendengar gumamannya:
“Hidup kayak gini terus… buat apa sih? Gaji telat, bos marah, rumah juga kayak neraka. Udah, gas aja terus…”
Aku tahu dia tak benar-benar ingin mati. Tapi terkadang, lelah bisa membuat manusia buta arah. Dan sialnya, dari arah berlawanan, kulihat sedan hitam mendekat. Lampuku sedang merah. Tapi sedan itu tak melambat.
Aku ingin teriak. Aku ingin mengubah merahku jadi pelindung besi. Tapi aku hanya cahaya.
BRAK!
Tubuh terpental. Helm berguling ke pinggir jalan. Bunyi rem menyayat telinga. Jerit. Lalu hening.
Aku… gagal menjaga.
Seseorang menjerit.
“Cepet, telepon ambulan!”
Orang-orang berkerumun. Beberapa hanya menonton sambil mengangkat kamera. Beberapa berlari. Tapi tak ada yang bisa memutar waktu.
Pemuda itu tergeletak, nafasnya berat. Mata terbuka setengah. Ia tidak bicara. Sedan hitam berhenti di pinggir, pengemudinya duduk di dalam dengan wajah pucat dan tangan menggigil.
Aku masih menyala merah. Tapi kali ini, bukan hanya untuk mengatur jalan. Aku menyala untuk berkabung.
Aku tetap berdiri di sini malam itu, sampai malam-malam seterusnya, di bawah cahaya yang gemetar dan jalan yang kembali senggang. Tak ada yang benar-benar sadar apa yang baru saja terjadi. Tak ada yang tahu betapa berat rasanya menjadi saksi seseorang yang tak pernah sampai ke tujuan. Aku cuma bisa terus menyala—merah, kuning, hijau—berulang seperti denyut nadi. Tapi sejak malam itu, setiap kali aku berubah merah, rasanya bukan sekadar giliran berhenti… rasanya seperti sebuah doa. Doa agar tidak ada lagi yang terburu-buru pulang, doa agar kalian semua, meski lelah, marah, atau patah, masih memilih diam sebentar. Karena kadang, hidup hanya butuh satu detik sabar… untuk tetap utuh.
Penulis: Ara