Seperti biasa, ku bangun pagi-pagi hanya untuk memulai hari.
1 tahun begini dan aku masih tidak paham guna apa yang kudapat dikemudian hari, hanya berduka dan menyesal, seperti menjadi hobi yang paling kusenangi di hidup ini.
Dengan perasaan yang sama, kepada orang yang sama, tapi dengan jalan yang berbeda, aku dan dia nyatanya pernah menjalin kisah.
…
Kupandang lekat-lekat foto di figura tua, meyakinkan diri bahwa aku pernah bahagia. Ya, aku pernah bahagia dan tertawa lepas di hadapan pria pematah hati itu.
Sambil menerawang jauh kisah lama yang kini usang termakan tahun,
“Tak ada yang lebih indah ketimbang memilikimu di hari tua.” Keparat, masih saja aku gila karena pria pematah itu. Bahagia setahun, namun perihal luka, tetap merekah. Bodoh.
Perlahan namun pasti, kubasuh mukaku pagi ini. Dingin, tapi tetap tak mengubah pilihanku untuk melanjutkan hari.
…
Langkahku melemah, semangatku tak lagi berapi. Setelah pria pematah hati itu memilih untuk pergi. Rasanya setengah jiwaku padam dan tak lagi siap untuk menyembuhkan luka di hati. Ya, aku tahu ini berlebihan. Aku tahu juga jalanku masih panjang untuk terus berkutat pada 1 pria pematah. Tapi jika ‘masih cinta’ terus membayang, aku dan kalian bisa apa?
…
Hari ini Raga menjemputku. Tak sedikit pun raut kecewa di wajahnya setelah kutolak berkali-kali cintanya. Kejam? Iya! Tapi bukankah akan lebih kejam bila kupaksakan sebuah hubungan tanpa membalas perasaan?
Raga menatap lurus jalan tanpa membuka sedikitpun pembicaraan. Ia tenang seperti biasanya dan akan berbicara jika aku terlihat menyenangkan. “Kamu siap?” Tanyanya memecah keheningan. Sedangkan aku, hanya mengangguk memantapkan pilihan untuk melaju bersamanya. Tanpa jawab, Raga melanjutkan, “ini sudah waktunya kamu mengikhlaskan pria pematah itu, Key.”
“Sudah bicaranya? Temani saja dan kita pulang secepat mungkin,” Sudah, Raga. Jika dilanjutkan, pembicaraan ini akan menyakitkan. Cukup.
“Baiklah, hanya saja jika kita tiba di tujuan. Kumohon dengan sangat Key. Jangan pernah memperlihatkan kesedihan di mata orang yang menyakiti. Paham?”
…
“Selamat atas pertunangan Selena dan Ridho Irama!”
Ah, sudah bertunangan rupanya. Selamat ya kesayangan?
…
Hiks..
…
Duniaku melambat
Mataku tak henti menatap kosong seisi ruangan
Bulir air mata jatuh tak tertahankan
Ketika pria pematah itu memilih mengikrarkan janji
Atas hidup dan mati bersama wanita pilihan hati.
Ketika bukan aku yang ia jadikan pelabuhan terakhir,
Ada sakit yang membekas, ada luka yang berdarah.
Tuhan, kembalikan aku seperti semula,
Ketika pria pematah itu belum menjadi pusat semestaku
Ketika pria pematah itu belum mendarah daging di kehidupanku.
Aku menangis Tuhan, aku tak kuasa merintih kepadamu di setiap doa
Agar Ia dikembalikan dalam keadaan baik dan tidak dimiliki siapapun.
Kini aku sadar ketetapan-Mu berkuasa di atas segalanya. Aku terharu ia bahagia.
Aku terharu perjuanganku telah usai, pada hari ini.
Terima kasih Tuhan. Terima Kasih.
Ini menyadarkanku arti mengikhlaskan.
“Kamu kuat. Berhenti menangis. Kita pulang.” Tarik Raga menuju luar ruangan. Isakku nyatanya belum berhenti hingga langkah terakhir. Raga yang merisau, lalu menarikku dalam dekap yang menghangatkan.
“Berhenti atau aku juga menangis sekarang.”
…
Semoga keyakinanku perihal Raga bukan pria pematah lainnya, itu benar.
Kubalas dekapan Raga dan bersembunyi penuh dibalik dadanya yang bidang.
“Teruslah mendekap hingga kamu lupa caranya melepas, Ga.”
“Dan kamu Key, teruslah mendekap hingga kamu tahu siapa yang pantas dicintai, pada akhirnya.”
“Aku tahu, kamu.” ☺
…
Kuulangi, pada akhirnya
Mentari menyinsing di ufuk timur. Tangan kita berpegangan. Bahasa terindah kita adalah keheningan. Huruf terindah kita adalah kerinduan. Kata-kata terindah kita adalah kau dan aku saling mendoakan. Kita tak mampu mendefinisikan apa yang kita rasa. Kita berdua hanya tahu bahwa ini indah walau tak bernama.
Setelah malam demi malam kau menahan perih peninggalan masa lampau, setelah minggu demi minggu kau mencoba untuk tidak lagi jatuh hati, setelah purnama demi purnama aku tak jua henti menanti, kita memutuskan untuk mencoba. Seberat apapun hidup, sehebat apapun perbedaan, kita memutuskan untuk mencoba – Fiersa Besari, Garis Waktu
Penulis: Tyas Sastro