Barangkali kalau angin utara tak membawa aroma tubuhku, jantan tua yang termakan birahinya itu tak akan datang kesini. Lusuh dan bau tubuhnya tak tahan kuhirup. Sungguh, berusaha sembunyi di mana pun, Tua Bangka tak tau diri itu tau di mana aku.
Pinggang yang molek dan bokong yang semok, kuakui aku memang seindah itu bagi jantan manapun. Kau lihat, hampir semua jantan memandangku dengan lidah yang menjulur. Sialan. Di hari baik dan bulan baik seperti ini pun mereka tak bisa menahan nafsu. Ramadan tak juga mampu melumpuhkan birahi mereka.
“Kau harus belajar berperilaku seperti perempuan, Kukila. Semua orang risih dengan kehadiranmu yang seperti itu,” seandainya aku bisa berteriak kepada Mita saat kata risih ia tujukan padaku. Tepat di muka ku. Tapi sial, Femia juga memandangku dengan tatapan jijik. Lihat! Semua perempuan tak menyukaiku sekarang.
“Apa salahnya aku menolak semua ajakan jantan tak tau malu itu, Mita! Bahkan mereka memaksa, bukan mengajak!”
“Apa salahnya aku menumpang bersembunyi di ruanganmu, Femia! Ruanganmu terlalu luas untuk kau sendiri. Pikirkan bahwa kita sama-sama gadis yang tak ingin dinodai!”
“Kenapa kalian tak pernah menghargaiku selayaknya aku menghargai kalian sebagai seorang perempuan!”
Tapi semua eluan sakit itu tak pernah kusampaikan, raib begitu saja ketika mataku bertumbuk pada mata intimidasi Femia, ia tarik suaraku tanpa menyentuh tenggorokanku.
Tapi amarahku hanyalah sesaat, dan begitu juga mereka. Setelah kemarahan yang membuncah, mereka tak pernah meninggalkanku untuk makan bersama, walau di tengah kesulitan hidup untuk mendapatkan satu suap nasi.
Aku tidak pernah membenci kedua perempuan itu, justru sebaliknya. Diam-diam aku mengagumi mereka, bagaimana mereka berani berteriak pada laki-laki yang kurang ajar. Bagaimana usaha mereka membela suara-suara perempuan yang terpinggirkan, yang hilang hak nya, yang diinjak harga dirinya.
Baca juga : Tuan, Aku Bukan Gendis
Dari situlah aku ingin jadi seperti mereka, menepis segala label dan tindakan yang merendahkanku. Bahwa adalah kesalahan yang besar saat jantan melecehkanku dengan tatapannya yang penuh nafsu, apalagi menyentuh tubuhku tanpa aku izinkan.
Mita bilang, paham dan mengerti bahwa perempuan itu berharga saja tidak cukup, kalau bisa dilengkapi dengan proteksi diri yang mumpuni. Bela diri misalnya.
Tergeraklah aku untuk belajar memanjat, untuk berjaga-jaga saat aku harus lari dari kejaran jantan. Aku berlatih setiap hari tiga kali, semua bentuk penghindaran dan perlawanan diri aku coba dan pelajari. Aku tumbuh menjadi gadis yang pelawan dan keras. Walau begitu seringkali Mita dan Femia mengingatkanku untuk tidak terlalu keras sebagai seorang gadis. Aku hanya diam ketika mereka menceramahiku begitu.
Ya aku paham, walau mereka lantang bersuara, tetap saja mereka tak mengerti posisi dan keadaanku. Mungkin itu yang membuat akhirnya mereka perlahan tak lagi bersifat ramah padaku.
Di lain hari, di bulan yang tenang, Maret yang panas, aku meluruskan bokongku di ruanagan femia, di bawah kotak putih yang diletakkan dua kali tinggi badannya, pendingin ruangan yang senantiasa mengeluarkan embun. Dingin. Siangku yang menyenangkan. Tanpa gangguan dari erangan birahi jantan manapun.
Mataku mulai mengantuk, terbuai pada khayalanku sebelum memasuki mimpi yang sebenarnya. Mimpi bercinta. Kata siapa aku tak ingin bercinta, asal tidak dengan jantan yang haus senggama setiap menatap lekuk tubuhku, yang menghargaiku sepatutnya, bukan sekedar menganggapku betina yang kapan saja bisa mereka keloni. Aku tak ingin ditunggangi siapapun, tubuhku ini kehendakku.
