Edwin Sutherland, ahli kriminologi dan sosiologi (1883-1950) pernah membahas mengenai kejahatan White Collar Crime dimana dalam perkembangannya dapat dikategorikan menjadi Occupational Crime dan Corporate Crime, mengatur tentang etika pekerjaan seseorang dan etika suatu korporasi.
Untuk menjalankan perguruan tinggi yang lebih optimal dengan menyelaraskan kebutuhan dan kemampuan daerah perguruan tinggi agar mampu bersaing secara nasional serta global. Otonomi perguruan tinggi dilihat mampu menjadi jalan keluar ideal untuk memaksimalkan kualitas suatu perguruan tinggi. Otonomi tersebut bisa meliputi pengambilan keputusan secara mandiri, penerapan sistem dalam pengelolaan sumber daya manusia, pengelolaan asset secara efektif dan efisien serta keleluasaan dalam pengelolaan keuangan yang akuntabel.
Peraturan mengenai otonomi perguruan tinggi tercantum pada Undang-undang Nomor 12 Tahun 2012 Tentang Pendidikan Tinggi bahkan dimanifestasikan melalui PP 61 Tahun 1999 serta secara spesifik diatur dalam Statuta masing-masing Perguruan Tinggi. Dalam pemahaman mengenai otonomi perguruan tinggi tersebut, tujuh pimpinan Perguruan Tinggi Negeri (PTN) pernah mendiskusikannya, yaitu Universitas Indonesia (UI), Universitas Gadjah Mada (UGM), Institut Pertanian Bogor (IPB), Institut Teknologi Bandung (ITB), Universitas Sumatera Utara (USU), Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) dan Universitas Airlangga (Unair).
Dalam pembahasan itu, otonomi perguruan tinggi mencakup, pertama, otonomi perguruan tinggi yang meliputi otonomi akademik dan nonakademik bersifat kodrati bagi perguruan tinggi. Kedua, otonomi akademik merupakan prasyarat pelaksanaan tridharma perguruan tinggi. Ketiga, otonomi nonakademik merupakan prasyarat mewujudkan pengelolaan perguruan tinggi yang baik. keempat, untuk menjamin otonomi perguruan tinggi nonakademik maka PTN membutuhkan otoritas. Kelima, kewenangan dalam sistem penyelengaraan dan keuangan Negara hanya dapat dilakukan oleh PTN badan hukum. Keenam,peran aktif masyarakat untuk mengawasi kewenangan PTN dan yang terakhir UU memang menjamin otonomi perguruan tinggi.
Dalam konsep otonomi perguruan tinggi, terdapat prinsip nirlaba yang mengikat etika pelaksaannya. Maksudnya, komersialisasi pendidikan dalam batasan tertentu diperbolehkan dan dilegalkan ketika pembayaran biaya pendidikan oleh peserta didik bertujuan untuk menutupi biaya operasional, mengembangkan ilmu pengetahuan, maupun menjalankan tata kelola institusi pendidikan.
Namun pada pelaksanaanya, tidak dipungkiri, komersialisasi pendidikan dijadikan pilihan untuk mencari keuntungan secara berlebihan atau menambah fasilitas penunjang yang bisa jadi tidak sesuai dengan kebutuhan akademis. Ketika keuntungan dari hasil komersialisasi itu lebih besar dibandingkan sumber pembiayaan lainnya, bisa saja disebut sebagai pelanggaraan etika. Bahkan, jika keuntungan hasil komersialisasi pendidikan hanya digunakan untuk kepentingan pribadi, maka hal itu digolongkan tindak korupsi dalam sektor pendidikan.
Hal tersebut sempat digambarkan dalam dokumen keuangan perguruan tinggi di Indonesia yang dikeluarkan oleh Bank Dunia tahun 2010. 7 PTN badan hukum (Unair, IPB, UGM, ITB, UI, USU, UPI dan lebih dari 75 PN). Dari grafik dokumen tersebut menjelaskan komersialisasi pendidikan terjadi di PTN dengan penerimaan yang cukup besar dari peserta didik ditambah dengan pemasukan lain dibandingkan alokasi dana dari Direktur Jendral Perguruan Tinggi (Dirjen Dikti).
Ada sebuah film dokumenter yang diharapkan mampu membuka wawasan mengenai realita pendidikan tinggi. Film itu berjudul Ivory Tower (2014) yang disutradarai Andrew Rossi, seorang filmmaker asal Amerika. Ivory Tower mengangkat permasalahan mahalnya pendidikan tinggi, sementara banyak fasilitas perguruan tinggi dibangun tanpa berkaitan dengan kegiatan akademis.
Dengan semangat mahasiswa perihal daya saing kualitas personal serta optimisme membangun bangsa dan Negara, otonomi PN yang terbungkus dengan komersialisasi pendidikan tinggi seharusnya lebih mampu memfasilitasi PN itu sendiri yang bertujuan mengoptimalkan kualitas peserta didik dibandingkan membangun ‘pencitraan’ PN yang hanya bertujuan menarik calon peserta didik. Banyak system pendidikan alternatif yang mampu membuat seseorang menjadi manusia seutuhnya tanpa dibayangi oleh ancaman diskriminasi, tidak dihargainya kemampuan tertentu seseorang, ataupun kebosanan karena merasa system pendidikan tinggi tidak secara signifikan berdampak dalam kehidupan peserta didik.
Penulis : Wirza Rachman