“Populisme” adalah buzzword yang sudah tidak asing didengarkan bagi mereka yang menekuni kajian sosial dan politik. Hal tersebut tidak lepas dari kondisi global yang terjadi dalam satu dekade terakhir. Pemilu presiden Amerika Serikat pada tahun 2016, menangnya kelompok pro-Brexit dalam referendum 2016, bahkan kontestasi politik antara Joko Widodo dan Prabowo dalam pemilu presiden Republik Indonesia tahun 2014 dan 2019 menunjukkan kebangkitan dari populisme.
Pada dasarnya, populisme merupakan ideologi yang “tipis” sehingga dapat berafiliasi dengan ideologi klasik lain yang berhaluan kanan maupun kiri. Karena ideologi ini “tipis” dan tidak ada definisi yang pakem untuk menjelaskan apa itu populisme, ia kerap kali diafiliasikan lebih kepada retorika politik dan penggunaan narasi-narasi untuk memobilisasi massa.
Ada sebuah anggapan bahwa kata yang sering diucapkan maka ia perlahan akan kehilangan makna yang sebenarnya, fenomena tersebut biasanya disebut sebagai “klise.” “Populisme” sebagai buzzword dalam dunia sosial politik juga demikian. Seringnya kata ini diucapkan, disuarakan, dan diasosiasikan kepada tokoh atau suatu gerakan politik membuat makna dari kata “populisme” yang sebenarnya menjadi memudar. Agar memudahkan mendeteksi populisme, maka ada beberapa ciri yang memudahkan kita untuk menilai apakah suatu narasi politik dapat dikategorikan sebagai narasi yang populis:
- Populis kerap menyatakan bahwa mereka adalah representasi keseluruhan “rakyat.”
- Anti-pluralis karena mereka mengaku sebagai satu-satunya “representasi kepentingan rakyat,” di luar kepentingan mereka berarti bukan kepentingan “rakyat.”
- Anti-establishment (anti-kemapanan), kerap menjadikan lawan politik mereka sebagai lawan dari kepentingan rakyat. Biasanya, lawan politik mereka adalah elit yang sudah mapan dalam memimpin dan kerap kali diafiliasikan sebagai pihak yang korup.
Jika melihat dari ciri populis di atas, ada beberapa perbedaan populisme dengan demokrasi. Jika demokrasi meyakini bahwa ada berbagai macam kepentingan di masyarakat yang bisa jadi berbeda, maka untuk menentukan kepentingan mana yang diprioritaskan, maka kita harus melihat suara mayoritas sebagai penentu. Sedangkan populisme meyakini bahwa dalam masyarakat hanya terdapat satu suara “rakyat” dan hanya mereka yang mampu menyalurkannya, jika ada yang melawan sang demagog, berarti ia telah melawan kepentingan “rakyat” secara keseluruhan. Sehingga, bagi populis sangat mudah menentukan siapa lawan politik mereka: yang tidak mengikuti agenda yang mereka bawakan. Itulah yang dimaksud anti-elit dan juga anti-pluralis dalam narasi populis.
Meskipun terkesan mengerikan dan menakutkan, tidak selamanya populisme buruk. Populisme sebenarnya dapat menjadi upaya perlawanan di sejumlah negara demokrasi yang kepemimpinannya dikuasai oleh para elit yang tidak responsif. Sebagai narasi perlawanan yang bersifat anti-establishment, populisme kerap menjadi harapan bagi kelompok masyarakat di sejumlah negara, termasuk Indonesia, untuk mendobrak pemerintahan yang dikuasai oleh segelintir oligarki yang korup, tidak responsif, dan abai terhadap kepentingan masyarakat.
Dalam konteks pandemi yang sedang terjadi secara global, populisme jelas diharapkan dapat memprioritaskan kepentingan “rakyat” dalam menangani buruknya situasi yang terjadi. Apalagi, populisme kerap kali memosisilan diri mereka sebagai “outsiders” yang dapat memberikan perubahan dalam sistem yang sudah berlangsung. Rakyat seharusnya dapat merasa aman karena mereka dipimpin oleh pemimpin yang digaungkan “membawa” kepentingan rakyat.
