“Ih, perempuan kok ga bisa masak?”
“Laki laki kok suka warna pink?”
Tak ada hubungan antara pandai-tidaknya memasak dengan jenis kelamin. Itu adalah pemikiran usang yang tidak relevan di zaman sekarang. Memasak adalah kemampuan dasar yang harus dimiliki setiap manusia (walaupun saya mengakui kalau masakan saya tidak enak). Begitu pula dengan warna kesukaan seseorang. Tidak ada undang-undang yang mengatur tentang preferensi warna kesukaan seseorang.
Baca juga: http://mimbaruntan.com/new-normal-sebuah-babak-baru-yang-sarat-ketidakpastian/
Stigma yang melekat di masyarakat
Stigma atau pandangan buruk masyarakat yang melekat tentang apa yang seharusnya dilakukan dan tidak dilakukan antara laki-laki dan perempuan masih banyak terjadi sampai sekarang. Diskriminasi gender masih menjadi hal lumrah yang dilakukan oleh masyarakat. Perempuan dianggap sebagai gender yang dinomorduakan, bahkan hanya dianggap menjadi objek. Kesetaraan gender sangat diperlukan untuk menjamin hak-hak perempuan yang selama ini dikesampingkan, terutama dalam hal pekerjaan, pendidikan, dan lainnya.
“Untuk apa perempuan sekolah tinggi-tinggi kalau ujung-ujungnya kerja di dapur” atau “Laki-laki nggak perlu bersihin rumah”. Nah, pola pikir seperti itu yang mengkotak-kotakkan apa yang harus dan tidak harus dilakukan oleh seseorang. Stigma yang masih melekat tentang perempuan harus berada dalam lingkup “sumur, dapur, kasur” membunuh kesempatan para perempuan untuk melebarkan sayapnya di berbagai bidang yang ia inginkan. Pola pikir seperti itu menjadikan potensi yang terdapat didalam diri terbuang sia-sia. Tak ada salahnya kaum perempuan memilih menjadi ibu rumah tangga, begitu pula dengan memilih menjadi wanita karir. Semua pilihan tersebut baik adanya jika dilakukan dengan rasa kebanggaan dan tanggung jawab sebagai perempuan.
Begitu juga dengan laki-laki. Tidak ada salahnya melakukan pekerjaan rumah, memasak, menari, atau kegiatan lainnya yang selama ini erat dikaitkan dengan kegiatan perempuan. Penyekatan pekerjaan, hobi, dan lainnya antara perempuan dan laki laki yang bahkan tidak ada hubungan sama sekali dengan gender tersebut dapat membunuh passion pada diri, dan bahkan dapat mempengaruhi mental.
Saya pernah melihat anak kecil yang menangis karena berantem dengan temannya. Bukannya meminta maaf, temannya hanya mengatakan “Ih, gitu aja nangis, kayak cewek”. Itu hanya contoh kecil bukti masih melekatnya stigma buruk tentang kesetaraan gender di masyarakat. Tak ada yang mengharuskan bahwa laki laki itu tidak boleh menangis. Mungkin ada yang mengatakan bahwa secara biologis, perempuan memiliki tingkat emosional yang lebih tinggi dari laki-laki, sehingga perempuan akan lebih mudah terharu, tersinggung, sedih, dan sebagainya. Namun, hal itu tak sekonyong-konyongnya membuat stigma bahwa laki-laki itu tidak boleh menangis. “Aku bukanlah superman, aku juga bisa nangis, jika kekasih hatiku, pergi meninggalkan aku” mungkin anda membacanya dengan nada lagu “Superman – The Lucky Laki” yang dibawakan band yang berisi anak anak dari Ahmad Dhani.
Anggapan laki laki lebih memiliki power dari perempuan itu sudah menjadi budaya yang mengakar di mata masyarakat. Maskulin dan feminin adalah hasil dari budaya tersebut. Mungkin sifat maskulinitas penting untuk menciptakan karakter dan identitas laki laki, namun jika image maskulin tak dapat diwujukan, maka akan timbul toxic masculinity, yang mengidentikkan laki laki dengan kekerasan, perkelahian, adu otot, dan sebagainya. Tak ada yang bisa disalahkan untuk ini. Namun, yang harus dilakukan sekarang bukanlah memupuk akar budaya tersebut melainkan menghilangkan perilaku masyarakat yang disebabkan anggapan tersebut.
Baca juga: http://mimbaruntan.com/kapitalisasi-pendidikan-melalui-ukt/
Menghilangkan stigma masyarakat
Secara kodrat, laki laki dan perempuan memang berbeda. Namun perbedaan itu bukan untuk menunjukkan siapa yang akan lebih berkuasa atas lainnya (konteks berkuasa disini sangat berbeda dengan memimpin). Justru perbedaan itu diciptaan untuk membentuk ke-idealan suatu pola bermasyarakat.
Kita tidak bisa terus menerus menjadikan anggapan kuno yang menganggap wanita itu tidak bakalan bisa bersaing dengan laki laki dalam hal hal yang bahkan tidak ada hubungannya sama sekali dengan gender.
Selain itu, melawan stigma bukan berarti menentang kodrat. Sudah dikatakan di atas, kodrat yang dimaksud hanyalah perbedaan biologis antara laki laki dan perempuan. Hal itu memang nyata berbeda. Yang ditentang di sini adalah perbedaan perlakuan masyarakat terhadap masing-masing gender.
Kita bisa mulai menghilangkan diskriminasi gender dari hal hal kecil dan diri sendiri terlebih dahulu, seperti berhenti menganggap pekerjaan rumah hanya untuk anak perempuan, atau berhenti mengagung-agungkan budaya patriarki yang membatasi pergerakan perempuan. Namun, kita tidak bisa menampik bahwa perempuan memiliki hak dan kewajiban yang tidak bisa disamakan dengan laki laki, begitu juga sebaliknya. Disinilah kita membutuhkan kesadaran terhadap diri sendiri sebagai ciptaanNya.
Selain itu, kita juga bisa memulai program yang mendukung penyetaraan gender untuk mendapatkan hak-hak perempuan maupun laki-laki yang mungkin di berbagai tempat belum bisa diterapkan. Misalnya program cuti melahirkan untuk perempuan dan untuk suaminya, cuti haid, penyetaraan pendidikan, dan banyak lainnya.
Penulis: Daniel Simanjuntak
*) Opini ini adalah tanggungjawab penulis seperti tertera, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi mimbaruntan.com.