Malam ini tersungkur raga dan jiwaku di kaki Bapa,
Memohon ampun untuk kesejuta kalinya, atas gores luka yang tidak diniatkan maupun yang disengaja.
Lalu kusebut pula dia, yang dulu pernah kugumulkan dalam doa namun setelah sekian masa aku melupa.
Ku pinta Bapa tuk menghapus jarak yang kerap renggang di antara kita, lalu mengemis cinta, sekiranya ada rasa yang akan menggelora.
Ku tanyakan Bapa, berapa lama lagi perlu ku tunggu dia, setidak-tidaknya aku menanti, meski waktu Bapa tak pernah sama dengan manusia.
Sehasta, dua hasta, lama-lama dia lenyap dari jangkauan indera, senyap dalam obrolan. Meski masih hangat dalam ingatan dan larik doa, tetap saja selalu luput dalam pelukan, bodoh dalam logika.
Ku tanya lagi hati, apa alasan untuk tak pergi, mengapa memilih tetap disini. Cinta bukan hanya perihal memiliki, namun berbagi kasih tanpa perlu berteka-teki, merajut cerita tanpa perlu mengulang luka, menerima baiknya, pun bejatnya.
.
Pernah ku ingini dia mengisi warna yang terukir di senja ku, namun seringnya hati berpaling dengan alibi “dirinya terlalu baik untukku”
Aku terlalu buruk, seringnya hancur setiap jiwa yang tersentuh olehku.
Karena itu, cintaku mengikhlaskan pergimu, rinduku membenci hadirmu. Ku harap itu cukup menempatkanmu dalam nyaman dan aman. Jauh dari hiruk pikuk luka yang mungkin kelak ku tebar. Aku mengasihimu, lebih dari yang mampu ter-utara…
Teruntukmu, yang sedang kupinta di hadirat Bapa.
Penulis : Friskila Suyanti
Baca juga : Engkau, Sapardi