Namun, keindahan narasi yang dibawakan oleh para pemimpin populis tidaklah selamanya menghasilkan fakta yang sejalan. Sifat pemimpin populis yang kerap menjadikan “rakyat” sebagai objek yang mereka representasikan kerap kali disalahgunakan. Para pemimpin populis justru menjadikan klaim “mewakili kepentingan rakyat” sebagai legitimasi bahwa semua yang mereka putuskan adalah atas kehendak rakyat. Belum lagi, sejumlah pemimpin populis yang berkuasa pada era pandemi ini menunjukkan gelagat-gelagat ngeyel terhadap rekomendasi saintis, kerap mengambil kebijakan yang multi-tafsir, serta mencari scapegoat atas kondisi yang sedang terjadi.
Baca Juga: Resensi Buku: Kami (Bukan) Sarjana Kertas
Ogah Mendengarkan Rekomendasi Saintis
“Every disaster movie starts with the government ignoring a scientist,” alegori tersebut bisa menjadi benar dalam beberapa sisi. Jika kita perhatikan, pemerintah yang populisme kerap kali membawakan narasi percepatan dan juga pertumbuhan ekonomi dalam wacana mereka. Trump misalnya, berjanji akan menaikkan tarif bagi produk adal China dan Meksiko untuk mendongkrak konsumsi produk asal Amerika Serikat di level domestik serta membatasi imigran guna meningkatkan penyerapan program kesejahteraan untuk masyarakatnya. Presiden Joko Widodo, berjanji untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi Indonesia hingga 7% dan dengan melakukan restrukturisasi izin pertambangan juga investasi. Jair Bolsonaro juga, ia berjanji melarang kegiatan organisasi lingkungan internasional seperti WWF untuk beroperasi di Brazil guna memperlancar ekspansi reaktor nuklir Brazil.
Dari pola pemimpin-pemimpin populis yang sudah ditunjukkan, terlihat beberapa kesamaan. Pertama, mereka semua menjadikan pertumbuhan ekonomi sebagai narasi utama kampanye mereka. Karena memang, menjanjikan percepatan ekonomi merupakan cara yang cepat untuk menggaet suara dan ini merupakan kebutuhan dasar yang sudah pasti mewakili “rakyat.” Kedua, cara yang mereka tempuh sangat kontroversial dan bisa jadi ditentang oleh “rakyat” mereka sendiri. Namun, minimnya opsi pada akhirnya mengakibatkan masyarakat meleburkan preferensi mereka kepada pemimpin tersebut.
Pertanyaannya, bagaimana jika pola kebijakan yang sangat mengejar ekonomi ini diterapkan di masa pandemi? Pemerintah pada akhirnya harus membungkam suara ilmuwan dan menutup sejumlah data guna menyelamatkan “ kepentingan rakyat.”
Kita mungkin tidak asing dengan pernyataan sejumlah pejabat publik yang menyatakan bahwa “Indonesia kebal Corona karena warganya makan nasi kucing,” atau “doalah yang membuat kita semua (bebas virus Corona).” Selain terkesan melontarkan pernyataan yang menolak rekomendasi ilmuwan utamanya di bidang kesehatan, pemerintah dengan “optimismenya” pada akhirnya bergerak lambat dalam mengidentifikasi penyebaran wabah ini utamanya dengan memperketat akses masuk dari negara episentrum Covid-19. Berbanding terbalik dengan negara dengan struktur pemerintahan teknokrasi seperti Singapura dan Taiwan yang berhasil merespons dengan cepat wabah ini.
Agenda para pemimpin populis ini untuk tetap menyelamatkan kepentingan ekonomi mengakibatkan rekomendasi dan kebutuhan ilmuwan menjadi terabaikan. Banyak data yang ditutup guna mengantisipasi “kegaduhan” publik. Padahal, pada titik tertentu kegaduhan memang diperlukan. “Tenang-tenang” saja dalam menyikapi wabah ini justru membuat kita abai dengan tingkat destruktif yang sebenarnya dari wabah ini. Yang menjadi korban pada akhirnya ya “rakyat” dan juga tenaga medis.
