mimbaruntan.com, Untan – Sebelas pohon tumuk putih (Bruguiera hainesii) yang tumbuh di bibir pantai Selat Karimata, Bentang Pesisir Padang Tikar, Desa Tanjung Harapan, Kecamatan Batu Ampar terancam punah oleh abrasi dan maraknya penebangan liar.
Bruguiera hainesii, Diancam Penebangan Liar hingga Abrasi
Bruguiera hainesii atau masyarakat setempat menyebut tumuk putih ini hanya tersisa 11 pohon saja di Indonesia. Jumlah ini tentu akan semakin berkurang, mengingat saat ditemukan pada 2016 lalu, mangrove ini berjumlah 14 pohon. Bruguiera hainesii oleh International Union for Conservation of Nature (IUCN) dikategorikan sebagai mangrove sangat terancam punah (critically endangered). Mangrove jenis ini sendiri hanya ditemukan pada 4 negara, yaitu Singapura, Malaysia, Papua Nugini dan Indonesia.
Kondisi tumuk putih yang sangat terancam punah ini semakin mengkhawatirkan, sebab satu-satunya pohon indukan yang tersisa terancam tumbang hanya berjarak 1 meter dari bibir pantai akibat abrasi. Menurut Muhammad Ismail, Ketua Lembaga Pengelolaan Hutan Desa (LPHD) Tanjung Harapan, jika tidak dilakukan upaya rehabilitasi pohon indukan tersebut diperkirakan akan tumbang dalam waktu kurang dari setahun.
Baca juga: Himabio Adakan Kolaborasi Mangrove Planting: 1000 Mangrove untuk Sungai Kupah
Lelaki yang akrab disapa Mail ini menceritakan jika sebelumnya 3 pohon indukan lainnya sudah tumbang karena adanya abrasi air laut yang cukup besar. “Sekitar 5 tahun, 20 meter (bibir pantai) itu habis. Makanya banyak pohon yang bertumbangan,” ujarnya. Jika pohon indukan tersebut tumbang, maka akan butuh waktu sampai 10 pohon lainnya bisa menghasilkan tunas baru.
Selain abrasi, penebangan liar untuk dijadikan bahan bangunan turut menjadi ancaman untuk kelestarian tumuk putih. Meski statusnya sangat terancam punah, tidak ada tanda-tanda yang dipasang untuk menunjukkan kelangkaan ini sehingga sempat hampir ditebang oleh oknum tak bertanggung jawab. Beruntung, Mail yang sewaktu itu sedang patroli mandiri berhasil menggagalkan oknum tersebut.
Tidak hanya tumuk putih, semua jenis mangrove yang berada di area Hutan Desa Tanjung Harapan ini juga ikut terancam. Menurut Mail ada lebih dari 600 tempat produksi arang yang sumber bahan bakunya berasal dari batang pohon mangrove, belum lagi kehadiran perusahaan besar yang ikut serta menebang pohon mangrove untuk dijadikan bahan baku pembuatan arang. “Mereka ni mau nebang jak, nanam nda mau. Di Batu Ampar tu, tungku untuk arang tu ada 600-an,” ujar Mail. Dimana produksi arang merupakan salah satu mata pencaharian banyak masyarakat di daerah Batu Ampar.
Sulitnya Konservasi Bruguiera hainesii
Bentang Pesisir Padang Tikar merupakan ekosistem mangrove terbesar di Asia Tenggara yang menyimpan banyak sekali keanekaragaman hayati di dalamnya. Mulai dari mangrove langka seperti tumuk putih (Brugueira hainesii), dungun (Heritiera globosa), gedabu (Sonneratia ovata), dan terumtum (Aegiceras floridum), sampai dengan fauna endemik seperti kucing bakau (Prionailurus viverrinus), harimau akar atau macan dahan (Neofelis nebulosa), beruang madu (Helarctos malayanus), dan bekantan (Nasalis larvatus).
Lembaga Pengelolaan Hutan Desa (LPHD) selaku lembaga yang bertanggungjawab dalam mengelola hutan desa ini mendapat banyak sekali tantangan dalam melakukan tugasnya. Mulai dari menghadapi ancaman penebangan mangrove besar-besaran hingga minimnya anggaran. Selain itu, meski Hutan Desa Tanjung Harapan menyimpan begitu banyak keanekaragaman hayati, pemerintah setempat belum menaruh minat terhadap konservasi flora dan fauna yang ada termasuk diantaranya tumuk putih.
