mimbaruntan.com, Untan- Stigma kerap kali mengumbar sesuatu layaknya aroma busuk yang mengganggu, disiram wewangian yang semerbak hanya sesaat aroma itu hilang, dan ingatan tentang busuknya masih membekas. Berangkat dari rasa peduli kepada Kampung Beting yang menjadi cecaran isu miring, kami memutuskan untuk mengekspos dan menepis stigma itu dengan menilik sisi positif yang tersembunyi.
Terik matahari mulai memudar, dengan terburu-buru kami menuju Kampung Beting. Saat memasuki wilayah Kampung, suasana terasa ramai dan hidup, tawa anak-anak yang riuh berlari dengan tali layangan di tangannya, Pemuda-pemuda yang asik berbincang tak lupa rokok menjadi penikmatnya, bahkan senyuman ramah menyapa kami.
Kami berkunjung ke Masjid Jami’ Sulthan Syarif Abdurrahman untuk menemui Abdul Hamid sebagai pengurus sekaligus juru kunci masjid sejak tahun 80-an untuk menggali sedikit informasi mengenai kampung Beting ini yang sudah ia tinggali sejak lahir.
Tak lama, dari pintu di depan tempat kami duduk, tampak seorang Lelaki paruh baya dengan raut wajah sumringah, dan mengenakan topi hitam yang sudah tampak kusam. “Assalamualaikum,” Sapa Abdul Hamid dengan ramah seraya duduk bersila di hadapan kami.
Abdul Hamid menerangkan sedikit tentang stigma yang beredar di luar Kampung Beting kepada kami. Ia juga mengaku banyak orangtua yang frustasi untuk membuat anaknya melanjutkan pendidikan ke ranah yang lebih tinggi, karena pada akhirnya setelah lulus dan ingin mencari pekerjaan, mereka mengalami dampak dari stigma yang beredar itu.
“Pada umumnya, hal negatif itu ya hanya isu-isu saja. Orang rawan kalau kesini takut dirampok, diapain, nyatanya rame aja tidak ada kejadian yang dirampok ditodong segala, kalau masalah barang haram (narkoba) ya itulah yang diangkat orang luar,” terangnya.
Baca juga: Baha’i, Representasi Persatuan dalam Keberagaman
Bagaimana nasib mereka ketika sudah dicampakkan oleh publik yang memandang mereka sama rata, akhirnya mereka memilih jalur alternatif dengan melakukan pekerjaan haram. Terutama bagi mereka yang dari awal orangtuanya adalah sosok Bandar. Potensi itulah yang meluas hingga setiap sisi Beting dan menjadi momok menakutkan untuk para orangtua yang pada dasarnya mewanti-wanti anaknya tidak terjerumus ke arah itu.
Dari Kampung Narkoba Menjadi Kampung Seni
Cuaca sudah tak lagi mendukung, tetesan air turun secara perlahan, di tambah suara azan magrib berkumandang, kami memutuskan mengakhiri percakapan dan meninggalkan Kampung Beting, tujuan selanjutnya yaitu mengunjungi Kantor Gemawan untuk menemui Gusti Hendra Rahmudin seorang Aktivis Sosial yang berasal dari Mempawah sebagai pendatang di kampung Beting hingga menjadi Penambang Sampan sejak tahun 2010.
Sebagai penambang sampan, Hendra yang akrab dipanggil Een merasa menjadi penambang sampan adalah pekerjaan yang membuatnya dekat dengan masyarakat sebab sebagain masyarakat Kampung Beting bekerja sebagai penambang sampan.
Kedekatan dengan masyarakat itulah dimanfaatkan Een untuk sedikit demi sedikit mengubur citra negatif Kampung Beting dengan memulai sebuah gerakan Kali Bersih, seiring berjalannya waktu, Rumah Batik Beting hingga beberapa perhelatan Festival Seni pun dilakukan.
“Kalau kita berhasil menghidupkan seni di Beting, dan mengundang banyak tamu dari luar Indonesia saat festival, maka Beting akan dikenal sebagai Kampung Seni, bukan lagi Kampung Narkoba,” tegas Een.
