mimbaruntan.com, Untan – Fenomena krisis iklim berdampak terhadap seluruh sektor kehidupan manusia dan makhluk hidup di dalam bumi. “Healthy Sustainability, Climate Crisis & Cullture” tema yang diangkat dalam seminar & webinar oleh Yayasan Alam Sehat Lestari (ASRI) bersama Kesehatan untuk Bumi (KEBUMI) serta Universitas Tanjungpura (Untan) pada Sabtu, (9/3) di gedung Konferensi Untan.
Laetania Belai Djandam selaku salah satu narasumber yang memiliki latar belakang aktivis lingkungan Dayak serta berkecimpung di sektor kesehatan menjelaskan betapa manusia sangat bergantung dengan alam.
“Bagaimana kita sebagai manusia harus hidup berdampingan dengan alam dan bergantung kepada alam dan harus selaras dengan alam karena alam yang memberikan sumber kehidupan bagi kita,” ungkapnya.
Dampak krisis iklim begitu terasa meskipun kenaikan suhu terdengar kecil, Belai mengatakan bahwa banjir di Pontianak, kenaikan muka air laut, kebakaran hutan dan lahan (Karhutla) juga sebagian dampak yang seharusnya disadari masyarakat semakin merajalela bila dibiarkan begitu saja.
“Suhu rata-rata global telah meningkat lebih dari satu derajat celcius sejak zaman pra-industri, seperti kenaikan muka air laut, kebakaran hutan dan lahan di Kalimantan, banjir juga salah satu dampak krisis iklim yang terjadi, ini bukanlah bencana alami tapi dampak dari krisis iklim” sambungnya.
Belai memaparkan Asia Tenggara termasuk daerah yang paling rentan terdampak krisis iklim meskipun bukan sebagai kontributor terbesar terlebih bagian dampak tidak meratanya sebaran kenaikan suhu.
“Sebaran suhu rata-rata tidak sama rata akan ada daerah rentan dan terdampak dari krisis iklim, sayangnya kita tinggal di Asia Tenggara yang merupakan salah satu daerah paling rentan terdampak walaupun kita bukan kontributor terbesar justru kita yang kena dampaknya,” papar Belai
Gelombang panas dan kesehatan pada 1998-2017, lebih dari 166.000 (baca: seratus enam puluh enam ribu) orang meninggal dunia, lebih dari 70.000 (baca: tujuh puluh ribu) kematian pada tahun 2003 karena gelombang panas Eropa, estimasi menunjukkan 37% (baca: tiga puluh tujuh persen) dari kematian akibat gelombang panas oleh perubahan iklim.
Baca Juga: Air Bersih Tak Kunjung Dapat: Tolong, Kami Sudah Gatal-gatal
Dalam salah satu jurnal medis, perubahan iklim adalah ancaman global terbesar di abad 21. Sektor kesehatan turut menjadi salah satu faktor. Emisi yang dihasilkan pun tidak main-main.
“Sektor kesehatan menyumbang emisi 4,4% dari emisi karbon secara global setara dengan emisi yang dihasilkan 514 Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) dan tanpa kita sadari kita melakukan pelayanan kesehatan justru limbahnya menyebabkan krisis iklim yang mengancam kesehatan,” ungkap Belai menerangkan.
Belai mengatakan bahwa adanya ancaman krisis iklim yang berpengaruh pada kesehatan belum disadari penuh oleh beberapa tenaga medis, gap pemahaman tenaga medis terkait hal tersebut mendorong kelahiran KEBUMI yang bertugas mengadakan pelatihan untuk membangun kapasitas agar dapat paham tentang isu iklim dan kesehatan sama pentingnya dan sangat terikat.
“Masih lumayan besar gap pemahaman tentang iklim dan kesehatan karena mungkin, kita sudah dari dulu diedukasi bahwa kesehatan itu lebih terhadap kesehatan fisik dan penyakit menular, environment determinant of health kurang dibahas padahal kita tahu bahwa kesehatan lingkungan berdampak kepada kesehatan manusia,” tambah Belai.
Tanggapi terhadap pelayanan medis justru penyumbang emisi karbon, Bagus Devanda selaku peserta yang mewakili Duta Lingkungan Hidup Pontianak 2022 berharap agar tenaga medis juga harus membuka mata akan sampah medis yang mereka hasilkan serta mau bersama-sama menjaga kebersihan lingkungan.
“Untuk tenaga medis kiranya sudah tau ataupun belum tau, mari kita sama-sama jaga lingkungan kebersihan dan juga melek akan dari sampah medis yang dihasilkan rumah sakit itu sendiri,” ungkap Bagus.
Tak hanya Bagus, Mak Sri selaku peserta dari Rancak Alun Rumah Melayu turut menekankan agar pihak Rumah Sakit jangan hanya mementingkan keuntungan tanpa memikirkan dampak negatif kepada lingkungan dan masyarakat, sebaiknya dengarkan keluhan masyarakat dan pecahkan masalah bersama.
“Jika pihak rumah sakit hanya mementingkan keuntungan, itu sangat berbahaya kemudian bisa jadi masyarakat yang terdampak itu akan mendemo rumah sakit dan menimbulkan efek negatif yang lebih besar, menurut saya saat ini kalau itu terjadi sebaiknya duduk satu meja perlihatkan bahwa rumah sakit ini limbahnya membawa dampak negatif kemudian kita pecahkan bersama,” tegas Mak Sri.
Baca Juga: Tak Cuma Perempuan, Laki-laki juga Mengolah Sampah: Komunitas Pampers Mania dan Bank Sampah Rosella
Suherman selaku dewan pembina Indonesia Health Promoting Hospital (IHPH) Net menyatakan bahwa komponen yang masih menjadi kontribusi penyumbang emisi adalah gas pada obat bius yakni Nitrogen Oksida (N2O) merupakan obat golongan anestesi inhalasi yang digunakan untuk anestesi umum pada pembedahan. Gas tersebut memerlukan waktu 114 tahun untuk alam mengurainya.
“Kami menghimbau sekarang supaya rumah sakit sudah mulai meninggalkan gas-gas N2O untuk melakukan bius, karena bayangkan 114 tahun gas yang dikeluarkan tiap hari akan menghasilkan pencemaran pada bumi dan emisi karbon akan luar biasa, kami sudah punya grup dokter spesialis anestesi yang bersama dengan dunia untuk mengurangi penggunaan N2O sejak dini,” ujar Suherman menerangkan.
Suherman juga menjelaskan langkah yang mereka ambil berikutnya adalah memetakan emisi-emisi yang dikeluarkan oleh rumah sakit dengan mengembangkan semua software pendeteksi.
“Kita sudah melatih penggunaan software di Indonesia, 37 rumah sakit vertikal dari departemen kesehatan, bagaimana mereka memetakan diri supaya mereka tau berapa emisi yang dikeluarkan oleh rumah sakit dalam kegiatan sehari-hari yang memberikan kontribusi perubahan kecepatan iklim,” ungkapnya kemudian.
Penulis: Mira Loviana
Editor: Fahrul Azmi