Abai di awal menyesal kemudian. Berkaca dengan negara yang memiliki penanganan Covid-19 yang baik seperti Korea Selatan, Singapura, dan Taiwan, kecenderungan mereka menghasilkan kebijakan yang efektif pada akhirnya mengakibatkan kurva penyebaran Covid-19 semakin melandai. Ini akibat pemerintah jelas dalam menentukan prioritas mereka dan tidak mengabaikan rekomendasi para ilmuwan utamanya yang fokus dalam bidang kesehatan. Berbanding terbalik dengan pemerintahan populis seperti di Amerika Serikat, Brazil, dan Indonesia, usainya wabah ini masih belum jelas kapan waktunya. Bahkan, pemerintah Indonesia saat ini sudah menunjukkan indikasi menyerah terhadap wabah ini. Herd immunity menjadi pembahasan yang menyeruak di masyarakat.
Memunculkan Kebijakan yang Multi-Tafsir
Akan sulit menjawab pertanyaan “mana yang pada akhirnya harus diproritaskan antara ekonomi atau kesehatan masyarakat?” Namun, dalam pandemi ini pengalaman sejumlah negara berhaluan teknokrasi membuktikan bahwa mereka bisa keluar dari wabah ini jika mengambil kebijakan penanganan wabah yang serius. Karena, logika yang bisa kita ambil secara sederhana adalah, kegiatan ekonomi tidak akan bisa berjalan dengan optimal jika masyarakatnya tidak sehat.
Namun, berbeda dengan retorika pemimpin-pemimpin populis. Indonesia misalnya, pemerintah sebagai aktor krusial penanganan wabah ini justru menggunakan narasi doa dan agama yang seharusnya ranah pemuka agama. Himbauan berdoa oleh pemerintah memang baik. Aspek spiritual sedikit banyaknya berhubungan dengan motivasi seseorang untuk menjalankan hidup dan akan memengaruhi imun. Namun, akan menjadi buruk jika narasi ini digunakan untuk lari dari keseriusan penanganan wabah.
Selain itu, di Indonesia juga pemerintah sempat terjebak dalam debat semantik antara “mudik” dan “pulang kampung.” Pemerintah berdalih bahwa term dari kedua frasa tersebut adalah berbeda. Namun, alih-alih memang berbeda sekalipun, dalam wabah ini komunikasi pemerintah dituntut jelas dan tidak ambigu. Penegasan bahwa apakah mobilisasi masyarakat antar-daerah diperbolehkan atau tidak menjadi penting ketimbang menciptakan regulasi yang semakin sulit dipantau dan selektif. Potensi pelanggaran besar terjadi dan fenomena dewasa ini menunjukkan muncul aktor homecoming smugglers atau orang-orang yang menyediakan jasa penyelundup mudik di sejumlah daerah.
Atau, yang baru-baru ini terjadi adalah kebijakan pemerintah yang sudah memperbolehkan warga berusia di bawah 45 tahun untuk kembali beraktifitas. Meskipun ini juga mengikuti kebijakan PSBB suatu daerah, kebijakan ini dinilai membingungkan karena berkontradiksi dengan “komitmen” pemerintah untuk tetap berjuang melawan Covid-19. Memperbolehkan warga usia di bawah 45 tahun yang “mungkin” memiliki imunitas lebih pada akhirnya juga berbahaya, bagaimana jika ia terpapar dan menularkan virus tersebut kepada lansia atau anak di bawah umur yang tinggal satu rumah dengannya? Pemerintah terkesan optimis, namun di satu sisi terlihat lesu dan menyerah.
Pemerintah negara bersistem federal, Jair Bolsonaro di Brazil misalnya, kerap melemparkan pernyataan-pernyataan kontroversialnya terkait wabah Covid-19 yang ia tuduhkan adalah konspirasi untuk menjatuhkan kekuasaannya. Ia bersama pendukungnya malah berparade di jalan guna merayakan anti-swakarantina dan anti-pembatasan fisik. Kebijakan ini jelas bertolak dengan kekhawatiran “rakyat” secara luas terhadap wabah Covid-19 ini. Pemerintah federal di Brazil pada akhirnya banyak yang memutuskan untuk melakukan isolasi sendiri. Namun, kembali ini menjadi ambigu. Pemerintah pusat yang menginginkan ekonomi berjalan normal dengan relaksasi isolasi menguasai dana untuk program kesehatan. Pemerintah federal pada akhirnya harus dihadapkan kepada kebingungan: di satu sisi ia hendak mengetatkan isolasi, di satu sisi dana kesehatan ada di tangan pemerintah pusat yang anti-isolasi.