Oh tentu, Sayang. Kepada siapa lagi aku bercinta selain kepada engkau yang maha pengertian. Engkau yang selalu menungguku di tempat yang sama, bahkan angin utara cemburu melihatmu begitu tenang dan bertindak elegan. Di khayalanku kau rengkuh tubuhku kuat-kuat ketika panas menggelayut ditiap ujung rambut. Begitupun ketika dingin menusuk, kau tiup perlahan daun telingaku, agar hangat ia, dan hangatlah seluruh tubuhku.
Anggaplah aku gila karena telah jatuh cinta pada embun yang keluar dari pendingin ruangan. Tapi itulah cinta. Terlalu buta sekaligus sederhana.
Aku nyaris terlelap, dengan posisi khayalan yang siap menciummu.
Sebentar, kuatur posisiku dulu. Kau siap, Sayang?
“Mhhmmm—”
“KUKILA!” Spontan aku melompat dari tidurku. FEMIA! Kau merusak momen bercintaku. Semaumu! Lagi!
Cepat kulihat Embun dari mesin pendingin yang pecah keseluruh sudut ruang. Terburai tanpa bentuk. Femia oh Femia! Harus apalagi aku ini! Nyaris saja aku berhasil bercinta pada kekasihku, Oh sayang…
“KELUAR DARI SINI!” Kutatap matanya lamat-lamat. Baik! Bisa apa aku jika Femia sudah mendidih, ujung telinga yang memerah perlahan dan bola mata yang nyaris meledak.
Aku melangkah menunduk, menuju pintu keluar. Tapi—
“Sayang…” halus kudengar, suara Embun. Aku mencari di mana. Di pojok ruang, di bawah meja.
“Sayang…”
Ah! Embun, di sana kau rupanya. Di atas mesin pendingin. Ah sial, begitu tinggi, sulit kugapai.
“KUKILA KELUAR!” Brengsek! tak puas kah kau meneriakiku, Fem! Kali ini aku tak akan menyerah pada egomu. Berapa lama lagi aku harus tersiksa dengan semua laki-laki yang kutemui, dan sekarang seolah belum puas, perempuan sepertimu pun ingin ikut-ikutan menyiksaku.
Kubulatkan tekat, kuda-kuda kusiapkan. Kuhiraukan raungan Femia yang semakin menjadi melihatku memberontak.
Lompat! Lompat Kukila! Gapai kekasihmu!
Dan…
Sampai. Aku bertemu pada Embun, kekasihku. Betapa senangnya aku. Seperti ada kupu-kupu berputar hebat dalam perutku. Membuncah, memaksa ingin dikeluarkan.
Baca juga: Lazuardi
Namun sedetik kemudian aku tak sadarkan diri. Bukan. Bukan karena mabuk cinta, tapi karena bogeman mentah dari Femia. Entah apa yang ia pukulkan ke tengkorakku, yang pasti setelah merasa sakit yang bertubi, aku berakhir disini. Di ruangan ini lagi. Di tatap oleh banyak pasang mata jantan yang birahi.
Mataku tak mampu membendung segala ketakutanku bertahun-tahun. Kukila yang menjaga keperawanannya sedemikian keras harus menangis mengiba di depan para bedebah ini.
Bedebah yang tak mengubris air mataku sedikit pun. Justru menggoyangkan bokongnya dari kejauhan seraya menatapku. Bergoyang dengan cepat, memasang ancang-ancang untuk menyerangku. Deru erangan yang menjijikan. Mimpi terburuk dalam hidupku telah tiba. Membayangkan tangis bayi yang akan aku tanggung setelah kehamilan terpaksa ini.
Gemetar tak tertahan, segala ingatanku bersama Femia dan Mita terulang. Saat di awal aku datang, sambutan hangat dan pelukan yang mereka beri. Fem, bisakah kau begitu juga kepada anak-anakku kelak? Atau kau akan bertindak sekasar kau padaku saat ini?
Mit, setelah ini aku tak tahu nasibku bagaimana, haruskah aku menyalahkanmu sepanjang hidupku kedepan nanti jika panjang umurku.
Kalian harusnya tahu setelah cairan mani itu bergaul dalam rahimku, kalian jugalah yang harus menanggung berapa ekor anak yang akan kulahirkan nanti. Anak-anak yang sudah kuduga akan kalian siksa sama sepertiku. Tatapan jijik pada tubuh mungil yang penuh darah, sedang aku telah lemas usai melahirkan.
Air mata terakhir kukibas dengan kasar ketika jantan yang paling tua mengerang dan melompat menunggangi tubuhku tanpa ampun. Di sela-sela ia melakukannya, tak ada lagi air mata yang bisa aku keluarkan, pun begitu pada harapan. Beginilah akhir nasib keperawananku. Bagi Kucing, Keperawanan, kebebasan, tak pernah nyata adanya.
Pontianak, 15 April 2021
Penulis : Maratushsholihah