mimbaruntan.com,Untan- Air sungai yang mengaliri Desa Semunying Jaya, Dusun Semunying Permai, tampak menguning pekat. Tong penampung air sungai tersebut kokoh berdiri di belakang rumah warga, yang kemudian siap dialirkan keseluruh rumah warga Semunying Jaya. “Semua warga meminum air yang berwarna kuning yang sudah tercemar yang dilakukan perusahaan,” lirih Rini (51), salah satu warga Desa Semunying.
Begitulah realita yang kini dihadapi ratusan warga Di Desa Semunying Jaya, Kecamatan Jagoi Babang, Kabupaten Bengkayang, Kalimantan Barat. Desa yang berada diperbatasan Indonesia-Malaysia ini harus kehilangan mata air bersih yang dulunya begitu melimpah, setelah datangnya perusahan perkebunan sawit.
Di Desa Semunying Jaya, terdapat dua dusun yakni Dusun Pareh dan Dusun Semunying Permai. Dusun Pareh dilintasi Sungai Kumba, air dari Sungai Kumba ini digunakan warga untuk aktivitas hidup mereka. Sedangkan di Dusun Semunying Permai, dialiri anak Sungai Kumba. Sungai yang mengalir di Semunying Permai memang menjadi tumpuan masyarakat dalam menjalankan kehidupannya sebagai manusia.
Semenjak ekpansi yang dilakukan PT Ledo Lestari, masyarakat sekitar banyak menuai masalah. Salah satu akibatnya kini Sungai Semunying sudah tak layak guna. Berbagai penyakit pun melanda warga yang masih memanfaatkan air dari sungai tersebut. Mulai dari demam panas, sakit perut, gatal-gatal dan bintik-bintik merah.
Hanya keterpaksaan yang mendorong mereka untuk tetap memanfaatkan air dari sungai tersebut di tengah perekonomian yang serasa mencekik. Dengan gaji yang dianggap tak seberapa, warga tetap berupaya agar dapat mencukupi kebutuhan air. “Airnya dikasih garam yang dibeli dari pasar supaya bening agar tidak jijik untuk mandi,” tambahnya Rini.
Jika warga terserang penyakit karena mengkonsumsi dan menggunakan air dari sungai yang sudah tidak normal lagi, mereka harus pergi ke Dusun Pareh, karena di Semunying Permai tidak ada layanan kesehatan. Di Desa Semunying Jaya memang hanya terdapat satu Posyandu sebagai pelayanan kesehatan. Posyandu itu pun terkesan belum lama keberadaanya. “Kena penyakit gatal kalau digaruk sampai kulitnya terkelupas saat mandi di daerah sungai,” kata Jamal yang menceritakan temannya yang terserang berbagai penyakit akibat menggunakan air Sungai. Semunying.
Sementara itu Posyandu yang hanya terdapat di Dusun Pareh memang menyediakan obat-obatan seadanya sebagai pelayanan dasar. Jika ingin ke Puskesmas atau Rumah Sakit masyarakat harus menempuh jarak 20 km. ”Kalau obat-obatan sih memang di stok puskesmas, kecuali kalau benar-benar tidak ada, itu harus kita beli di luar, kalau tidak mampu baru dibawa ke puskesmas, disini pelayanan dasar lah isitilahnya,” jelas Ria selaku bidan saat ditemui di Posyandu.
Selain itu warga juga mengharapkan air hujan, jika musim kemarau melanda, mereka terkadang membeli air galon dengan harga Rp.15.000. Masyarakat juga harus menempuh jarak 3-8 km dengan kendaraan bermotor dan membawa ken untuk mencari air bersih.
Mimpi Buruk Hadirnya Perusahaan Sawit
Petaka dimulai semenjak kedatangan PT Ledo Lestari yang telah membawa mimpi buruk bagi warga Semunying. Sebelumnya masyarakat setempat mendapat akses air bersih melalui air terjun yang terdapat pada bukit di Desa Semunying dan dialirkan lewat pipa yang disambungkan ke rumah-rumah warga. Tetapi kehadiran PT Ledo Lestari menuai banyak kontroversi. Pipa-pipa yang sudah disalurkan dari air terjun tersebut dibakar oleh pihak perusahaan. “Air dulu bersih yang di alirkan pakai pralon, dan pralonnya dibakar perusahaan dan sumber air nya dari bukit,” cetus Syamsul.
