“Bisa kau pergi sekarang? Aku sudah cukup muak kau di sini. Ini bukan tempatmu dan biarkan aku membusuk di neraka ini,” peringatan kerasku untuk Dinar kesekian kalinya.
Namun, orang yang aku ajak bicara urung bergeming. Ia masih pada posisi dan enggan untuk beranjak. Ini sudah pukul 2 malam, bagaimana bisa pria alim ini ada di tempatku? Dengan wajah yang polos dan terkesan tenang, Dinar justru menunjukkan senyum terbaiknya.
“Apa kau tidak dengar aku, Dinar? Pergi!” Sungguh, aku tak peduli lagi dengan keadaan sekitar. Beberapa pasang mata sudah sedia menatap keberadaan kami sejak kedatangan Dinar beberapa saat yang lalu. Dengan memakai baju kemeja rapi dan disertai wajah kalem, tentu bagi mayoritas pengunjung bar keheranan telah didatangi pria polos satu ini. Ah, Dinar. Harus kuulang berapa juta kali penolakanku ini. Tak seharusnya Ia tetap berbaik hati, bukan?
Ia menghembuskan nafas lelah setelah kubentak bertubi-tubi. Bagus! Inilah detik-detik yang kutunggu atas semua yang telah aku lakukan padanya.
Dinar lalu beranjak dari kursi dan mendekatiku perlahan, “Aku akan pergi, begitu kamu juga ikut denganku, Liana. Kumohon pulanglah. Sudah waktunya kamu pulang.” Masih saja dan tentu akan terus begitu pikirku setelah kalimat itu diucap oleh Dinar. Aku menyerah, malam ini.
Tak mampu lagi menentang, hati dan pikiranku pun sejalan agar luluh kali ini. Mata seorang penyabar Dinar memang selalu meluluhkan keras kepalaku. Tapi tidak dengan ketetapan hatiku.
Baca Juga: Andri
….
Ya, Dinar Aksara. Pria jakung yang satu ini terkesan cerdas, lembut, dan sangat alim (sebab kenyataan memaksaku mengatakan Ia memang seperti itu). Ia aneh, begitu simpulan yang kutarik setelah bertemu dengannya untuk kedua kalinya. Dan untuk saat ini, sudah kali ke 90 ia selalu menghampiri. Tak peduli segala cacian, dia tetap pada pendirian, memintaku untuk segera pulang.
Sebenarnya,
Sederhana saja, aku, Liana. Mereka menyebutku Lili, bekerja sebagai wanita penghibur di salah satu bar terbesar di kotaku. Jam terbangku juga sudah tidak diragukan, mulai dari mahasiswa tajir, pejabat ingusan, serta oknum nakal pun ikut andil dalam pemasukan. Hingga tiba seorang alim yang senantiasa hadir mengekoriku, pemasukanku sudah tak lagi hidup seperti yang sudah-sudah.
Padahal bila diingat awal pertemuanku dan Dinar terkesan biasa saja (atau hanya aku yang menganggap pertemuan itu biasa saja). Bertemu di perpustakaan kota karena pada saat itu aku sedang mencari tugas kuliah, berkenalan, dan entah bagaimana jalan ceritanya, ia menjadi tahu seluk beluk kehidupan yang kupunya. Mulai dari rumahku, Ibuku yang merupakan seorang buruh cuci dan Ayah yang bekerja hanya sebagai supir angkot. Dinar telah mengetahuinya.
….
“Baiklah, kita pulang.” Aku tak mampu mengelak permohonan Dinar saat ini. Entah atas dorongan apa yang diberikan Dinar, aku seperti akan terus mengikutinya menuju mobil.
….
Baru saja beberapa langkah, gerakku segera terhenti saat seseorang memelukku secara tiba-tiba. Tawanya berderai dan langkah Dinar ikut terhenti seiring keterkejutanku dipeluk seseorang.
“Li, aku rindu! Hahahaha…” Ciuman bertubi-tubi menghampiri pipi kananku. Tangannya yang besar dan tebal sukses menghalangiku untuk mundur ke belakang. Siapa?
