mimbaruntan.com, Untan – Koalisi Muda Peduli Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (KOMPAKS) Kalimantan Barat (Kalbar) menggelar nonton bareng (nobar) film Spotlight, di Sekretariat Suar Asa Khatulistiwa (SAKA), Jalan Johar nomor 82, Sabtu (27/11) malam. Kegiatan ini merupakan bagian dari rangkaian kampanye 16 Hari Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (16 HAKTP).
Dilansir dari Wikipedia, Spotlight adalah film drama biografi kriminal Amerika Serikat tahun 2015 yang disutradarai oleh Tom McCarthy. Naskah film ini ditulis berdasarkan kasus pelecehan seksual terhadap anak oleh beberapa pastur gereja Katolik Roma di Boston, yang diungkapkan oleh tim jurnalis investigasi Spotlight dari Kantor Berita The Boston Globe.
Setelah menonton film, acara dilanjutkan dengan diskusi yang dipantik oleh Dian Lestari, Koordinator Serikat Jurnalis untuk Keberagaman (Sejuk) Kalbar.
“Kasus paedofilia dalam film tersebut ditutupi oleh lembaga yang berkuasa. Juga adanya ketimpangan dimana pelaku memiliki kuasa sedangkan korban merupakan anak-anak,” katanya.
Hal tersebut menunjukkan bahwa kasus kekerasan seksual bisa terjadi di mana saja, bahkan di lembaga yang seharusnya menerapkan nilai-nilai religius. Pelaku kekerasan seksual berkedok sebagai orang baik, sehingga dengan mudah memanipulasi para korban. Apabila kasus seperti ini tidak diungkap ke publik, maka pelaku terus merasa aman dan semakin banyak korban berjatuhan.
Menyaksikan film tersebut, Tama, satu di antara puluhan peserta Nobar mengungkapkan bahwa Spotlight menjadi sebuah realitas seperti yang tengah terjadi saat ini. Menurutnya, dalam lingkup Indonesia hal serupa juga terjadi dibanyak lembaga atau komunitas baik sipil, pendidikan hingga keagamaan.
“Film ini menjadi realitas saat ini, dimana kita melihat kekerasan seksual dapat terjadi pada siapa saja dan pelakunya juga dapat dilakukan oleh orang-orang terdekat. Jika dalam film, gereja menjadi latar lokasi kekerasan, sebenarnya dalam realitas kehidupan hal serupa juga dapat terjadi di pesantren, institusi publik bahkan pendidikan,” ungkapnya.
Ia juga menyoroti bahwa mengingat potensi yang ada, sudah sepatutnya semua orang peduli dan menambah kapasitas diri tentang pengetahuan seksualitas yang baik, begitu pula dengan dibutuhkannya support system yang baik pula agar dapat saling menguatkan jika kekerasan seksual benar-benar sudah terjadi kemudian.
Sementara itu, Nings dari Yayasan SAKA, menilai dalam film tersebut diungkap bahwa ada sistem yang salah sehingga perlu adanya perbaikan. Membangun sistem yang baik dalam rangka mencegah semakin besarnya potensi dan dampak dari kekerasan seksual seharusnya menjadi komitemen bersama yang harus didukung oleh semua kalangan.
Satu dari sekian banyak sistem tersebut ialah melalui diterbitkannya Permendikbud-Ristek No. 30/2021. Permendikbud yang mengatur tentang tindak KS di kampus ini adalah bentuk sadar dari pemerintah dalam menindak pelaku KS di perguruan tinggi, melalui Permendikbut yang ada ini sejatinya sekaligus menjadi titik terang dari ketidakjelasan sistem yang ada selama ini.
Semua kalangan utamanya mahasiswa sebagai objek dari perlindungan kekerasan seksual di kampus, sejatinya dapat melihat langkah baik dari Kemendikbud-Ristek ini sebagai upaya perlindungan dan dalam rangka menciptakan rasa aman dan nyaman bagi dirinya di lingkungan kampus dari kekerasan seksual.
Penulis : Rio Pratama
Editor : Monica Ediesca