mimbaruntan.com, Untan – Lantunan syair nan merdu dari buku Syair Pangeran Syarif yang dibacakan oleh Pradono, seniman asal Kalimantan Barat, berhasil menghipnotis audiens yang hadir dalam diskusi bertajuk Pontianak dalam Karya Literasi ‘Syair Pangeran Syarif’ memperingati Bulan Bahasa dan momen Hari Jadi Kota Pontianak pada Jumat (28/10).
Terdapat dua tokoh penting dalam eksistensi buku Syair Pangeran Syarif. Pertama, tentunya penulis dari syair-syair dalam buku tersebut, yaitu Sultan Matan. Kedua, penerjemah dan pengkaji buku Syarif Pangeran Syarif, yaitu seseorang sastrawan Malaysia kelahiran Indonesia yang dikenal dengan nama pena Arena Wati.
Sultan Matan menuliskan pengalamannya selama sembilan minggu di kota Pontianak lewat syair-syair berbahasa melayu Arab, yang kemudian diterjemahkan dan dikaji oleh Arena Wati sehingga dapat dimengerti oleh masyarakat umum.
Buku Syair Pangeran Syarif menjadi sumber penting bagi akademik. Syair Sultan Syarif dapat menjadi sumber kajian bidang kebahasaan, sumber data sejarah, sumber pembelajaran, dan tentunya sebagai sumber bacaan.
Syair Pangeran Syarif mencoba membawa pembaca ke suatu zaman, yaitu Pontianak di akhir abad ke-19. Menurut Haris Firmansyah, akademisi FKIP Untan yang merupakan pendiri Komunitas Wisata Sejarah, Syair Pangeran Syarif membawa pembaca berhadapan langsung dengan keadaan di Pontianak pada zaman itu.
Baca Juga:Perjalanan Kuliner Nusantara, Sebuah Monopoli Kuliner dan Politik Identitas
“Kalau dalam sejarah istilahnya zeitgeist atau jiwa zaman. Kalau kita melihat masa lalu dengan perspektif sekarang agak sulit, jadi kita harus masuk kedalamnya. Nah, Syair Pangeran Syarif ini dapat membawa kita berhadapan langsung dengan apa yang terjadi saat itu,” terangnya.
Contoh dari syair yang menggambarkan Pontianak pada akhir abad ke-19 terdapat pada syair ke-150 yang menceritakan keberadaan penambang sampan di kota Pontianak.
Menurut pengkajian Arena Wati, lalu lintas menyeberang sungai kota Pontianak menggunakan sampan penambang didominasi oleh orang-orang Madura. Bentuk dan struktur sampan tersebut mengikuti bentuk dan struktur sampan penambang Madura yang mengangkut penumpang antara pulau Madura dengan daratan pulau Jawa, terutama Bangkalan, Madura, Gresik dan Surabaya.
Lewat syair tersebut, pembaca dapat melihat karakteristik keberagaman masyarakat kota Pontianak, setidaknya pada tahun 1892.
Selain menggambarkan aktivitas dan budaya di Kota Pontianak pada zaman tersebut, Syair Pangeran Syarif juga menceritakan relasi dan interaksi antara kesultanan dengan Cina dan Belanda, serta relasi kesultanan dengan masyarakat pribumi.
Menariknya, di satu sisi Sultan Matan memuji Sultan Pontianak dan kerabat-kerabatnya, misalnya memuji keramahan dari Sultan Pontianak. Namun disisi lain, Sultan Matan juga mengkritisi Sultan Pontianak secara halus dalam syairnya.
Baca Juga:Mahasiswa dan Konten: Cukupkah Sekadar Tren?
Salah satu syair yang berisi kritikan terdapat pada bait yang mengisahkan bagaimana Sultan Pontianak mendatangi tauke-tauke Cina, yang mana sebelumnya orang-orang Cina yang mendatangi Sultan untuk mencari peruntungan. Dari syair ini, pembaca dapat mengetahui bahwa orang dari luar (Cina) sudah ada dan menyebar di Pontianak sejak zaman itu.
Tak sampai disitu, keunikan lainnya dari Syair Pangeran Syarif adalah terdapatnya beberapa syair tentang budaya berupa kuliner di Pontianak pada akhir abad ke-19. Salah satunya dalam syair ke-113, yang menggambarkan hidangan berupa gulai.
Melalui forum diskusi ini Imamah, salah satu peserta mengaku terdorong untuk lebih mendalami sejarah kota Pontianak dan berharap agar kedepannya dapat diadakan kembali diskusi semacam ini.
“Dari saya untuk kedepannya semoga diadakan lagi diskusi menarik seperti ini, jadi kami-kami yang merasa haus akan ilmu sejarah ini terpuaskan,” harapnya.
Penulis: Ibnu Najaib
Editor: Hilda