mimbaruntan.com, Untan – Setiap tanggal 24 Oktober, dunia memperingati hari berdirinya Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) sebuah organisasi internasional yang lahir dari harapan besar, yakni menjaga perdamaian dunia serta menjamin keadilan global. Namun, setelah hampir delapan puluh tahun berdiri, pertanyaan yang muncul di benak justru “Benarkah PBB masih menjadi simbol keadilan dunia, atau hanya alat bagi negara kuat untuk mempertahankan dominasinya?”
Salah satu sumber masalah terbesar dalam tubuh PBB adalah keberadaan hak veto di Dewan Keamanan. Hak ini dimiliki oleh lima negara tetap, yakni diantaranya ada Amerika Serikat, Rusia, Tiongkok, Inggris, dan Prancis, yang pada kenyataannya negara tersebut adalah pemenang Perang Dunia II. Dengan satu kata “Veto”, mereka dapat membatalkan keputusan apa pun, bahkan jika mayoritas anggota negara memilih keputusan yang bertolak belakang dari lima negara tersebut. Dalam praktiknya, hak veto sering kali menjadi tameng kepentingan politik, bukan alat menjaga perdamaian.
Amerika Serikat misalnya, telah berulang kali menggunakan hak veto untuk menggagalkan resolusi yang mengecam tindakan militer Israel terhadap warga Palestina. Akibatnya, penderitaan di Gaza terus berlanjut tanpa adanya langkah nyata dari PBB. Dunia seolah hanya bisa menonton karena satu negara besar memilih diam, atau lebih tepatnya, memilih memihak. Ini menimbulkan ironi. Organisasi yang dibentuk untuk menegakkan keadilan malah terjebak dalam permainan politik segelintir negara.
Negara lain seperti Rusia dan Tiongkok juga kerap menggunakan hak veto untuk melindungi negara sekutunya. Rusia menolak resolusi terkait pelanggaran HAM di Suriah, sementara Tiongkok sering menghalangi pembahasan isu Taiwan dan Myanmar. Meski demikian, dampak veto dari negara-negara ini sering kali tidak sebesar Amerika Serikat, karena pengaruh geopolitik AS lebih luas dan lebih sering menyentuh isu-isu global yang sensitif.
Baca Juga: Mahasiswa Untan Terpilih Mengikuti Simulasi Sidang PBB di Jepang
Masalahnya bukan sekadar siapa yang menggunakan veto, tetapi fakta bahwa hak veto itu sendiri dapat menciptakan ketimpangan struktural dalam sistem internasional. Saat satu suara bisa membatalkan aspirasi 188 negara lain, di mana letak keadilan yang sebenarnya? Sistem ini justru menegaskan bahwa kekuasaan politik lebih menentukan daripada prinsip moral atau kemanusiaan. Maka, wajar saja jika banyak yang menilai hak veto sebagai konsep yang sudah usang, warisan Perang Dunia II yang kini justru menyesatkan tujuan awal PBB didirikan.
PBB seharusnya berdiri atas nilai kesetaraan, transparansi, dan tanggung jawab kolektif. Namun, selama hak veto masih dipertahankan, cita-cita itu akan terus tertahan di ruang rapat dewan keamanan. Dunia butuh reformasi nyata, bukan sekadar peringatan tahunan yang penuh seremoni. Di hari peringatan berdirinya PBB ini, mungkin sudah saatnya kita berhenti merayakan simbol, dan mulai mempertanyakan “Apakah organisasi yang mengaku milik semua bangsa ini benar-benar bekerja untuk semua bangsa atau hanya untuk lima di antaranya?”
Penulis: Dila