mimbaruntan.com, Untan – Siapa bilang sampah hanya jadi urusan perempuan? Di Komunitas Pampers Mania, para laki-laki mengelola sampah pembalut dan pampers. Fermentasi sampah yang mereka hasilkan ini dilakukan karena kepedulian mereka terhadap sampah.
Tahukah kamu jika pembalut dan pampers merupakan sampah yang selama ini sulit sekali terurai? Kedua sampah ini kerap jadi momok para aktivis lingkungan karena butuh waktu 100 tahun untuk mengurainya.
Namun seorang relawan Komunitas Pampers Mania, Yoyok Adjid Soekarno kemudian membuat gebrakan baru soal mengolah sampah pampers dan pembalut ini. Olahan sampah pembalut sekali pakai ini kemudian dibuat pupuk cair. Yoyok selalu percaya bahwa tak ada sampah yang tak dapat diolah. Pampers hingga pembalut pun dapat diolah kembali menjadi sesuatu yang bermanfaat
Uji coba awal ia mulai bersama rekan-rekannya yang kemudian berbuah manis. Ia bersama Komunitas Pampers Mania menggunakan metode fermentasi untuk mengolah sampah pembalut dan pampers.
Dalam sebuah Kongres Sampah Jateng yang diadakan 12 Oktober 2019 sebagaimana dikutip di Inilahonline.com, oleh Komunitas Pampers Mania, fermentasi pampers ini dibuat dari beberapa bahan dasar. Air kelapa sebanyak 2 liter ditambah gula 50 gram, probiotik 100 ml dan terasi 1 sendok teh. Untuk pampers yang diambil adalah bagian gel yang ada di dalam pampers. Untuk membuat fermentasi pampers, campur seluruh bahan selama 24 jam, kemudian masukkan pampers dan didiamkan selama 14 hari, lalu ditambah urine sapi. Hasilnya, bisa dijadikan pupuk.
Sementara untuk pampers yang telah dimasukkan sebagai bahan fermentasi, bisa dijadikan media tanam dengan perbandingan 1 banding 4 dengan tanah. Ini dilakukan untuk tanaman sayur dan buah.
Baca Juga: Bank Sampah Upaya Masyarakat Atasi Sampah
Yoyok menjelaskan, hasil fermentasi ini dipraktekkan dari sampah pembalut dan pampers dan ternyata berhasil diberlakukan pada tanaman yang sering dijumpainya. Hasil buah akan lebih pekat warnanya, kondisi batang menjadi kokoh, dan tak perlu sering lagi menyirami tanaman sejak fermentasi ini diberlakukan.
Yoyok kala itu juga mengkampanyekan hasil ini dalam acara pameran yang dilaksanakan di hutan kota bertepatan dengan Hari Pungut Sampah Sedunia.
“Saat itu kita mengundang komunitas lain juga dengan maksud akan diliput oleh Metro TV, Indosiar dan lainnya. Dari itu lah ibu-ibu tertarik karena diliput TV itu kita gunakan sebagai kesempatan untuk mengenalkan dan berharap mereka dapat menerapkan di daerahnya masing-masing,” jelasnya antusias
Berkat tergabung dalam komunitasnya, Yoyok melihat beberapa penemuan olahan plastik pampers dan pembalut kemudian digunakan untuk pembuatan paving blocks. Pengolahan itulah yang membuatnya terketuk mengapa tidak sekalian saja mengolahnya secara keseluruhan, tak hanya diambil plastiknya saja.
Lalu siapakah Komunitas Pampers Mania yang menyelamatkan lingkungan dengan mengelola sampah ini? Tahukah bahwa kata Pampers di awal nama Komunitas ini adalah sebuah singkatan dari Pasukan Anti Malas Pembersih Residu dan Sampah. Komunitas ini merupakan komunitas yang ada di sejumlah daerah tepatnya di desa-desa. Mereka kebanyakan adalah para laki-laki yang peduli pada sampah.
Dalam twitter @anakdesaid, komunitas ini juga memamerkan hasil fermentasi sampah pembalut dan pampers dalam sebuah pameran sampah di Semarang untuk dijadikan pupuk. Mereka ingin berkampanye bahwa sampah bukan lagi sesuatu yang bisa jadi momok dan menakutkan. Di Jawa Tengah, komunitas ini termasuk kelompok yang punya inovasi bagi lingkungan mereka.
