Sementara kita saling berbisik, pada rayu, pada saru.
Menemui harap harap semu di sepanjang deburan ombak.
Akankah keragu-raguan ini menjawab pilu.
1966 lalu, Sapardi menulis dua bait sajak sajak rayu pada pertemuannya yang semu.
Dengan kepiawaiannya merangkai kata per kata menjadi sebuah kalimat angkuh; sederhana namun utuh.
Ia bilang, ‘sementara kita saling berbisik untuk lebih lama tinggal’
aku ingin bertanya kenapa kita harus? menetap lebih lama, menyelami lebih jauh. hanya untuk pengandaian tak sepadan.
katanya lagi, ‘pada debu, cinta yang tinggal berupa bunga kertas dan lintasan angka-angka’.
Wajar marah, sebab yang tersisa hanya debu? hanya bunga kertas dan coretan angka? bukankah pengandaian cinta Sapardi memang se-sesederhana itu?
Alih-alih kilau batu permata, ia pilih bunga kertas, yang mudah hancur, mudah remuk, mudah basah. Seolah ingin bercerita bahwa tiada rasa yang abadi, sekejap ia menggebu-gebu, selanjutnya ia palsu.
Baca Juga: Saujana, Izin Menyerah
‘Ketika kita saling berbisik
di luar semakin sengit malam hari’
malam dan bisik-bisik digabungkannya jadi satu, seolah paham hingar bingar kadang tak begitu terdengar sebab; terlalu ramai, terlalu penuh.
Jika bujuk rayuku bisa tersampai lewat teduh dan mendayu suaraku, lalu mengapa harus kupakai tekak hingga bengkak.
Malam hari begitu panjang hanya untuk mendengar keluh kesah dan obrolan halu, sebab kita bisa
‘memadamkan bekas-bekas telapak kaki, menyekap sisa-sisa unggun api
sebelum fajar,’ kata Sapardi.
Meski begitu, waktu sudah begitu panjang kita rasai bersama, aku tak pernah habis haus akan hadirmu, mungkin juga ia yang telah bersemayam disana, meninggalkan kumpulan cerita dan cinta dalam larik-larik puisinya.
‘Ada yang masih bersikeras abadi,’ adalah kalimatnya yang selalu terpatri. Abadi, abadi.
Selamat hari puisi, untuk semuanya yang senang menari-nari dalam kata, dalam ilusi.
Penulis: Himalaya