mimbaruntan.com, Untan– Sebelumnya Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pontianak pernah memberikan pernyataan tegas terkait dengan masifnya aksi massa (baik dari kalangan kelas pekerja dan mahasiswa) dalam penolakan terhadap Rancangan Perundang-Undangan (RUU) Cipta Kerja dalam pernyataan Pers Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pontianak, “siapapun yang ingin menyampaikan aspirasinya harus dilindungi oleh karena Undang-Undang itu sendiri dan amanat konstitusi, setiap tindakan otoriter harus dilawan karena kebebasan berpendapat merupakan hak asasi setiap orang.”
Betul bahwa dalam Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia Tahun 1945 Amandemen ke-empat yang menyatakan bahwa Indonesia adalah negara hukum (nomokrasi) namun perlu diketahui hukum di sini adalah hukum yang berdasarkan Pancasila, dimana hukum tidak dimaknai sebagai ilmu positivistik belaka akan tetapi juga dengan disertai dengan pendekatan holistik dengan memahami fenomena nyata ilmu kemasyarakatan terhadap hukum yang mencerminkan upaya untuk membangun manusianya sesuai dengan cita-cita para Founding Fathers.
Banyaknya kasus yang menciderai rasa keadilan dan kemanfaatan akan hukum itu sendiri di masyarakat seperti kasus Minah, kasus Manise, kasus Prita, dan kini kasus mahasiswi Kalbar yang akan dilaporkan ke polisi terkait dengan orasinya yang kecewa terhadap Gubernur Sutarmidji yang tidak dapat ditemui oleh aksi massa 10 November 2020 kemarin. Sebelumnya, Gubernur Sutarmidji dalam aksi 9 Oktober 2020 dan bisa dicek di media massa menyatakan bahwa beliau “Bersama mahasiswa dan pekerja” menolak RUU Cipta Kerja namun tidak berselang lama beliau justru menyatakan bahwa undang-undang tersebut cocok diimplementasikan ke Kalbar. Kemudian karena sikap yang tidak konsisten inilah yang melatar belakangi aksi Kembali 10 November kemarin.
“Penggunaan pasal 27 ayat (3) UU ITE dapat menjadi alat bungkam kebebasan berekspresi berkedok pencemaran nama baik yang sempurna.” ujar Suparman, Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pontianak. Kenapa demikian?
“Bahwa Deklarasi Umum Hak Asasi Manusia (DUHAM) menjelaskan bahwa hak kebebasan berpendapat dan berekspresi harus dilindungi sebagai hak dasar manusia. Hal ini diungkap melalui pernyataan umumnya bahwa, setiap orang berhak atas kebebasan mempunyai dan mengeluarkan pendapat; dalam hal ini termasuk kebebasan menganut pendapat tanpa mendapat gangguan, dan untuk mencari, menerima dan menyampaikan keteranganketerangan dan pendapat dengan cara apa pun dan dengan tidak memandang batas-batas.” ujarnya.
“Penggunaan Pasal 27 ayat (3) UU ITE serta Pasal 310 dan Pasal 311 KUHP sudah dalam taraf menimbulkan iklim ketakutan dalam masyarakat karena berpotensi melahirkan kewenangan upaya paksa yang eksesif oleh penegak hukum. Meskipun benar adanya bahwa dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Perkara No. 50/PUU-VI/2008 atas Judicial Review pasal 27 ayat (3) UU ITE terhadap UUD NRI 1945. Mahkamah Konstitusi menyimpulkan bahwa nama baik dan kehormatan seseorang patut dilindungi oleh hukum yang berlaku, sehingga Pasal 27 ayat (3) UU ITE tidak melanggar nilai-nilai demokrasi, hak asasi manusia, dan prinsip-prinsip negara hukum. Oleh karenanya Pasal 27 ayat (3) UU ITE adalah Konstitusional. Akan tetapi, Penerapan pasal-pasal pencemaran nama baik dalam hukum pidana di Indonesia meningkatkan dampak buruk serta mengerikan terhadap fungsi efektik kebebasan berpendapat dari suatu masyarakat yang demokratis itu sudah terbukti dengan kasus-kasus yang terjerat pasal 27 ayat (3) UU ITE apalagi jika yang melaporkan adalah Gubernur yang notabenenya adalah seorang pejabat publik, pendekatan hukum pidana harusnya sudah diketahui dengan sangat baik oleh Sutarmidji yaitu menjadi Ultimum Remedium, jalan atau upaya terakhir yang harus diambil. Jika tidak siap dikritik atau menerima komentar pedas, lebih baik mundur saja.” pungkas Suparman Ketika ditemui di kantor Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pontianak.
Selain itu menurut Eka Kurnia Chrislianto, Kepala Divisi Perempuan dan Anak Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pontianak berkomentar, “bahwa delik pencemaran nama baik adalah bentuk regresi atas kebebasan berekspresi dan berpendapat. Delik artinya memberikan sanksi akan suatu perbuatan (ekspresi) dan pendapat yang kemudian terjadi suatu pembatasan paling keras (dengan fenomena yang dihasilkan oleh adanya ITE), karena tidak hanya menciptakan efek menakut-nakuti (chilling Effect) tapi juga menjurus pada otoritarianisme yang kemudian sebagai tiket masuk dalam pelanggaran hak asasi manusia yang tentu saja dalam konteks penegakan hukum terhadap UU ITE dan mereka yang dicemarkan dan menjadi pengadu atau yang merasa dipermalukan atau dirugikan adalah pejabat publik. Selain itu, jika pengadilan salah mengadili suatu perkara terkait ekspresi dan pendapat yang seharusnya tidak perlu dipermasalahan apalagi terkait dengan kekecewaan terhadap UU Cipta Kerja, maka berimplikasi kepada ketidakadilan hukum dan hukum akhirnya menjadi alat penguasa semata.”
Penulis : Lembaga Bantuan Hukum Pontianak