mimbaruntan.com, Untan – Dari luar pagar bata yang menutupi seluruh bangunan di dalamnya tertulis “Paguyuban Sumarah”. Di sudut Yogyakarta inilah sebuah kepercayaan yang mengajarkan perdamaian berdiri.
Tepat matahari di pukul satu siang, mengantarkan langkah para muda-mudi duduk dan berbicara dengan para pengurus dan anggota Paguyuban Sumarah, sebuah aliran kepercayaan di Yogyakarta yang berdiri sejak 1950.
Adalah Nugroho, Ningrum, Waras dan Andi yang menyambut kesembilan tamunya. Angin masuk ke rongga-rongga pendopo. Kudapan dan teh telah tersaji. Sejarah dan segala hal tentang Sumarah pun mulai diceritakan satu persatu.
“Sumarah itu artinya bersujud untuk mengingat Tuhan Yang Maha Esa, meninggalkan segala hal duniawi,” jelas Nugroho salah satu pengurus Paguyuban.
Kepercayaan ini menerima semua golongan dan usia. Tua, muda, dan agama apapun datang untuk mempelajari dan menerapkan ilmu ketentraman yang diajarkan kepercayaan ini.
“Sebagai perempuan, saya butuh untuk menenangkan hati dimanapun, kepercayaan ini tidak pernah memberatkan saya, di sini saya hanya perlu belajar tentang ‘laku’, tentang bagaimana saya hidup tanpa gundah dan kekhawatiran,” terang Ningrum usai menuangkan gelas-gelas berisi teh.
Kepercayaan ini memang tak mengharuskan para pengikutnya keluar dari agama yang telah dianut sebelumnya, pun tak syarat selain belajar bersujud dalam hati untuk mengingat Tuhan.
“Sujudnya duduk seperti biasa dan memusatkan hati hanya kepada Tuhan, tuhan apapun sesuai keyakinan agamanya,” timpal Nugroho lagi.
Sujud disini bukan secara harfiah dan praktek, namun menghadirkan Tuhan dalam hati. Udara Yogyakarta masih berembus. Cangkir teh mulai dingin. Kudapan pun mulai dilahap, sembari mengalirnya cerita bagaimana Sumarah bisa tegak di sudut Yogyakarta ini.
Sumarah untuk Ketentraman Jiwa
Sebuah pesan dari Tuhan di hari itu mengantarkan Soekino Hartono dalam ketakutan. 1935, saat pulau Jawa masih dikuasai Belanda, langkah kaki Soekino pun menuju ke berbagai tokoh agama, mempertanyakan arti dari mimpi yang dipercayainya sebagai wahyu.
“Saat wahyu itu diterima, istri serta para tetangga melihat cahaya yang menuju kediaman Soekino,” tutur Nugroho, cucu dari Soekino di Pendopo Paguyuban Sumara yang dahulu merupakan kediaman Soekino.
Saat itu Sumarah tak hanya mengajarkan ilmu ketentraman dengan ‘bersujud’ menghadirkan Tuhan saja, namun juga menghadirkan kekuatan fisik untuk melawan penjajah di masa itu. Hal ini selaras dengan keresahan Soekino dan warga Yogyakarta yang saat itu menanti kemerdekaan Indonesia tak kunjung hadir.
Berjalannya waktu, ilmu kebal atau kekuatan fisik tak lagi dibutuhkan melainkan ketentraman hati dalam bertuhan yang tercermin dalam kehidupan sehari-hari. Ningrum menyebutnya sebagai “ilmu laku”.
1950, tepat 15 tahun setelah wahyu yang ia terima, ketakutan Soekino berhasil menggerakkan berdirinya Paguyuban Sumarah. Di pendopo inilah satu persatu, dari berbagai agama dan usia hadir mencari tentang bagaimana ketentraman dalam bertuhan.
“Dalam kondisi apapun kita sujud itu tetap bisa dilakukan, menghadirkan tuhan di dalam hati, baik saat makan, duduk, atau apapun,” terang Waras selaku koordinator kerohanian, sembari tangannya menunjuk dada dan kursi dihadapannya bergantian.
Bagi penganut Sumarah, apabila Tuhan berhasil dirasakan di dalam hatinya, perilaku akan berubah dengan sendirinya. Namun hal ini tak begitu saja terjadi, ada waktu-waktu yang mereka sepakati untuk duduk kembali di pendopo ini dan melatih bagaimana caranya bersujud.
Tak Menutup Diri dari Sekitar
Sejak saat lahirnya kepercayaan Sumarah ini, mereka belum pernah mengalami perselisihan dengan kepercayaan lain. Bahkan, kepercayaan ini berhasil diterima dengan baik di masyarakat karena dasar dari kepercayaan ini adalah ketentraman jiwa dengan berserah kepada Tuhan Yang Maha Esa. Adanya dasar itu, membuat pengikut kepercayaan ini sangat terbuka dengan kepercayaan lain dan menghormati tanpa memandang rendah kepercayaan lain.
Sumarah sendiri mempunyai Sesanggeman Sumarah sebagai pegangan mereka dalam menjalani kehidupan. Di dalam Sesanggeman itu terdapat beberapa point tentang bagaimana mereka menjalani kehidupan bermasyarakat, yaitu dalam poin ke 4 dengan bunyi, “Mempererat persaudaraan berdasarkan rasa cinta kasih”, poin ke 5 yaitu “Sanggup bertindak serta berkarya, memperluas kewajiban hidup, serta memperhatikan kepentingan masyarakat umum, menepati kewajiban sebagai warga Negara, menuju pada kemuliaan dan keluhuran yang pada akhirnya membuahkan ketertiban dan ketenteraman dunia raya”, dan poin 9 “Tidak fanatik, hanya percaya kepada realita yang pada akhirnya memberi manfaat bagi masyarakat umum.”
Dari Sesanggeman tersebut, para pengikut Sumarah benar-benar mengaplikasikan point-point yang ada di dalamnya, salah satu wujud pengaplikasiannya yaitu dengan pendopo Sumarah untuk kegiatan-kegiatan sosial, bahkan kegiatan peribadatan agama lain. Contoh kegiatan sosial yang pernah diadakan di pendopo Sumarah antara lain kegiatan vaksin, tempat pameran karya, serta sebagai tempat musyawarah. Selain itu, Sumarah juga pernah digunakan sebagai tempat peribadatan agama lain, salah satunya sebagai tempat perayaan Paskah, Natal bahkan sebagai tempat Sholat Tarawih.
Keterbukaan Sumarah terhadap masyarakat dan kepercayaan lain ini, membuat ketentraman di lingkungan sekitar hingga tidak adanya persinggungan antara mereka meskipun sejatinya mereka memiliki kepercayaan yang berbeda.
Sumarah bisa kita jadikan contoh bagaimana seharusnya kita menganut kepercayaan, menghormati orang lain, dan tetap menjalankan kepercayaan tanpa menimbulkan perpecahan. Sumarah adalah bukti nyata, bahwa sebenarnya dengan keberagaman kita masih tetap bisa bersama, hidup berdampingan tanpa mengesampingkan apa yang sudah menjadi kepercayaan.
Reporter : Salma (LPM GRIP), Hilma (LPM Sukma), dan Yandi (LPM Unuyo)
Penulis : Mara (LPM Mimbar Untan), Nisa (LPM Al-Mizan), dan Arya (LPM Globe)