mimbaruntan.com, Untan- Pakaian bekas saat ini tak lagi menjadi pilihan terakhir dalam memenuhi kebutuhan sandang. Kebutuhan primer yang satu ini telah menjadi trend mode yang diburu khalayak ramai, khususnya anak muda.
Di bagian barat Pasar Rakyat Tengah, Pontianak, masyarakat akan menemui hamparan pakaian bekas yang kemudian akrab dipanggil dengan sebutan lelong. Mata para pengunjung akan dimanjakan oleh rangkaian warna dan berbagai corak yang tersedia dari ragam lelong yang ada. Melangkahkan kaki ke lantai atas, terlihat para penjual sedang menata pakaian, memasukkannya ke dalam hanger, kemudian menggantungnya pada gawang-gawang kayu milik mereka. Pukul 9.00 pagi hari, beberapa pintu ruko baru saja dibuka, sedang lainnya tengah sibuk menawarkan jualan. Pembeli dengan usia muda lebih sering ditemui di lantai ini, agaknya tertarik dengan produk yang ditata rapi dan kondisi yang lebih sunyi. Tak perlu khawatir, bahkan pengunjung dengan toleransi rendah terhadap debu pun akan senang memilih lelong tanpa takut bersin-bersin.
Turun ke lantai bawah, suasana pasar tak lagi sama. Riuh rendah suara penjual dan pembeli yang saling tawar menawar menjadi nada pengiring. Segala jenis usia ditemui, anak-anak berlarian, ibu-ibu telaten memilah pakaian, serta bapak-bapak fokus menarik gerobak dengan gumpalan bal di atasnya.
“Yok dipilih! tiga potong lima puluh ribu, rugi kalau ndak beli sama aku,” seru salah satu penjual sambil mengibaskan lembaran uang di tangannya.
Baca juga: Dari Kapuas Indah, Menuju Pasar Rakyat
Lelong Online Masa Pandemi
Adalah Reyhan (nama sebenarnya disamarkan), penjual lelong di lantai bawah pasar tengah yang ternyata juga memiliki online store lelong di Instagram dan Shopee, selain membuka toko lelong di pasar. Reyhan mengaku bahwa penjualan secara online-nya ini baru dilakukan sejak tiga tahun terakhir.
“Awalnye emang ndak kepikiran, karena banyak kawan-kawan yang jualan online, akhirnya kita belajar dan coba-coba sendiri. Sekali udah tahu, oh ternyata gini caranya dan penghasilannya juga lumayan besar,” ujar Reyhan sembari menunjukkan nama pengguna Instagram online store-nya.
Saat ditanyai mengenai penjualan lelong di masa pandemi saat ini, Reyhan terlihat sedih. Ia merasakan bahwa penjualannya sangat sepi di awal pandemi melanda, hingga sulit untuk memiliki pendapatan sejumlah Rp. 100.000,- dalam satu hari. Padahal sebelum masa pandemi, Reyhan bisa mendapat omzet sebesar di atas Rp. 500.000,- per hari.
“Susah sekali, orang cari kerja jak susah apalagi untuk belanja,” jawab Reyhan saat ditanya mengenai pembeli lelong pada online store-nya.
Anak Muda dan Thrifting
Reyhan memang bukan seorang agen lelong, namun ia memaparkan bahwa banyak pelanggan tetap yang membeli ‘barang kepala’, – sebutan untuk lelong dengan kualitas baik dan bermerek – ke tokonya untuk dijual kembali secara online. Pelanggan tetapnya didominasi oleh kalangan muda yang membeli dalam jumlah kecil.
“Sekarang itu lagi musim thrifting, ‘kan, mereka ambil barang dari saya untuk dijual lagi. Banyaknya sih jenis crewneck big size gitu atau pakaian dengan model lucu. Kita ada langganan yang rata-rata anak SMA. Mereka ini biasanya beli 10 pcs. 8 pcs dijual dan 2 pcs dipakai sendiri, karena yang penting balik modal,” ujar Reyhan.
Platform sosial media menjadi alternatif pilihan bagi penjual dalam memasarkan produk lelong dengan alasan keamanan. Reyhan sendiri memilih platform Shopee yang proses transaksi jual belinya sudah terjamin. Penjualan secara online dijalaninya sebagai pekerjaan sampingan setelah fokus pada offline store di Pasar Tengah.
Thrifting, usaha penjualan lelong secara online kini begitu digemari oleh kalangan usia muda dengan modal yang minim. Lelong yang dibeli dengan harga terjangkau akan dijual kembali dengan harga yang lebih tinggi di beberapa platform sosial media. Reyhan pun membenarkan bahwa penjualan secara online memiliki keuntungan yang cukup besar.
Lapak Tanpa Sosial Media
Namun, masih banyak penjual yang tetap berjualan dengan teguh tanpa menggunakan sosial media sebagai platform yang marak digunakan untuk berniaga.