Walau Yoyok bukanlah orang pertama yang sadar akan bahaya membiarkan begitu saja sampah pembalut berada di alam. Beberapa kenalannya ternyata juga telah melakukan percobaan fermentasi yang telah ia lakukan sebelumnya. Begitulah Yoyok akhirnya memulai aksi pengenalan kepada masyarakat terkait pengolahan yang ia pamerkan.
Terhitung telah 7 tahun lebih atau sejak 2015, Yoyok mulai belajar mengedukasi masyarakat di lingkungan sekitarnya tentang bagaimana kehidupan di alam dengan sampah yang akhirnya tak serta merta dibuang, namun dapat dikumpulkan dan diurai sendiri dalam proses pengolahan pupuk cair yang berguna bagi tanaman.
Pola pikir yang sama juga dirasakan Ngadiyono, Ketua Karang Taruna Desa Kandangan, Kecamatan Bawen, Kabupaten Semarang. Inisiasi memberdayakan pengolahan sampah pampers dan pembalut pun menjadi siasatnya untuk mengelola sampah.
Bermodalkan keresahan masyarakat yang selalu melihat beberapa potongan pampers dan pembalut di tepi sungai, hingga melihat dengan mata kepala sendiri bahwa masyarakat disana sering membakar sampah pembalut ini.
Sebagai pecinta lingkungan, Ngadiyono merasa masyarakat belum peduli dengan sampah plastik, padahal jika ditilik lebih dalam, menurut riset Stockholm University, penguraian plastik dalam bungkus pembalut bisa membutuhkan waktu hingga 500-800 tahun yang berarti lebih lama dari penguraian sampah plastik botol yang memerlukan 70 hingga 450 tahun.
Sebab itulah dirinya merasa perlu menerapkan pengurangan juga penuntasan masalah sampah pampers dan pembalut ini. Ngadiyono berikrar bahwa penuntasan masalah sampah pembalut dan pampers harus selesai di daerah nya terlebih dahulu.
Tantangan Mengajak Masyarakat Peduli
Dalam waktu 1-2 tahun, masyarakat di lingkungan Ngadiyono kemudian mengikuti jejaknya. Hal ini sangat dirasakan Yoyok. Walau saat ini semakin hari dengan populasi pampers dan pembalut yang semakin banyak, ia mendapati bahwa kondisi ini berbanding terbalik dengan Sumber Daya Manusia (SDM) yang ada. Makin lama makin berkurang SDM yang mau mengelola sampah pembalut dan pampers ini.
Mengingat idenya dirasa semakin ditinggalkan, Ngadiyono pun kemudian mencari jalan keluar dengan menginformasikan masyarakat bahwa sampah pampers dan pembalut yang mereka hasilkan di rumah masing-masing sebaiknya dikubur untuk menjadi media tanam saja. Ini ia sarankan agar lebih praktis dan masyarakat bisa menerapkannya.
Dikuburlah sampah tersebut di dalam tanah, kemudian diberi bibit yang ingin ditanam seperti pada umumnya. Tidak ada yang begitu berbeda, tetapi Ngadiyono mengungkapkan dengan metode seperti itu membuat tanaman lebih subur dan tak perlu lagi menyirami tanaman lagi secara berkala.
“Cukup tiga hari sekali tanaman dapat tumbuh lebih baik dari pada tanaman yang tidak menggunakan metode diatas.”
Idenya tersebut sebenarnya disambut baik oleh masyarakat terutama ibu-ibu. Namun, sedikit disayangkan semangat itu hanya membara di awal. Biasanya yang tertarik hanya ibu-ibu, namun yang lain maunya cepat, yaitu dengan membuang sampah ke sungai daripada mengolahnya.
“Paling banyak terlibat ibu-ibu, mereka yang penting ada uang ada manfaat ibu-ibu pasti ikut,” tuturnya dengan tawa kecil di ujung percakapan. Maka inilah tantangan yang ia hadapi bersama komunitas pampers di sana.
Pilu Perempuan Parit Tokaya, Pontianak
Jika di Semarang, Jawa Tengah pengolahan sampah plastik pembalut dan pampers dilakukan dengan cara fermentasi atau ditanam di dalam tanah untuk pupuk, maka di Pontianak, orang mengolah sampah dengan sistem bank sampah. Pengolahan bank sampah ini juga tidak hanya dilakukan perempuan, tetapi laki-laki dan kepala desa mendukungnya dalam kebijakan desa.
Memasuki Kelurahan Parit Tokaya, berjejer rumah nan padat penduduk daerah bagian selatan Pontianak. Mereka mempunyai bank sampah yang cukup dikenal oleh berbagai kalangan. Konon banyak para mahasiswa tingkat akhir datang ke lokasi tersebut untuk mengambil data dan informasi terkait bank sampah ini.
