mimbaruntan.com, Untan – Di balik rindangnya hutan belantara Kalimantan Barat, tersimpan kisah panjang tentang siapa penguasa tanah ini yang sesungguhnya. Bukan rakyat adat, bukan pula negara, melainkan segelintir oligarki yang menumpuk kekayaannya dari hasil bumi: kayu, sawit, dan tambang. Wajah asli kekuasaan di balik jargon ‘pembangunan hijau’ ini coba dibongkar dalam sebuah diskusi publik di Kantor WALHI Kalimantan Barat, Jalan Silat Baru, pada Rabu (15/10/2025). Dua pemantik diskusi, Norman Jiwan dan Hermawansyah, hadir untuk menyadarkan publik bahwa demokrasi, yang dijanjikan oleh era reformasi, justru telah berubah menjadi alat untuk melanggengkan kekuasaan modal.
Norman memaparkan apa yang ia sebut sebagai ‘potret kejahatan oligarki’ sebuah fenomena yang menurutnya telah berlangsung lama dan kini mengakar hingga mempengaruhi kebijakan negara. Dalam pengamatannya, Kalimantan Barat menjadi salah satu ladang empuk bagi perusahaan-perusahaan besar untuk mengeruk keuntungan dari tanah adat.
“Bayangkan, Perusahaan Bumitama menguasai 237 ribu hektare secara nasional, termasuk 143 ribu hektare di Kalimantan Barat. Padahal, menurut ketentuan hukum, satu grup perusahaan tidak boleh menguasai lahan melebihi 100 ribu hektare. Jika ditelusuri lebih lanjut, Bumitama merupakan bagian dari Harita Group, yang juga dikenal karena aktivitas tambang bauksitnya yang merusak pulau-pulau kecil di Maluku,” ungkapnya.
Baca Juga: Lestarikan Pesisir, Kolaboraksi Masyarakat dan Komunitas Wujudkan Hutan Mangrove Baru
Norman menambahkan bahwa pelanggaran hukum semacam itu mustahil terjadi tanpa restu politik. Ia menilai, wajah oligarki di Indonesia kini bukan sekadar korporasi besar, melainkan juga pemerintah yang memelihara kepentingan mereka melalui kebijakan.
“Politik hukum hari ini digunakan untuk melayani kepentingan politik pemegang kekuasaan. Representasi dari wajah buruk oligarki itu terwujud dalam bentuk kepemimpinan politiknya sendiri,” ujarnya.
Dalam praktiknya, perampasan tanah, kriminalisasi warga, dan tumpang tindih izin telah menjadi hal yang lumrah. Dari Sanggau hingga Sambas, ribuan hektare hutan adat digusur dengan dalih legalitas. Ironisnya, rakyat yang mempertahankan tanahnya justru ditangkap, sementara perusahaan pelaku dibiarkan berkeliaran bebas. Baru-baru ini, kejahatan lingkungan seperti kasus Surya Darmadi akhirnya tersentuh hukum, itupun karena melibatkan pejabat negara.
“Kita bisa lihat kasus Surya Darmadi (PT Duta Palma) yang merugikan negara lebih dari Rp117 triliun. Empat anak perusahaannya menggunakan kawasan hutan secara ilegal. Namun, hukum baru bergerak ketika kasusnya melibatkan pejabat negara. Tanpa itu, mustahil mereka tersentuh hukum,” ujarnya.
Norman juga menyoroti bagaimana negara memberi subsidi triliunan rupiah per tahun kepada korporasi sawit besar melalui program biodiesel. Uang rakyat, katanya, justru dialirkan untuk menghidupi para perampas tanah rakyat. Dengan demikian, struktur hukum dan kebijakan negara kini sepenuhnya dikendalikan oleh segelintir pemodal besar.
“Hak Guna Usaha (HGU) ada yang berlaku hingga tahun 2095. Adakah yang bisa hidup sampai saat itu? Hanya oligarki yang bisa bekerja seperti ini. Mereka mengamankan perpanjangan konsesi hingga 95 tahun melalui Undang-Undang Penanaman Modal,” ungkapnya.
Sementara itu, Hermawansyah menyoroti akar persoalan yang lebih dalam demokrasi yang telah direbut oleh modal. Menurutnya, liberalisasi politik dan dominasi modal telah mengubah wajah demokrasi di Indonesia menjadi ‘oligarki yang demokratis’ sebuah kontradiksi yang kini dianggap lumrah.
“Pemilu 2024 kemarin itu semakin liberal dan semakin mahal. Politik biaya tinggi mereduksi kepentingan publik menjadi sekadar transaksi, tali mandat antara rakyat dengan politisi seolah putus. Sekarang ini yang kita saksikan mungkin adalah oligarki yang demokratis. Kita sudah berkompromi dengan para oligarki, bahkan menganggap mereka sebagai bagian yang wajar dari sistem politik,” ujar Hermawansyah.
Baca Juga: Palang Otomatis Untan, Ketertiban yang Memalang Kebebasan Mahasiswa
Hermawansyah menilai Kalimantan Barat sebagai contoh nyata bagaimana demokrasi prosedural justru mengukuhkan kekuasaan dinasti politik dan pengusaha besar. Menurutnya, melawan oligarki memerlukan perubahan struktural, termasuk revisi undang-undang politik untuk menciptakan sistem yang lebih inklusif.
“Di tingkat lokal, mereka berkelindan dengan dinasti politik. Coba lihat, kandidat mana yang tidak menerima dukungan dana dari pemodal sawit atau tambang? Sistem yang ideal harus memungkinkan akses setara bagi semua, bukan hanya bagi yang beruang. Mengapa kita tidak menghidupkan kembali gagasan Partai Dayak sebagai representasi politik lokal untuk melawan oligarki?” tegasnya.
Pada akhirnya, realita yang terungkap bukanlah cerita tanpa harapan, melainkan sebuah panggilan untuk sadar dan bertindak. Setiap lapisan masyarakat dari warga biasa, akademisi, jurnalis, hingga aparat negara memiliki peran dalam meretas jalan keluar dari jerat oligarki. Kesadaran kolektif akan ketimpangan ini adalah langkah pertama. Langkah selanjutnya adalah dengan bersuara, mengawal kebijakan, dan menuntut akuntabilitas dari para pemangku kekuasaan. Masa depan demokrasi dan keadilan ekologis di Kalimantan Barat, serta Indonesia pada umumnya, bergantung pada pilihan kita hari ini diam sebagai penonton atau bangkit sebagai pelaku perubahan.
Penulis: Judirho
Editor: Uis