“Tapi lebih enaknya zaman waktu dulu belum ada facebook karena dulu lelongnya masih langka dan penghasilannya dulu agak besar, apalagi dulu penggemarnya masih banyak dan toko lelong pun dulu ada dimana-mana,” ujar penjual pakaian lelong lainnya pada Minggu (13/3).
Tepatnya pada pukul 9.30 pagi hari di Pasar Tengah Pontianak, pintu-pintu pencari rezeki sudah banyak terbuka demi memikat calon pelanggan yang saat itu sedang berlalu-lalang dengan ramainya.
Menuju pada bagian dalam pasar, tampak sosok pria paruh baya sedang berdiri dan usai bercengkrama dengan pembelinya. Suara lantang dan raut gembira turut merayu para pengunjung yang sedang berburu pakaian saat di pagi minggu yang panas itu. Ialah Andi (44) yang sudah lebih dari 20 tahun menjalankan usaha lelongnya tanpa menggunakan media sosial sebagai tempat platform berjualan.
Layaknya objek andalan, mulai dari banyaknya pakaian formal seperti kemeja dan jas yang menarik perhatian karena menghiasi toko itu dengan teratur. Ternyata, Andi tidak hanya berjualan pakaian formal saja, sweater dan sejenisnya pun turut ia jual.
“Nggak, tetep gini karena saya bukanya bertahap, jadi ya buka aja dan menurut keinginan saya, tapi saya tanya dulu nih dari agennya ada atau gak barang kayak kemeja, sweater atau crewneck gitu.”
Cukup sering, tutur Andi mengenai para anak muda yang turut membeli jualannya untuk berbagai macam keperluan.
“Untuk anak-anak muda (mahasiswa) yang mau yudisium, sidang, yang mau interview masuk kerja kan perlu pakai jas dan juga kalau ditempat lelong kan harganya terjangkau.”
Walaupun dengan tegas ia mengatakan tidak menggunakan sosial media sebagai platform bisnisnya, tapi tetap saja banyak pembeli yang berdatangan termasuk dari luar daerah dan tak jarang pula mereka membeli dengan jumlah yang banyak. Sembari menerka bahwa hal tersebut hanya berasal dari mulut ke mulut serta promosi di sosial media oleh para pelanggan yang menyukai berbelanja di lapaknya tersebut.
Saat itupun Andi mengingat jika terdapat beberapa anak muda yang menjual kembali pakaian yang mereka beli darinya.
“Anak-anak muda pun kalo beli itu berdasarkan merek pakaian. Kemarin juga ada anak muda beli pakaian dengan merek tertentu, saya jual ke dia 200 ribu terus dia jual lagi 300 ribu,” ungkapnya.
Baca juga: Sang Penyeduh Kopi dan Tawa di Jantung Flamboyan
Mulai dari Pakaian Stylish hingga Bahan Pengasapan Sahang
Tak semua barang yang dijual adalah barang bekas, namun dengan percaya diri Andi mengatakan sebagian pakaian berasal dari negara Korea dan masih belum pernah digunakan. Beragam pula tujuan para pembeli yang ia ucapkan berdasarkan keperluan pelanggannya saat itu.
“Barang-barang kayak jaket, jas gitu barangnya dari Korea dan masih baru, gak semuanya bekas. Barang yang kami terima juga kan ada barang cewek atau pakaian-pakaian wanita, nah itu biasanya ada grade-nya A,B,C itu kita pisah.”
Menariknya, sebagian lelong yang mempunyai kualitas buruk tidak dapat dikembalikan sehingga dapat dijual untuk keperluan lain seperti kain lap ataupun untuk dibakar sebagai bahan pengasapan.
“Yang grade C itu kita kumpulkan dan biasanya ada yang membelinya, misal orang perkebunan yang beli dengan harga murah, kemudian dia jadikan sebagai bahan pengasapan sahang dan biasanya dia beli 10 karung. Ada juga yang beli barang tersebut untuk bersih-bersih kapal karena memang perlu banyak kain untuk membersihkan mesin-mesin yang kotor seperti kena oli,” ujarnya.
Masih di waktu dan cuaca yang sama, Andi mengungkapkan niatnya yang tidak akan berhenti menjual pakaian lelong hingga toko dan pakaian lelong sudah tidak ada lagi.
Selalu ada pelajaran yang tentunya dapat diambil ketika mengunjungi toko-toko para penjual lelong. Di era digital sekarang memang banyak penggunanya yang memanfaatkan sosial media sebagai alat bantu dalam berjualan, tetapi masih ada tentunya sosok-sosok yang tetap bisa meraih pundi-pundi rezeki tanpa mengunggahnya di sosial media. Hentakan kaki yang begitu ramai dari para pengunjung kembali membuat keriuhan seperti suasana sebelum pandemi datang.
Reporter : Dedek, Baladan, Mara
Penulis : Dedek, Baladan