Baca Juga: Kalbar Belum Merdeka dari Bencana Asap!
Bank Sampah ini bernama Rosella. Bank Sampah Rosella berdiri di tengah masyarakat sejak tanggal 14 Juni 2013 silam, terhitung telah 10 tahun lebih bank sampah ini beroperasi. Tak pernah sehari pun terlewatkan sampah masuk ke Bank Sampah Rosella. Sampah dari masyarakat sekitar hingga sekolah dan perkantoran semua menyetor ke bank sampah ini.
Menariknya, Bank Sampah Rosella secara keseluruhan didominasi oleh pengurusnya yang hampir semua perempuan. Dari lima pengurus bank sampah ini, empat diantaranya merupakan ibu rumah tangga yang dengan sukarela menyisihkan waktu untuk melakukan pekerjaan sosial yang dulunya masih dipandang sebelah mata oleh lingkungan sekitar.
“Jangankan ada yang mau ikut, melirik saja mereka tidak mau,” ucap Tea Titalia dengan nada lirih
Tea Titalia selaku sekretaris Bank Sampah Rosella, seorang perempuan perawakan cukup tinggi dengan kacamata khasnya bercerita bagaimana kisah mereka memulai mendirikan Bank Sampah Rosella.
Dulu para perempuan ini merupakan kader Posyandu yang kemudian ditarik oleh lurah setempat untuk dapat bertanggung jawab atas keberlangsungan Bank Sampah Rosella. Sosialisasi satu persatu ke masyarakat mereka lakukan, dan kini seluruh masyarakat secara sadar mengirimkan sampah mereka ke Bank Sampah Rosella untuk bisa didaur ulang kembali. Lalu di bank sampah ini, sampah-sampah ditimbang dan mereka mendapatkan keuntungan dari sampah ini. Umumnya sampah ini dicatat dalam sebuah buku tabungan yang keuntungannya akan mereka ambil nanti.
Kerap kali masyarakat tak lagi memikirkan buku tabungannya, selama namanya telah tercatat pada bungkus luar sampah. Umumnya mereka percaya itu sudah masuk ke dalam catatan tabungan mereka.
Tea pernah merasa, ia dan anggota lainnya kekurangan kader dalam mengurus bank sampah. Namun mereka juga tak dapat menambah kader secara spontan begitu saja, harus dicari siapa yang benar-benar tertarik dan mau bekerja keras mengelola sampah warga. Kedua anggota lainnya saat ini dirasa sedang tak dapat fokus pada bank sampah karena kesibukan berdagang dan merawat cucu mereka. Tea pun merasa jika hanya bertiga saja dirasa setengah mati harus terus bekerja mengolah sampah ini.
Tea menjelaskan bahwa dalam satu tahun ia perlu membagi sama rata profit yang dihasilkan oleh Bank Sampah Rosella ke seluruh anggota. Hasil yang sedikit tersebut menjadi kendala utama dirinya untuk mengajukan kader baru.
“Kami bukannya tidak mau untuk memberikan inovasi lebih atau ingin meningkatkan kualitas, tapi, ya karena kami orang-orang nya terbatas dan mempunyai pekerjaan utama lainnya ,“ begitu ucapnya penuh penekanan
Benar saja, Jerimin Direktur Bank Sampah Rosella yang juga seorang ketua RT mempunyai kesibukan lain. Begitu pula dengan istri Jerimin, Suryati yang secara ikhlas turut serta mengelola Bank Sampah Rosella. Namun setidaknya mereka mengetahui bahwa pengelolaan bank sampah ini didukung oleh para pengurus RT.
Selain mengelola bank sampah, Suryati juga punya keahlian sejak lama dalam bidang menjahit, maka tiap hari selain mengelola bank sampah, ia menjahit.
Suryati pun mengangguk pelan selama Tea bercerita, seakan membenarkan pernyataan sahabatnya tersebut. Kendati pengalaman selama mengelola bank sampah berat, Suryati dengan begitu tulus tak mengeluh demi keberlangsungan Bank Sampah Rosella hingga kini
“Semua itu karena sudah disini (hati), bapak tidak ada pun diusahakan saya lakukan sendiri,” ujarnya.
Jerimin memang terkadang jarang berada dirumah, ke luar kota selalu menjadi produktivitasnya. Jika ada pemasukan sampah yang perlu dijemput, terkadang anak lah yang membantunya. Menunggu anak kembali sepulang sekolah kemudian langsung bekerja membantunya, membuat Suryati lega masih ada yang bisa dimintai tolong.