Kerap Mencari Kambing Hitam
Salah kamu, salah dia, salah China. Narasi saling menyalahkan adalah hal biasa dalam agenda populisme. Seperti yang sudah dipaparkan di awal, para pemimpin populis kerap kali mengonstruksi “lawan” masyarakat dalam propaganda mereka. Mereka adalah demagog yang kerap kali dikultuskan oleh para pengikutnya. Permasalahannya, mampukah mereka mengonstruksi “lawan” yang benar di masa pandemi ini?
Covid-19 menimbulkan suatu kondisi abu-abu. Harga dari sebuah “kepastian” mahal dalam kondisi seperti ini. “Kapan wabah ini selesai? Siapa yang menyebarkannya? Salah siapa sih ini, aku kan mau ngebucin dengan pacarku?!” Kemarahan-kemarahan seperti itu memerlukan jawaban untuk, setidaknya, memberikan kestabilan di masyarakat. Mencari kambing hitam dan menemukan lawan adalah hal yang lumrah dilakukan oleh pemimpin populis.
Trump, ia mengonstruksi bahwa China adalah penyebab di balik masalah ini muncul. Berbagai pidato dan juga konferensi pers yang kerap kali digelar, Trump kerap memojokkan negeri “Tirai Bambu” itu sebagai dalang di balik wabah Corona. Bahkan, pemerintah Amerika Serikat baru-baru ini juga telah menarik dana untuk WHO dan menyalahkan organisasi pemerintah internasional itu karena tidak bisa menyelamatkan “rakyat” Amerika Serikat dari wabah Covid-19.
Saling tuduh dalam krisis global seperti ini bukanlah hal yang baik untuk dilakukan. Selain meningkatkan intensi ketegangan kedua negara, solidaritas global juga akan menurun. Padahal, di era perdagangan bebas saat ini, interkonektivitas dan saling ketergantungan satu sama lain adalah hal yang tidak bisa dihindarkan. Tindakan yang menyemai rasa kebencian seperti di atas tidak akan membantu untuk menangani Covid-19.
Berdamai dengan Covid-19?
Pada akhirnya, kita dapat melihat “mengapa” banyak sekali kejanggalan yang timbul di masyarakat kita saat ini. Ketidakjelasan kebijakan-kebijakan yang muncul pada akhirnya menimbulkan berbagai keresahan dan juga pengabaian oleh masyarakat. #IndonesiaTerserah menjadi trending topic di media sosial. Jika berdamai dengan Covid-19 itu berarti membahayakan diri sendiri dan orang tersayang, maka sebisa mungkin kita tetap “melawan” wabah Covid-19 ini.
Terlepas dari kebijakan pemimpin populis yang ternyata tidaklah benar-benar mewakili “kehendak rakyat,” utamanya dalam penanganan wabah Covid-19 ini, alangkah lebih baik sebagai bagian dari bangsa yang kental dengan ciri gotong royongnya, kita menjalin solidaritas lebih kuat. Ada berbagai tulisan dari rekan sesama intelektual yang wajib dibaca di masa pandemi ini, seperti misalnya wealth distribution (distribusi kekayaan) untuk membantu orang yang kurang mampu agar tetap bisa “#dirumahaja,” cara mengatasi kebosanan saat pandemi, dan juga cara merawat kesehatan mental kita di masa pandemi.
Jika kita tidak bisa berharap kepada kebijakan pemerintah yang mengaku “mewakili rakyat,” maka berharaplah kepada “solidaritas” sebagai bagian yang tersisa dari kita sebagai “rakyat.” Bukankah kita adalah negara yang terkenal akan budaya gotong-royongnya?
Penulis : Nanda Yudha Ikhwan Pradana (Mahasiswa Program Studi Hubungan Internasional Universitas Brawijaya)