mimbaruntan.com, Untan – Pagi itu kabut turun rendah di atas Sungai Kapuas. Udara dingin, lembab, dan agak berat. Dari kejauhan terdengar suara burung rangkong, sayup-sayup, seperti enggan mendekat ke tepian yang dulu dipenuhi pohon tinggi. Sekarang yang tampak hanya barisan sawit, rapi dan seragam, tapi hampa. Hijau, iya, tapi hijau yang mati.
Ateng berdiri di tepi jalan tanah, diam saja menatap buldoser yang berhenti di dekat sungai. Dulu di situ tumbuh pohon tengkawang, sumber minyak buat kampungnya. Sekarang akar-akarnya sudah tercabut, tanahnya ditimbun jadi jalan perusahaan.
“Katanya pembangunan hijau,” gumamnya, setengah tertawa getir. “Tapi yang hijau cuma logonya.”
Ia menendang tanah basah di kakinya. Di belakang, beberapa anak kecil main di genangan air, tertawa lepas. Mereka belum paham kalau tanah tempat mereka berlari bukan lagi milik siapa pun di kampung ini.
Sore harinya, Ateng duduk di beranda rumah kayu. Di sebelahnya ada Septian, teman masa kecil, sekarang kerja nyetir truk pengangkut sawit. Rokok dijarinya sudah hampir habis, asapnya naik pelan, bercampur dengan udara sore yang bau solar.
“Gue capek, Teng,” katanya pelan. “Kerja tiap hari, tapi rasanya kayak bantuin orang lain ngambil kampung sendiri.”
Ateng cuma menatap. Ia tahu Septian bukan nggak mau melawan, cuma nggak punya pilihan. Sejak tanah mereka dijual murah ke perusahaan, sebagian besar warga jadi buruh di kebun atau pabrik. Ada yang jaga, ada yang muat sawit, ada juga yang cuma kerja harian.
“Dulu kita nanam padi, nanam sayur. Sekarang malah beli beras dari kota,” lanjut Septian sambil buang napas. “Lucu ya, punya tanah tapi lapar.”
Dari jauh terdengar suara mesin pabrik berdengung. Dulu kampung mereka hidup dari sawah, sekarang hidupnya tergantung sawit. Napasnya pun berubah bau getah dan solar menggantikan aroma tanah basah.
Baca Juga: Suara Terakhir Borneo: Sebuah Pesan dari Hutan yang Merintih
Malam turun cepat. Lampu rumah Ateng redup, minyaknya tinggal sedikit. Di meja, tergeletak kertas tua sebuah salinan surat tanah adat keluarga. Cap kepala kampung masih jelas, tapi katanya nggak sah lagi di kantor pemerintah.
Ateng membacanya lama. Ia ingat pesan almarhum ayahnya, “Tanah ini bukan buat dijual, tapi buat dijaga.” Sekarang kalimat itu terdengar kayak doa yang tak selesai.
Tiba-tiba terdengar ketukan pelan di pintu. Septian datang lagi, wajahnya tegang.
“Besok mereka mau buka lahan di belakang bukit,” katanya. Sialnya itu adalah tempat kuburan orang tua dan leluhur para warga setempat.
Ateng diam sesaat, lalu berkata pelan, “Kita nggak bisa diam aja, Tian.”
“Kita mau lawan pakai apa?” balas Septian. “Hukum di tangan mereka. Polisi jaga mereka. Pemerintah peluk mereka.”
Tak ada jawaban. Tapi di mata Ateng, ada amarah yang lama disimpan tinggal menunggu bom waktu.
Besok paginya, ketika alat berat mulai naik ke bukit, warga sudah berdiri menghadang. Ateng di depan, memegang papan bertuliskan ‘Hutan ini Rumah Kami.’ Septian berdiri di sampingnya, masih dengan seragam sopir perusahaan.
“Kita cuma mau tanah kita balik kayak dulu, nggak minta lebih,” teriak Ateng.
Orang perusahaan datang, bawa surat izin. Aparat yang sudah bersenjata lengkap dengan tameng ikut dengan menatap dingin. Tapi warga tak mundur. Mereka tahu, kalau hari ini mereka diam, besok tak ada lagi tempat buat dikubur.
Baca Juga: Potensi Pemanfaatan Hasil Hutan Bukan Kayu Melalui Ekspedisi Lintas Batas
Suasana kaku. Tak ada suara selain desis mesin yang berhenti. Burung-burung terbang dari pohon, seperti tahu sesuatu sedang terjadi.
Septian menunduk sedikit dan berbisik, “Kalau kita kalah, paling nggak mereka tahu kita pernah nolak.”
Ateng menatapnya, lalu mengangguk. Tak ada takut di matanya hanya lelah yang berubah jadi tekad.
Menjelang senja, para oligarki, aparat, dan alat berat pergi meninggalkan lokasi karena dihadang begitu gigih oleh warga lokal. Bukit itu selamat, tapi hanya untuk sementara. Bahkan Ateng tahu, mereka bakal datang lagi. Selalu begitu sampai mereka bisa mendapatkan apa yang diinginkannya.
Langit jingga menyisakan cahaya sore menembus awan berat. Ateng menatap ke arah hutan, lalu berbisik pelan, “Kami belum menyerah.”
Dan ketika malam tiba, di antara dengung pabrik sawit yang jauh, suara jangkrik mulai muncul lagi. Pelan tapi nyata yang mengartikan sebuah tanda bahwa meski hutan sekarat, kehidupan masih berusaha bertahan meski tidak pasti.
Penulis: Judirho