mimbaruntan.com, Untan – Di tengah gencarnya kampanye kesehatan mental, laki-laki masih terperangkap dalam tuntutan sosial untuk selalu tampak kuat. Stereotip “laki-laki tidak boleh menangis” yang mengakar membuat banyak dari mereka memilih bungkam saat menghadapi tekanan emosional. Data Centers for Disease Control and Prevention (CDC) menunjukkan laki-laki menyumbang hampir 80% kasus bunuh diri global. Angka ini merefleksikan kecenderungan laki-laki untuk menahan emosi dan enggan mencari bantuan profesional dibandingkan perempuan.
Fenomena ini tergambar dalam kisah Ilham D. Wijaya, mantan relawan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UN Volunteer), saat menjadi pembicara dalam forum Wellness Talk, yang diinisiasikan oleh kolaborasi antara Indika Foundation, pemuda bootcamp GDA (GerakDampak Academy), Kitabisacerita.id, Yayasan Swadaya Dian Khatulistiwa (YSDK), dan SATGAS PPKPT (Satuan Tugas Pencegahan dan Penanganan Kekerasan di Perguruan Tinggi) Universitas Tanjungpura. Dalam sesi tersebut, Ilham membagikan pengalaman pribadinya menghadapi krisis mental dan proses pemulihan yang dijalaninya.
Ilham mengaku pernah berada di titik terendah hidupnya, ketika ia merasa kehilangan arah dan mempertanyakan arti keberadaannya sendiri. Ia mengatakan bahwa masa itu menjadi salah satu periode paling berat karena harus berhadapan dengan kesepian dan tekanan yang tidak dipahami orang-orang terdekatnya.
“Waktu itu aku sendirian di kampung, nggak tahu harus cerita ke siapa. Pas cerita ke ibu, malah dibilang ‘zaman Ibu dulu nggak ada kayak gitu’. Aku makin merasa aneh, makin merasa sendiri,” tuturnya.
Reaksi itu membuatnya semakin tertutup. Namun, satu kalimat dari seorang teman menjadi titik balik yang menyadarkannya akan arti keberadaannya di mata orang lain. Pengalaman itu mendorong Ilham mencari cara baru untuk memahami diri sendiri. Ia mulai mempraktikkan mindfulness dan mengikuti sesi coaching untuk menata ulang pola pikir. Tak berhenti di situ, ia pun terlibat sebagai peer counselor di sebuah platform kesehatan mental.
“Temanku bilang, ‘Kalau kamu mati muda, aku sedih.’ Di situ aku sadar, ternyata kalau aku hilang, ada orang yang benar-benar kehilangan. Awalnya aku pikir menolong orang lain itu cuma soal empati. Ternyata, dengan mendengarkan orang lain, aku juga sembuh pelan-pelan,” katanya.
Baca Juga: Memperingati Hari Kesehatan Mental Sedunia: Mahasiswa Juga Perlu Sehat Mentalnya!
Sebagai laki-laki, Ilham menyoroti sulitnya menemukan ruang aman untuk berbicara tanpa stigma. Ia baru merasakannya ketika magang di kantor Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).Menurut Ilham, pengalaman tersebut menjadi momen penting dalam proses pemulihannya. Ia menyadari bahwa bentuk dukungan emosional tidak selalu hadir dalam bentuk nasihat, melainkan dari kehadiran seseorang yang mau mendengarkan tanpa menghakimi.
“Bosku waktu itu malah cerita dia juga pernah insomnia. Itu pertama kalinya aku merasa bisa bicara tanpa dihakimi, apalagi sama sesama laki-laki. Kadang kita nggak perlu kasih solusi. Cukup dengar, cukup hadir,” ujarnya.
Psikolog Novia Sari dari Persona Consulting melihat pengalaman seperti yang dialami Ilham sebagai cerminan dari pola sosial yang sudah mengakar lama. Ia menjelaskan bahwa tekanan terhadap laki-laki untuk selalu terlihat tangguh merupakan salah satu faktor yang memperburuk kesehatan mental mereka.
“Laki-laki dibesarkan dengan kalimat ‘jangan nangis’, ‘harus kuat’. Pola ini membuat mereka tumbuh tanpa kemampuan mengekspresikan perasaan,” jelas Novia.
Novia menjelaskan bahwa penekanan emosi sejak kecil membuat laki-laki sulit mencari pertolongan saat menghadapi masalah psikologis. Akibatnya, mereka cenderung memendam perasaan alih-alih mengungkapkannya secara sehat. Kondisi ini, menurutnya, turut berkontribusi pada peningkatan risiko depresi dan kecenderungan bunuh diri di kalangan laki-laki. Data UNICEF dan Indonesia National Adolescent Mental Health Survey (I-NAMHS) tahun 2022 mengonfirmasi hal ini dengan menunjukkan bahwa satu dari lima remaja laki-laki di Indonesia mengalami gejala depresi, namun jarang mencari bantuan profesional.
“Perempuan cenderung punya ruang sosial untuk bercerita. Laki-laki justru sebaliknya, mereka takut terlihat lemah. Stigma yang paling sering disebut itu ‘cowok nggak boleh nangis’. Jadi cowok harus benar-benar kuat, padahal di posisi tertentu dia sebenarnya sudah nggak kuat, tapi karena stigma tadi akhirnya menahan diri,” ujarnya.
Baca Juga: Demokrasi Tergadai, Oligarki Berdaulat di Tanah Kalimantan Barat
Lebih lanjut, Novia menekankan bahwa kesehatan mental tidak bisa dilepaskan dari keseimbangan antara aspek emosi, kognisi, dan sosial. Ia menjelaskan bahwa ketidakseimbangan pada salah satu aspek akan berpengaruh terhadap fungsi seseorang dalam kehidupan sehari-hari. Karena itu, setiap individu perlu memiliki kesadaran diri untuk mengenali dan mengatur emosinya dengan baik.
“Kalau satu terganggu, semuanya ikut goyah. Karena itu, penting bagi setiap orang, termasuk laki-laki, untuk belajar mengenali dan mengatur emosinya,” terangnya.
Ia juga menyoroti pentingnya membangun ruang aman di mana laki-laki dapat berbicara tentang perasaannya tanpa takut disalah artikan. Menurutnya, dukungan semacam ini dapat membantu mereka mengatasi tekanan tanpa harus menekan diri sendiri.
“Meminta bantuan itu bukan tanda lemah. Justru itu bentuk keberanian untuk bertanggung jawab atas diri sendiri,” tegasnya.
Novia mengingatkan bahwa menjaga kesehatan mental juga memerlukan waktu istirahat. Ia menyebut bahwa banyak orang keliru memandang istirahat sebagai bentuk kemalasan, padahal hal tersebut merupakan bagian penting dari pemulihan diri.
“Istirahat bukan berarti malas. Kadang kita perlu berhenti sebentar supaya bisa berjalan lebih jauh,” katanya.
Menurut data WHO, kesadaran publik tentang kesehatan mental meningkat dalam satu dekade terakhir, namun masih banyak masyarakat yang menganggap masalah psikologis sebagai kelemahan pribadi. Kesalahpahaman ini, seperti disampaikan Ilham dan Novia, menjadi tantangan tersendiri dalam menciptakan lingkungan yang benar-benar peduli terhadap kesejahteraan mental, termasuk bagi laki-laki.
Penulis: Aga
Editor: Uis
Referensi:
- https://www.cdc.gov/suicide/facts/data.html
- https://www.who.int/publications/i/item/9789240110069
- https://qcmhr.org/outputs/reports/12-i-namhs-report-bahasa-indonesia