Dahulunya Sungai Semunying merupakan akses warga untuk pulang pergi mencari ikan dan binatang-binatang buruan. Sungai ini menjadi sumber kehidupan warga, mereka tak perlu resah akan ketersediaan air. Selepas bekerja biasanya warga pergi ke hutan dengan berbekal nasi dan memancing di sungai. Air dari sungai tersebut pun dapat diminum, airnya putih dan bersih. ”Dulu bersih, untuk mandi cuci, bisa di ambil air, banyak ikan, mudah cari ikan,” jelas Momonus, Kepala Desa Semunying Jaya.
Berkurangnya pasokan air pada Sungai Semunying menjadi fenomena yang dirasakan masyarakat sekitar, sungai tersebut telah mengalami pendangkalan akibat air hujan yang mengalirkan limbah dari daratan dan sedimentasi limbah kelapa sawit yang turun ke aliran Sungai Semunying.
Pihak perusahaan tak peduli akan hal ini, begitu juga pemerintah daerah. Momonus mengatakan bahwa pemerintah tidak melihat apa yang terjadi di lapangan, mereka hanya mendengar laporan dari pihak perusahaan dan percaya begitu saja, sedangkan laporan yang disampaikan pihak perusahaan ke pemerintah daerah tidak sesuai fakta yang terjadi di lapangan. “Kalau kondisi air disana ya sudah tercemar sungainya dan mengharap tonglah atau drum untuk nadah air hujan,” ungkap Momonus ketika berbincang dengan tim reporter.
Pada kasus yang berbeda, terdapat batang pohon-pohon besar yang tertimbun di sungai. Warga pernah menuntut hal ini dalam persidangan di Bengkayang, pihak perusahaan menyangkal dan memberi kesaksian palsu. Saat melakukan pengukuran tanah, mereka tidak melihat adanya kayu-kayu besar tertimbun di sungai, namun mereka banyak melihat kayu jambu monyet, dan semua itu telah mendustai fakta. Menurut Momonus, pihak perusahaan telah melanggar peraturan. “Itu habis sampai tepi sungai, dia melanggar peraturan, Amdal hanya sebagai formalitas,”tambahnya.
Badan Lingkungan Hidup (BLH) Provinsi Kalbar juga angkat bicara, Yenny Kasubbid Kajian Dampak Lingkungan mengatakan bahwa setiap usaha kegiatan yang tidak memiliki dokumen lingkungan, maka ada sanksi pidana bagi pihak yang bersangkutan. “Batas pohon di bibir sungai adalah 50m untuk sungai kecil dan 100m untuk sungai besar,” ujarnya.
PT.Ledo Lestari yang membuka perkebunan sawit lebih dari 20.000 ha seharusnya memilik izin Amdal. Sedangkan menurut Yenny, di BLH Provinsi Kalbar tidak ada dokumen lingkungan atas nama PT.Ledo Lestari, mereka telah melakukan pengecekan di BLH Bengkayang namun hingga kini belum ada informasi.
Menurut Kabid Pengendalian dan Konservasi Sumber Daya Alam, BLH Provinsi Kalbar, Nurmatias mengungkapkan bahwa menormalkan kembali sungai yang sudah tercemar oleh sawit tidak semudah membalikkan telapak tangan.”Bagaimanapun kan kalau sawit itu udah di pinggir itu gimana, sawit ya tetap diberi pupuk dan tercemar, agar sungai tidak tercemar? ya di babat lah, dan dia kan harus sesuai dengan aturannya,” tegas Nurmatias.
Sedangkan menurut Aktivis Sampan (Sahabat Masyarakat Pantai), perusahaan harus berkontribusi dan bertanggung jawab atas rusaknya Sungai Semunying. “Pemerintah desa harus konsen membangun air bersih, sumbernya harus dari perusahaan sebagai ganti rugi terkait pencemaran sungai,” ungkapnya.
Terik matahari sangat terasa menyengat. Para Reporter diajak oleh salah satu warga untuk beristirahat setelah seharian menyusuri perkebunan sawit. Suguhan air minumpun ditawarkan. Para reporter terlihat saling berpandangan karena telah mengetahui kondisi air. “ Tenang ini air bersih kok,” kata sang tuan rumah sambil tertawa.
Penulis: Arif dan Suryansah
Editor: Irvan