“Banu?” Apa-apaan ini. Mantanku yang gila sudah keluar dari penjara?
Ku tatap sekilas Dinar di hadapanku. Nafasnya sudah memburu, pandangan Dinar ke Banu juga sudah tak lagi bersahabat. Kalau boleh kukatakan, Dinar menatap Banu sebagai sebuah ancaman.
Dinar mendorong kuat Banu secara terus-menerus dan berhasil membuat Banu terjungkal ke lain sisi. “Dinarrr!” Aduh, Banu itu gila, Dinar. Jangan ceroboh.
Aku menahan dada bidang Dinar untuk terus membrutal. Nafasnya yang tak lagi tenang dapat kudengar saat ini. Tatapan nanarnya justru tak melembut. Dinar seperti sudah kerasukan.
Banu yang sudah bangkit dari jatuhnya kembali menyeringai ke arah Dinar. Perlahan namun pasti, Dinar ia gebuk dengan senanar-nanarnya. Apalagi ini Dinar?
Aku mundur perlahan. Ingin lari rasanya setelah melihat banyak kejadian di malam hari ini.
Baca Juga: Jelita Gila
….
1 jam kemudian…
Aku menyesap kopi hitam buatan Ibu di teras rumahku. Kini tak ada lagi Banu yang mengganggu, yang tersisa hanya Dinar yang kini penuh dengan luka lebam. Ia meringis kesakitan, aku hanya terdiam.
Tak ada yang bisa kuperbuat selain menatap langit malam. Tak ada juga yang bersedia bersuara memecah keheningan. Aku dan Dinar bersedia untuk tetap berdiam.
“Maaf.” Akhirnya.
“Untuk?”
“Untuk semuanya. Saya terlalu percaya diri untuk menghabisi pria itu.”
“Tidak ada yang salah.”
“Maaf, bila saya tidak bisa menahan cemburu. Cemburu itu akan menyiksa jika saya hanya diam saja.”
“Kau tak perlu cemburu Dinar. Aku tak berhak kamu cemburui. Ada wanita yang lebih pantas kamu perlakukan seperti ini. Berhentilah untuk sekarang.”
….
Dinar meluapkan ingatan, bahwa aku jalang yang mampu membuat seorang alim mengemis cinta. Tak ada yang dapat kubanggakan selain pilu merasa tak pantas bersanding dengan pria tampan berhati malaikat satu ini.
Tapi, Dinar berbeda. Dinar tak berhenti meski kutolak berkali-kali. Dinar tak pernah mengeluh meski seringkali kuusir keberadaanya. Ah, Dinar. Aku ini bukan apa-apa untuk kau perjuangkan cintanya. Aku tak lebih dari debu yang harusnya dienyahkan, sekali lagi, bukan untuk diperjuangkan.
….
“Menikahlah denganku,” Potong Dinar cepat, mengambil alih seluruh perhatianku dari sedapnya malam dan sebongkah khayalan yang merumitkan.
“Apa?”
“Menikah. Denganku. Segera.” Kali ini penuh dengan penekanan.
Perhatianku terhenti pada sebuah meja, menikmati tiap lekat kalimat yang terucap oleh Dinar membuatku ingin meledak seketika. Aku menoleh geram,
“Kau pikir menikah itu permainan. Tanpa pikir panjang, tanpa pendekatan, dan tanpa komitmen?”
Aku melengos kesal kepada keadaan. Apa yang sedang dipikirkan Dinar?
“Saya tak perlu waktu lama menentukan pilihan. Saya rasa pilihan saya sudah tepat untuk meminang.”
….
Melihatmu aku teramat tenang.
Bersamamu dapat ku rasakan arti kebahagiaan.
Meski seringkali ku diabaikan
Dan mudah juga aku tergantikan.
Hanya satu yang dapat kupastikan,
Kau kan memilihku di akhir pencarian.
-Dinar
Penulis: Rahma Ning Tyas