mimbaruntan.com, Untan – Energi listrik adalah urat nadi kehidupan modern. Kebutuhan utama ini menopang segalanya, mulai dari komunikasi canggih, denyut industri, hingga kenyamanan pemanas dan pendingin. Pasokan listrik kita berasal dari berbagai sumber, baik dari yang berbasis fosil seperti batu bara dan minyak bumi, maupun sumber terbarukan yang menjanjikan, seperti tenaga surya, angin, dan hidroelektrik. Namun, ironisnya, tulang punggung pasokan listrik global saat ini masih terasa rapuh dan sangat kotor.
Meskipun pangsa global sumber energi bersih terus meningkat, dominasi bahan bakar fosil belum sepenuhnya tergeser. Data dari Ember menunjukkan tren positif: kontribusi bahan bakar fosil dalam bauran listrik dunia telah turun signifikan, mencapai 59,1% pada tahun 2024 dari 60,6% di tahun 2023. Ini merupakan capaian historis, karena pangsa fosil turun di bawah 60% untuk pertama kalinya sejak era 1940-an.
Baca Juga: Perkuat Kelistrikan Menggunakan PLTS Hybrid, Sukseskan Untuk KTT G20
Namun, di balik penurunan persentase tersebut, permintaan listrik total terus melonjak. Peningkatan pembangkitan energi fosil secara absolut ini pada gilirannya mendorong emisi sektor energi global naik 1,6% (+223 juta ton CO2). Total emisi kini mencapai rekor tertinggi 14,6 miliar ton CO2. Fakta keras inilah yang menegaskan mengapa upaya menahan krisis iklim menjadi tantangan yang begitu berat.
Di sisi lain, fakta menunjukkan adanya harapan besar. Biaya produksi listrik dari Energi Matahari (Solar PV) dan Angin telah menurun drastis, mengalahkan bahan bakar fosil dalam persaingan harga. Pergeseran ini bukan lagi murni tentang idealisme lingkungan, melainkan sudah menjadi keputusan ekonomi yang logis. Transisi ini didorong oleh inovasi yang cerdas, khususnya dalam mengatasi tantangan intermitensi (ketidakstabilan pasokan) melalui investasi masif dalam teknologi baterai dan penyimpanan energi skala besar.
Saat ini, dunia sedang berlomba-lomba beralih dari penggunaan mesin tradisional berbahan bakar fosil menjadi tenaga listrik. Hal ini terlihat dari semakin populernya mobil dan motor listrik, kereta listrik, kompor listrik, bahkan rokok elektrik dan masih banyak contoh lainnya. Kendaraan listrik sering dianggap lebih ramah lingkungan karena tidak menghasilkan asap dan memiliki tingkat kebisingan yang rendah dibandingkan kendaraan pada umumnya. Hal ini dapat mengurangi polusi udara dan polusi suara. Banyak pihak mengklaim bahwa energi listrik jauh lebih ramah lingkungan dibandingkan bahan bakar fosil atau sumber energi tradisional.
Namun faktanya di Indonesia sendiri sumber utama listrik yang dihasilkan masih berasal dari PLTU/MT yang berbahan fosil batu bara dan juga minyak bumi. Menurut laporan Rencana Umum Ketenagalistrikan Nasional (RUKN) 2025 dari KESDM, Indonesia pada tahun 2024 telah menyentuh angka 430 TWh dalam mengkonsumsi listrik. 85% (85,79 GW) pembangkit listrik Indonesia pada tahun 2024 masih menggunakan bahan bakar fosil. Proses pembakarannya dapat menghasilkan berbagai zat yang dapat mencemarkan udara dan juga emisi karbon dioksida (CO₂) dan inilah yang menyebabkan pemanasan global dan perubahan iklim melalui efek rumah kaca. Dengan demikian, kendaraan listrik belum sepenuhnya menjadi solusi bagi permasalahan lingkungan jika sumber energinya belum berubah masih berasal dari bahan bakar fosil.
Baca Juga: Thrifting, Tren yang Kian Populer di Kalangan Mahasiswa Pontianak
Indonesia sebenarnya telah mulai mengembangkan sektor energi terbarukan menggunakan tenaga surya, air dan angin. Namun sayangnya upaya tersebut belum berjalan optimal. Menurut laporan Institute for Essential Services Reform (IESR) pada 5 desember 2024, bahwa sepanjang tahun 2024 perkembangan transisi energi nasional mengalami kemacetan. revisi pemerintah terhadap Kebijakan Energi Nasional justru menurunkan target pencapaian perkembangan transisi energi pada tahun 2025.
Melihat tantangan global dan domestik mengenai sumber energi listrik yang masih dominan kotor, setiap individu memiliki peran penting untuk mengurangi beban konsumsi. Selama transisi energi nasional masih mengalami kemacetan, menghemat listrik adalah tindakan nyata dan paling efektif yang dapat dilakukan untuk mengurangi beban pada jaringan yang “kotor”. Berikut beberapa tips sederhana dan cerdas yang dapat kita lakukan untuk menghemat listrik dan mendukung upaya mitigasi perubahan iklim dari rumah:
- Matikan dan cabut steker perangkat elektronik yang tidak digunakan untuk menghentikan konsumsi daya dan menghemat listrik.
- Memanfaatkan pencahayaan alami di siang hari mengurangi penggunaan lampu listrik.
- Atur suhu AC dengan bijak untuk menghemat energi, semakin dingin suhu yang diatur maka semakin besar energi yang dibutuhkan.
- Beralih dari lampu pijar atau neon ke lampu LED yang jauh lebih hemat energi sehingga mengurangi emisi karbon.
- Gunakan peralatan elektronik yang berlabel hemat energi.
- Menggunakan smart plug atau timer sehingga dapat mengontrol energi yang dikeluarkan dan berhenti secara otomatis setelah kebutuhan energi terpenuhi.
- Bijak dalam menggunakan alat elektronik.
Mari bersama bijak dalam menggunakan listrik demi kebaikan dan kesejahteraan semua. Sayangi dan lindungi bumi dengan peduli terhadap apa yang kita gunakan, mulai dari langkah kecil. Selamat Hari Listrik Nasional ke-80.
Penulis: Abel, Dwi
Referensi:
- https://ember-energy.org/app/uploads/2025/04/Report-Global-Electricity-Review-2025.pdf#:~:text=As%20the%20global%20share%20of%20clean%20sources,22%25%2C%20with%20other%20fossil%20fuels%20contributing%202.8%25
- https://www.carbonbrief.org/power-sector-co2-hits-all-time-high-in-2024-despite-record-growth-for-clean-energy/
- https://data.goodstats.id/statistic/85-listrik-indonesia-berasal-dari-energi-fosil-g1Bb8
- https://iesr.or.id/ieto-2025-status-dan-perkembangan-transisi-energi-indonesia/