mimbaruntan.com, Untan – Bagian tubuh mana dari perempuan yang boleh dikatakan “cantik?” Jika terasa membingungkan untuk dijawab, marilah kita menilik pada teman-teman mahasiswa yang mengelola akun “kampus cantik”, “mahasiswi cantik” dan banyak sebutan lainnya. Barangkali melalui salah satu postingan mahasiswi-mahasiswi di sana, mungkin kita lebih mudah mendefinisikan kata “cantik” itu.
Sekilas terdengar normal, mengupload nama, program studi dan tahun angkatan, disertai foto bergaya yang sebelumnya telah dipilih dengan matang, lalu pada step terakhir adalah yang paling penting, yaitu mengunggah foto tersebut di akun media sosial yang menyertakan identitas kampus A, B, atau C sebagai alamat tempat mahasiswi cantik berkumpul.
Jika sebelumnya problematika akun kampus cantik sudah lebih dulu dicicipi oleh kampus-kampus besar, seperti Universitas Padjajaran dengan @unpad.geulis, atau Universitas Indonesia dengan @uicantikid-nya, mungkin mahasiswa/i Universitas Tanjungpura juga perlu belajar dari sana. Bukan mengenai bagaimana cara mengelola akun tersebut hingga menjadi ribuan pengikut, atau memilah mahasiswi mana yang lolos standar “cantik” untuk kemudian diunggah fotonya, melainkan mengenai isu objektifikasi pada perempuan yang pelan-pelan dilanggengkan dengan dalih “just for fun!”
Objektifikasi Perempuan
Dilansir dari kbbi.web.id, kata cantik diartikan sebagai elok, sangat rupawan, indah dalam bentuk dan perbuatan, yang semuanya diarahkan pada perempuan. Objektifikasi sendiri merujuk pada tindakan memperlakukan seseorang sebagai objek atau benda, bukan sebagai manusia utuh yang memiliki martabat, kepribadian, dan otonomi.
Pasaribu dan Alila (2023) dalam penelitiannya menuliskan bahwa praktik objektifikasi dan konstruksi cantik pada tubuh perempuan ini sebenarnya bukan lagi hal yang baru. Teori Beauty Myth karya Naomi Wolf dalam (Karolus, 2016) menyebutkan bahwa mitos kecantikan pertama kali dihadapi oleh perempuan-perempuan di Amerika, di mana mereka harus memiliki tubuh tinggi, langsing, putih dan berambut pirang untuk bisa dikatakan sebagai perempuan cantik, kulit wajah mereka juga tidak boleh ada cacat sedikitpun dan lingkar pinggang juga harus berukuran kecil. Dengan begitu, tidak bisa dipungkiri bahwa perempuan adalah sasaran utama untuk dibentuk sedemikian rupa dalam praktik objektifikasi.
Jika dahulu perempuan dengan gelar cantiknya merupakan pengakuan melalui pandangan laki-laki (male gaze), maka bukan berarti media tidak bisa mengambil peran untuk menormalisasikannya. Dijelaskan dalam teori Male Gaze (Mulvey, 1989) bahwa media khususnya adalah film memberikan beberapa kepuasan, salah satunya adalah kepuasan dalam pandangan, yang dimasa sekarang ditunjukkan dengan penyorotan lebih pada perempuan, dengan menggunakan perspektif laki-laki.
Polemik Akun Kampus Cantik di Ruang Akademik
Yang saat ini terjadi di kampus-kampus besar, tidak mustahil terjadi di tempat kita mengenyam pendidikan sekarang. Polemik akun kampus cantik bahkan telah mengambil eksistensinya sendiri di setiap fakultas. Seperti saling berlomba, pihak anonim ini menggunakan akun sosial media khusus, sebut saja seperti Instagram atau TikTok sebagai media publikasi secara luas fakultas-fakultas dengan penghuni tercantiknya.
Kehadiran akun kampus cantik akhir-akhir ini di ranah pendidikan tinggi bukanlah sesuatu yang patut untuk diabaikan. Selayaknya mahasiswa belajar melalui fenomena yang muncul, universitas juga harus hadir memutus rantai objektifikasi pada mahasiswinya, baik bagi mereka yang melakukan secara sadar, maupun atas ketidaktahuan. Mengesampingkan citra universitas yang terpengaruh melalui fenomena ini, lebih dari itu kampus harus berupaya mencegah potensi meluasnya ancaman kekerasan seksual yang terjadi melalui labeling objektifikasi mahasiswinya.
Baca Juga: Minimnya Keterlibatan Perempuan Pengelola Sumber Daya Alam
Walau dengan dalih “konsen” dan berdasarkan “kemauan pribadi”, rasanya tidak layak jika standar kecantikan mahasiswi kini didukung dengan logo universitas sendiri, sehingga dapat menimbulkan stereotip pembagian mahasiswi yang cantik dan tidak cantik secara fisik.
Maka begitu, kemunculan akun kampus cantik ini bukan lagi soal “just for fun” atau “just for entertainment”, tapi mengenai normalisasi yang nantinya akan semakin mendesak perempuan untuk terbentur pada standar baru hasil rekonstruksi manusia. Kesan labeling pada perempuan tidak lebih dari sekedar objek visual semata, namun berpotensi penindasan halus sesama kaum perempuan. Pada akhirnya perempuan dapat mengobjektifikasi diri sendiri atau orang lain, hingga menyesuaikan standar-standar cantik yang merugikan dirinya (Fredrickson & Roberts, 1997).
Penulis: Fitri
Referensi:
- https://jurnalrisetkomunikasi.org/index.php/jrk/article/view/796/160
- https://temanggung.times.co.id/news/kopi-times/ec17lkpz2b/The-Male-Gaze-Objektifikasi-Perempuan-yang-Menghambat-Pemberdayaan-Diri
- https://unair.ac.id/akun-kampus-cantik-dan-kekerasan-kultural-di-kampus/
- https://www.tempo.co/digital/mahasiswi-ugm-masuk-di-akun-kampus-cantik-terima-pesan-pelecehan-seksual–479564