Baca juga: Menjaga Mangrove, Merajut Asa Pesut
LPHD Tanjung Harapan sendiri dibentuk pada tahun 2017, bersama dengan pembentukan 9 LPHD lainnya di Kecamatan Batu Ampar. Dalam perjalanannya, berbagai upaya untuk menjaga kelestarian tumuk putih ini dilakukan mulai dari melakukan patroli secara mandiri, hingga mencoba membibitkan tumuk putih. Mail selaku Ketua LPHD Tanjung Harapan berinisiatif untuk membibitkan tumuk putih. Dari 170 bibit pohon yang ditanam, hanya 5 bibit saja yang berhasil tumbuh.
Tumuk putih sendiri menurut cerita Mail sulit hidup secara alami. Pasalnya, tunas yang berbentuk bunga ini rasanya manis sehingga ketika jatuh ke tanah akan langsung dimakan oleh hewan-hewan yang tinggal di sekitar pohon tumuk putih.
“Mungkin ini yang bikin dia (Bruguiera hainesii) langka, karena susah tumbuhnya,” katanya sembari memegang tunas tumuk putih.
Sejauh ini beberapa upaya konservasi yang dilakukan oleh pihak LPHD adalah upaya dasar yang perlu langkah tindak lanjut. Melihat kondisi indukan tumuk putih yang hampir tumbang ini, pembuatan barau menurut Mail adalah alternatif yang harus diambil segera untuk memperlambat dampak abrasi. Jika sudah dibangun barau atau bangunan penahan arus air ini maka selanjutnya adalah melakukan penanaman mangrove jenis lain untuk meminimalisir abrasi di sekitar bibir pantai. “Nda susah nanam mangrove kalo udah ada barau, ada jenis bakau yang gampang tumbuh.” Namun, pembuatan barau ini juga belum dapat terlaksana karena terkendala di dana.
“Sekitar 50 juta rupiah baru bisa dibangun,” pungkasnya sambil memandang nanar ke bibir pantai.
Di samping membuat barau, melakukan riset terhadap tumuk putih terutama untuk mengembangbiakkannya sangat penting dilakukan. Mail berharap dengan dilakukannya riset bisa menemukan metode terbaik untuk mengembangbiakkan tumuk putih agar keberadaannya di Hutan Desa Tanjung Harapan tetap lestari.
Mangrove sebagai Urat Nadi Kehidupan Masyarakat
“Kalau memang hutan ini habis, pasti ekonomi habis juga, gitu bah. Tidak hanya dampak ekonomi, tapi juga bicara yang katanya ada perubahan iklim”.
Ucap Ismail sembari duduk di atas pohon mangrove yang tumbang, ia menjelaskan bahwa hutan mangrove ini merupakan salah satu sumber kehidupan yang memberikan nilai ekonomi dan dampak bagi lingkungan.
Mangrove memiliki peran penting bagi keberlangsungan hidup masyarakat pesisir. Selain menjadi penyerap karbon yang tertinggi, mangrove juga menjadi mata pencaharian bagi petani dan nelayan. Mangrove menjadi tempat berlindung bagi berbagai macam spesies perairan, seperti udang rebon, udang galah, kepiting bakau, kerang dan kepah yang merupakan tangkapan sehari-hari nelayan.
Maysum, warga Desa Tanjung Harapan, mengatakan bahwa jika pohon-pohon mangrove tersebut ditebang maka ia akan kesulitan dalam menambah pemasukan ekonomi sebab habitat hewan akan terganggu.
“Kalau tidak ada kegiatan, biasa saya kerja ambil kepah di mangrove itu, ambil siput. Kemarin saya ada pergi kesana (hutan mangrove), hutan itu dilarang ditebang, (sebab) nanti kami payah cari kepah, karena kepah bisa berlindung di situ. Kalau ditebang kan, kepah nda ada,” jelasnya sambil menganyam alas tikar.
Ia menambahkan bahwa masyarakat setempat menyayangi dan menjaga hutan mangrove itu karena menjadi mata pencaharian yang menunjang keberlangsungan hidupnya.
“Kalau kami merusak hutan kan kami juga yang kena bahayanya. Nda dapat ambil siput, ambil kerang. Biasa sih kami ambil kayu yang mati itu untuk masak. Kami sayangilah hutan desa di mangrove itu, banyak manfaatnya,” pungkasnya.
Tulisan ini adalah hasil liputan Biodiversity Warriors Sponsorship Program Yayasan Kehati 2021.
Penulis: Daniel & Lulu (Muara Kapuas Project)
Editor: Stephanie Ngadiman