Menghasilkan Karya dari Bank Sampah
Bank Sampah Rosella sendiri selain punya kegiatan mengumpulkan dan menabung lewat bank sampah, Rosella juga dikenal publik secara luas melalui beberapa karya originalnya yang terkadang diperjualbelikan. Mereka juga membuat karya dari sampah yang kemudian hasilnya dijual.
Mengolah sampah yang tak punya nilai hingga menjadi barang siap pakai yang berharga, begitulah sekiranya perbedaan Bank Sampah Rosella dengan bank sampah pada umumnya.
Ruang kerajinan yang mereka miliki pun berisi mayoritas sampah yang berhasil dibuat. Walaupun tak dapat memamerkan eloknya ruangan tersebut, Jerimin dengan sumringah menampilkan karya- karya buatan sang istri dan anggota Bank Sampah Rosella lain yang berharga itu.
Seiring berjalannya waktu, Jerimin dan Suryati menyatakan sudah tak lagi seperti dulu yang dengan rajin mengolah sampah keringnya menjadi karya cantik karena beberapa sudah dikerjakan warga. Kini fokus mereka adalah pada sosialisasi dan pelatihan. Memberikan ilmu kerajinan tangan yang mereka kuasai dengan sendirinya membuat antusias orang lain untuk belajar dan membuat karya dari sampah. Terbukti pelatihan ini juga membuat antusiasme warga.
Mereka mulai belajar bagaimana cara membuat tempat pensil, celengan anak hingga ecobrick yang dijadikan sebagai tempat duduk. Mereka juga dengan senang hati menularkan ilmu mereka pada anak-anak yang haus ilmu kerajinan tangan ala Suryati dan Tea.
Pontianak Pos pernah menuliskan, Bank Sampah Rosella tak hanya memilah sampah, tapi juga mendirikan untuk membantu mengedukasikan dan mensosialisasikan tentang pemilahan sampah, khususnya sampah kering atau anorganik. Dalam sebulan lembaga ini bisa menyerap 500 kg sampah warga. Sampah-sampah tersebut kemudian dipilah mana yang bisa dikreasikan menjadi barang kerajinan mana dan mana yang cukup dijual dalam bentuh mentah. Kerajinan dari plastik misalnya bisa dijadikan berbagai toples, hiasan bunga dan lainnya. Sedangkan kertas koran dapat disulap menjadi tempat tisu, kotak penyimpanan, vas bunga dan lainnya. Begitu juga perca kain. Mereka yang mengerjakan adalah ibu-ibu warga sekitar.
Rupanya, Bank Sampah Rosella tak hanya bergerak membantu, tetapi juga bergerak mencuri start prestasinya sendiri karena sangat menginspirasi. Sejak terbentuk Bank Sampah Rosella telah berhasil mendapatkan beberapa penghargaan, diantaranya mendapat penghargaan inovasi kelurahan terbaik, memenangkan lomba nasabah terbanyak, hingga diikutsertakan dalam program kampanye lingkungan oleh pemerintah daerah.
Kemenangan tadi lah yang membuat rasa haru dan kerja keras Tea dan anggota lainnya sirna. Memang begitulah pihak pemerintah seharusnya mengikutsertakan mereka, Tea mengucapkan tidak lain tidak bukan untuk perangsang semangat dan energi baru kedepannya bagi para kader yang tersisa.
PT PLN – Unit Pelaksana Pengendalian Pembangkitan (UPDK) Kapuas UIKL Kalimantan sebagaimana dilansir dari Pontianak Pos juga pernah menyalurkan bantuan Corporate Social Responsibility (CSR) untuk Bank Sampah Rosella pada tahun 2020. Bantuan ini sebagai wujud dukungan pihaknya dalam membantu meningkatkan kemampuan warga dalam menciptakan produk kreatif bernilai jual sehingga bisa menjadi tambahan penghasilan. Selain itu program ini juga untuk mendukung pengelolaan sampah dan limbah warga karena ada nilai edukasi, ekonomi, kebersihan dan lingkungan hidup
Dari sini kita bisa melihat bahwa kepedulian terhadap sampah ini akan membuahkan hasil jika dilakukan bersama, tak hanya perempuan, tetapi juga warga dan pembuat kebijakan di lingkungan dan daerah mereka.
Penulis: Hilda Putri Ghaisani
Editor: Lulu Van Salimah
*Artikel ini merupakan bagian dari Fellowship bersama Konde.co yang didukung Earth Journalism Network (EJN)