mimbaruntan.com, Untan- Reporter mimbaruntan mengunjungi Rumah Sakit Umun Bhayangkara Pontianak tempat dua mahasiswa korban luka yang dirawat diduga akibat pukulan aparat saat aksi Demo lanjutan Tolak Omnibus Law UU Ciptaker di Tugu Digulis pada Kamis (29/10).
Riyold salah satu peserta aksi demo yang juga merupakan koordinator lapangan FISIP (Fakultas Ilmu Sosial dan Politik) Untan (Universitas Tanjungpura) bercerita, awalnya ia mencoba untuk menyelamatkan temannya yang diseret paksa oleh pihak kepolisian. Saat itulah pukulan keras di daerah wajah dan tendangan bertubi ia terima.
“Saat keadaan ricuh, saya lengkap dengan slayer FISIP sebagai identitas dan toa ditangan buat mastiin anak FISIP aman. Itu posisi saya masih di tengah, tiba-tiba ada mahasiswa yang dipukuli polisi, saya datengin dan bilang ‘pak-pak jangan-jangan’, tapi saya ditangkap dan diseret lalu dihajar,” terang Riyold.
Ia juga bercerita bahwa saat ia diseret oleh sekitar tiga aparat berseragam, toa dan slayer yang menjadi identitasnya ditarik dan dihempas oleh aparat sebelum kemudian pukulan dengan benda keras itu ia terima.
“Saya tidak tahu menggunakan pentungan atau apa, intinya itu benda-benda keras. Kemudian dihantam kena bibir pecah, kepala dan badan saya dihajar terus, sampai di sana (depan Fakultas Teknik Untan) pun masih dimaki-maki segala macam, kawan-kawan ditarik dilempar di situ,” jelasnya seraya menunjukan daerah wajah, leher dan tubuhnya yang memar dipukul aparat.
Riyold juga mengalami sesak didada setelah mendapat pukulan dibagian punggung dan dada serta sisi kiri badannya. Sempat berusaha untuk lari menuju gedung Polnep, namun polisi mengejar dan memborgolnya. Karena sesak yang masih dialami, polisi pun membawa Riyold ke Rumah Sakit terdekat sekitar pukul 20.00 WIB.
“Saya diseret lagi, langsung diborgol, dikasih air minum, disuruh cuci muka segala macam, itu saya udah sesak banget karena banyak banget nerima pukulan dari depan dan belakang, dan dilarikan ke rumah sakit,” ujar mahasiswa semester 7 ini.
Di ruang rawat inap yang sama, Winda Darmawan yang merupakan salah satu peserta aksi demo juga dirawat, beberapa memar dibagian kepala dan wajah ia dapatkan. Awal mulanya dia berusaha untuk menyelamatkan temannya yang tertangkap oleh kepolisian, disaat itu pula tendangan dan pukulan secara brutal ia dapatkan.
Kata dia, saat salah satu peserta aksi yang merupakan tim medis berusaha untuk menolong. Celakanya, Kata Winda, rekannya itu justru mendapat pukulan juga.
“Ada teman saya itu ngebantu saya, bilang ‘ini mahasiswa pak’, tapi slayer identitas saya justru dibuang. Selanjutnya itu ada dari tim medis bantu saya dan teman saya, tapi tim medis juga yang dipukuli,” cerita Winda.
Winda menambahkan, setelah itu ia hampir hilang kesadaran diri, namun ia masih mendapat perlakuan kasar polisi yang tidak berseragam, seperti memaki dan melempar bagian dadanya menggunakan botol. Menurutnya ada sekitar tujuh atau lebih polisi yang menyerangnya.
Setelah berhasil dilarikan ke tempat aman, tubuh Winda terkulai lemas hingga muntah sebanyak lima kali sebelum akhirnya dilarikan ke rumah sakit. Hasil pemeriksaan dokter, Winda dinyatakan mengalami gejala typus.
“Saya bingung juga sih kok bisa ada gejala typus padahal ndak pernah kena typus, indikasi tipes juga gak ada, saya sehat-sehat aja selama seminggu ini, saya dibilang karena sering ngembun, saya bilang tidur saya akhir-akhir ini jam 12 malam, lebih awal dari biasanya,” ungkapnya.
Pada pukul 00.13 WIB (30/10), reporter mimbaruntan mendapat aduan kekerasan oleh aparat yang dialami oleh salah satu peserta aksi demo, aduan tersebut dilengkapi dengan video yang beredar di waktu yang sama. Dalam Video tersebut, korban tampak diseret paksa dengan cara ditarik rambutnya menuju arah gerbang Untan.
“Saya terbawa arus masa, karena mulai ricuh saya mencoba melepaskan diri, mencoba untuk keluar dari kerumunan, namun Polisi tiba-tiba nyeret saya, dalam penyeretan menuju gerbang Untan, saya mendapat pukulan dan tendangan,” cerita mahasiswa yang enggan disebut namanya ini.
Hingga saat ini, mahasiswa FISIP ini mengalami rasa sakit dibagian alat kelaminnya, dada, serta bagian kepala. Dia juga mengaku bahwa pemeriksaan ke rumah sakit tidak dia lakukan karena kendala biaya.
Menanggapi hal ini, pihak Amanat Penderitaan Rakyat (Ampera) mengecam pihak kepolisian atas tindakan represif itu. Ansarrudin selaku koordinator lapangan Ampera mengatakan pihaknya saat ini tengah mengumpulkan beberapa fakta lapangan dari aksi kemarin sebagai bukti tindakan represif aparat.
Hingga saat ini data yang dikumpulkan oleh Ampera setidaknya ada 16 orang mahasiswa yang ditangkap pada aksi tersebut meskipun sudah dilepaskan. Dari 16 orang tersebut, 10 diantaranya mengalami luka ringan hingga berat dan 3 orang dilarikan ke rumah sakit.
Penulis : Monic
Editor : Mara