Namun harapannya itu pernah meredup, semua gerakan yang mulai, satu persatu harus gugur sebab adanya ancaman pembunuhan kepada dirinya oleh sekelompok orang yang tak menyenangi usahanya itu.
Tapi itu sudah bertahun yang lalu, kini Een memulai kembali upaya membersihkan stigma itu bersama warga setempat, serta Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) di Kota Pontianak, salah satunya adalah Gemawan.
Langkah baru ia mulai, cara baru pun ia dapatkan. Harapan untuk ‘Beting Kampung Seni’ mulai hidup kembali.
“Pertama yang harus dilakukan adalah membenarkan komunikasi antara pemerintah dan warga Beting terleboh dahulu,” jelas Een seraya memantik korek api untuk menyulut ujung rokoknya.
Adanya perhatian dan gerakan bersama pemerintah dapat membuat Kampung Beting tak hanya tersorot dari sisi ‘Kampung Narkoba’ nya saja, namun segala hal baik turut mengikuti. Keterlibatan pemerintah sangat penting
“Pertama-tama, pemerintah dan warga harus bisa berkomunikasi dengan baik dahulu, tidak saling curiga sehingga terjadi saling menyalahkan, selanjutnya program bisa berjalan dengan baik,” tambahnya lagi.
Een menyebutkan ada tiga inovasi pemberdayaan positif untuk Beting agar dapat menyentuh seluruh kebutuhan masyarakat. yaitu Koperasi, Pendidikan Agama dan juga Festival Budaya. Ketiga program itu akan menyentuh semua aspek kehidupan di Beting, baik dari kebersihan lingkungannya hingga upaya pemutusan pengedaran narkoba pada remaja.
Ketiga rancangan program tersebut merupakan akar dari Program kerja Bidang Ekonomi Kerakyatan, Seni Budaya dan Pendidikan Keagamaan.
Perlunya Keterlibatan Semua Pihak
“Kita tidak bisa pukul rata bahwa orang beting semuanya berlabel negatif tetapi kita tidak bisa memungkiri kalau label itu gak bisa lepas, dan susah untuk melepaskannya,” ujar Desca Thea Purnama, seorang pengamat sosial asal Universitas Tanjungpura Pontianak.
Desca menekankan bahwa dampak dari sebuah stigma itu adalah diskriminasi dan pengucilan. Asumsi masyarakat luar mengenai buruknya kampung beting berbahaya jika tanpa adanya bukti yang valid. Menambahkan juga bahwa mereka saat ini merasakan keterbatasan hak sosialnya dan juga terganggunya sebuah hak asasi.
Baca juga: Seiris Senyum Anak-Anak Ahmadi
Desca mengutip Teori Labelling oleh Edwin M. Lemert dimana sebuah stigma tercipta akan dua hal yaitu tahap awal seseorang atau kelompok dilabeli oleh masyarakat atas perilakunya dan yang kedua yaitu perilaku tersebut dilakukan kembali karena sudah mendapatkan label dari masyarakat dikarenakan tidak diberikannya akses untuk mengubah label itu sendiri.
Rekontruksi akan sebuah citra pada jati diri adalah salah satu solusi, namun tak hanya bisa ditanggung oleh masing-masing pribadi. Semua pihak harus berpartisipasi, mulai dari edukasi untuk mereka sendiri yang bertempat tinggal disana, hingga birokrasi yang mengemban tugas untuk membangun kesejahteraan bersama.
“Diperlukannya Stakeholder, tidak hanya masyarakat saja, tetapi bersama-sama mengusahakan kembalinya marwah Beting, sehingga masyarakat tidak merasa termarjinalkan di kota Pontianak ini,” tegasnya.
Dan pada akhirnya, Beting bagaikan sebuah koin yang memiliki dua sisi berbeda, ketika dilempar kemudian dilihat sisi mana yang akan nampak, koin itu menunjukkan bahwa suatu gambaran terhadap hal yang ada bisa saja kontras dan berbeda walau mereka bertempat sama. Karena di kehidupan, keberagaman itu nyata adanya.
Penulis : Hilda, Rahayu, & Fahrul
Editor : Mara